Sofia Putri tumbuh dalam rumah yang bukan miliknya—diasuh oleh paman setelah ayahnya meninggal, namun diperlakukan tak lebih dari seorang pembantu oleh bibi dan sepupunya, Claudia. Hidupnya seperti neraka, penuh dengan penghinaan, kerja paksa, dan amarah yang dilampiaskan kepadanya.
Namun suatu pagi, ketenangan yang semu itu runtuh. Sekelompok pria berwajah garang mendobrak rumah, merusak isi ruang tamu, dan menjerat keluarganya dengan teror. Dari mulut mereka, Sofia mendengar kenyataan pahit: pamannya terjerat pinjaman gelap yang tidak pernah ia tahu.
Sejak hari itu, hidup Sofia berubah. Ia tak hanya harus menghadapi siksaan batin dari keluarga yang membencinya, tapi juga ancaman rentenir yang menuntut pelunasan. Di tengah pusaran konflik, keberanian dan kecerdasannya diuji.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yilaikeshi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25
Empat Hari...
Dua kata itu terus menghantui benak Sofia Putri, bahkan setelah upacara berlangsung seolah semuanya baik-baik saja. Ia sadar benar, hanya ada empat hari baginya untuk keluar dari lubang neraka ini. Layaknya pasien penyakit terminal, ia hanya memiliki sisa empat hari untuk hidup. Namun Sofia bertekad, empat hari itu akan dimanfaatkannya sebaik mungkin.
Ada yang berubah dalam dirinya sejak Pangeran memberi bantuan itu. Jika ada satu hal yang ia tahu tentang pria, maka itu adalah ego. Laki-laki hidup dari harga diri mereka, dan untuk seseorang seperti sang Pangeran—yang punya luka batin karena keterbatasannya—harga dirinya pasti meluap-luap.
Dari situlah lahir rencananya. Ia hanya butuh tiga hari untuk membeli kepercayaan sang Pangeran, lalu pada hari keempat ia akan mencoba melarikan diri. Dan cara terbaik untuk memenangkan hatinya adalah dengan memuaskan egonya.
Sang Pangeran mendambakan perhatian. Ia ingin memamerkan istri cantik dan penurut demi meninggikan martabatnya di mata orang lain. Bukankah itu alasan Kenith membawanya ke sini? Sayangnya, Sofia tidak akan diam saja. Ia menolak menerima takdir yang dipaksa menjeratnya.
“Kau tidak ingin tidur malam ini?” tanya Sofia pelan, saat sang Pangeran tengah menikmati tarian wanita-wanita bergaun minim di hadapannya.
.....
“Kau ingin tidur?” balas Pangeran, tatapannya lurus mengarah kepadanya.
Sofia menekankan senyum samar di bibirnya. “Menurutku, tidur penting untuk kesehatanmu...” Ia sengaja menahan diri agar tidak menambahkan kata pertumbuhan—sesuatu yang sensitif baginya. “Tapi kalau bisa, tidurlah lebih awal, bangunlah lebih awal. Aku hanya punya empat hari untuk mengenalmu, jadi aku ingin memanfaatkan esok hari sebaik mungkin. Bagaimana menurutmu?” tanyanya dengan kepala sedikit miring, senyumnya lembut.
Mimi, sahabatnya, pernah berkata bahwa profil wajahnya dari samping adalah ‘pembunuh’. Malam itu, ia menguji kebenaran kata-kata itu.
Anehnya, sang Pangeran terlihat linglung sejenak, seolah pertahanannya runtuh. Harapan pun menyala di dada Sofia. Benar saja—pria tetaplah pria. Tinggi atau pendek, kuat atau lemah, mereka sulit menolak pesona seorang wanita.
“A-hem.” Ia berdeham, tersadar dari linglungnya. “Aku akan meminta Kenith mengantarmu nanti.”
Begitu nama Kenith disebut, senyum Sofia langsung pudar. Bajingan itu!
“Haruskah aku pergi bersamanya?” tanyanya dengan bibir mengerucut, berpura-pura cemberut. Ia tak boleh menunjukkan rasa curiganya terhadap Kenith di depan Pangeran.
“Dialah orang yang paling kupercayai. Dia yang akan menjagamu,” ucap sang Pangeran datar, lalu melambai. Tak sampai semenit, Kenith—dengan wajah angkuhnya—sudah berdiri di samping mereka.
“Anda memanggil saya, Yang Mulia?” ucap Kenith seraya menunduk hormat, meski matanya sempat melirik Sofia dengan sinis.
“Dia butuh istirahat,” jawab Pangeran ringan, seolah Sofia hanyalah urusan kecil. Sesaat Sofia ragu—apakah usahanya barusan gagal total? Ataukah Pangeran hanya pandai menutupi perasaannya? Apa pun itu, Sofia tidak akan mundur.
Tanpa menunggu uluran tangan Kenith, Sofia berdiri sendiri dan, di hadapan semua orang, ia bersandar di sandaran singgasana Pangeran. Kenith sempat terlihat panik, khawatir ia berbuat lancang. Namun yang mengejutkan semua orang—Sofia mendekat lalu mengecup pipi sang Pangeran dengan senyum nakal.
“Selamat malam, Yang Mulia,” ucapnya lembut.
Kejutan itu membuat seluruh ruangan terdiam. Termasuk sang Pangeran. Ia jelas tak menyangka Sofia akan bertindak sejauh itu. Sejujurnya, Sofia bisa saja bersikap lebih norak, tapi ia tahu batas. Dan Pangeran tidak sebodoh itu untuk tertipu manis-manisan murahan.
“Selamat malam, Sofia,” balas Pangeran akhirnya, gagal menutupi senyum kecil yang muncul di wajahnya.
Sofia tahu betul arti ucapan itu. Ia memanggilnya dengan nama. Dan nama adalah langkah pertama menuju kedekatan.
Dengan seringai samar, Sofia berbalik anggun, menarik perhatian setiap pasang mata saat ia berjalan meninggalkan aula. Tak seperti saat pertama kali datang, kini ia tampak percaya diri, penuh wibawa.
Ia tak mengucap sepatah kata pun pada Kenith yang mengantarnya menuju kediamannya. Baru ketika sampai di depan pintu, ia berkata dingin, “Terima kasih sudah menjalankan tugasmu,” lalu mencoba menutup pintu. Namun Kenith menahan, bahkan mendorong masuk hingga tubuh Sofia terpojok di dinding.
“Apa maksudmu ini?” geram Sofia, matanya menyala marah.
“Harusnya aku yang tanya itu, Putri Sofia!” balas Kenith, nada suaranya keras.
Seketika Sofia membeku, lalu menegakkan tubuh dengan dingin. “Aku tidak tahu apa yang terjadi padamu, Tuan Kenith, tapi aku sarankan kau hati-hati bersikap padaku. Kita tidak mau Pangeran salah paham, bukan?”
Kenith mendengus tawa sinis. “Jadi hanya dengan beberapa jam bersamanya, kau sudah merasa menjadi wanitanya?”
Sofia menatapnya tajam, lalu melangkah maju hingga wajah mereka nyaris bersentuhan. “Bukankah itu tujuanmu membawaku ke sini sejak awal? Atau ada alasan lain yang sengaja kau sembunyikan dariku?”