Aku mengenalnya sejak kuliah. Kami bertiga—aku, dia, dan sahabatku—selalu bersama.
Aku pikir, setelah menikah dengannya, segalanya akan indah.
Tapi yang tak pernah kuduga, luka terdalamku justru datang dari dua orang yang paling kucintai: suamiku... dan sahabatku sendiri.
Ketika rahasia perselingkuhan itu terbongkar, aku dihadapkan pada kenyataan yang lebih menyakitkan—bahwa aku sedang mengandung anaknya.
Antara bertahan demi anak, atau pergi membawa kehormatan yang tersisa.
Ini bukan kisah cinta. Ini kisah tentang dikhianati, bangkit, dan mencintai diri sendiri...
"Suamiku di Ranjang Sahabatku" — Luka yang datang dari rumah sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rizki Gustiasari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Luka yang belum tuntas..
Pagi itu, langit mendung seperti hatinya. Nayla duduk di meja makan yang kosong. Teh yang ia seduh sudah mendingin. Wajahnya pucat, matanya sembab. Semalaman ia tak tidur, memikirkan pertengkaran semalam bersama Raka.
Suara ketukan di pintu mengalihkan lamunannya. Ia bangkit malas-malasan, membuka pintu.
"Siska..." ucapnya lirih, sedikit terkejut melihat sahabatnya datang pagi-pagi dengan wajah cemas.
"Aku dapat kabar dari Murni... katanya semalam Raka datang ke sini. Kamu nggak apa-apa?"
Nayla hanya mengangguk, lalu memberi isyarat agar Siska masuk. Mereka duduk di sofa kecil kontrakan itu. Hening menyelimuti sesaat sebelum Nayla menarik napas panjang.
"Dia... ingin aku batalkan gugatan cerainya," ucap Nayla pelan, menahan tangis yang siap pecah.
Siska memandang Nayla dalam-dalam. "Lalu kamu bilang apa?"
"Aku tetap pada pendirianku. Aku mau bercerai, Siska. Aku sudah terlalu lelah..."
Siska tak langsung menjawab. Ia membiarkan Nayla melanjutkan.
"Dia bilang... dia akan menyewa pengacara ternama. Dia ingin memperpanjang proses perceraian ini. Dia akan mempersulitku di pengadilan," suara Nayla mulai gemetar. "Siska, aku nggak punya uang banyak untuk menyewa pengacara. Semua tabunganku hanya cukup untuk persalinanku nanti. Aku... aku nggak tahu harus bagaimana..."
Siska menggenggam tangan Nayla. "Nayla, denger aku. Kamu nggak sendiri. Kamu punya aku."
Nayla menunduk, air matanya jatuh menimpa punggung tangannya yang saling bertaut dengan milik Siska.
"Lalu aku tanya dia soal Tania... Dia... dia malah menawarkan aku untuk dipoligami sampai Tania melahirkan," Nayla tertawa getir. "Seakan-akan hatiku ini cuma tempat singgah sementara."
Siska menggeleng geram. "Lelaki itu gila. Dia pikir cinta itu bisa dibagi dua begitu saja?"
"Aku tahu, jauh di dalam hatiku... aku masih mencintai dia, Siska. Tapi aku juga tahu, rasa sakit ini nyata. Luka-luka ini bukan hal yang bisa sembuh dalam sehari."
Siska menatap Nayla tajam. "Sekarang aku ingin kau jujur pada dirimu sendiri, Nay. Apa sebenarnya yang kau inginkan? Kau benar-benar ingin bercerai dari suamimu dan membiarkan pelakor itu menang?"
Nayla terdiam. Pertanyaan itu menyentaknya keras. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan. Hening beberapa saat, hanya terdengar isak pelan.
"Aku pernah melakukan semua yang terbaik untuk pernikahan kami. Aku pernah mencintai dia sepenuh hatiku. Aku pernah mendampinginya saat dia belum jadi siapa-siapa. Dan Aku pernah menemaninya dari nol... Tapi apa balasan yang aku terima? Perselingkuhan. Penghinaan. Ketidakpedulian."
Siska tak berkata apa-apa. Ia membiarkan Nayla mengeluarkan semua isi hatinya.
"Aku rasa... aku pantas mendapatkan yang lebih baik untuk hidupku. Bukan karena aku tak mencintai dia. Tapi karena aku juga harus mencintai diriku sendiri."
"Jadi kamu mantap bercerai?"
Nayla mengangguk perlahan, matanya masih berkaca-kaca. "Aku harus menggunakan akal sehatku, bukan perasaanku. Kalau aku hanya pakai hati... aku akan kembali ke dia setiap kali dia menangis. Setiap kali dia bilang masih mencintaiku. Tapi aku tahu, itu hanya lingkaran luka yang akan terus berulang."
Siska menarik napas dalam. "Kalau begitu, kamu butuh bantuan untuk melawan dia di pengadilan."
"Aku nggak punya uang banyak, Sis..."
Siska tersenyum kecil. "Kamu lupa ya? Sepupuku, Aldi, seorang pengacara. Dia sering menangani kasus perceraian. Aku bisa hubungi dia dan minta tolong dia untuk handle kasusmu."
Mata Nayla membelalak. "Tapi aku nggak bisa bayar mahal..."
"Dia cuma minta dibayar seikhlasnya. Dia bilang, selama ini dia juga muak melihat perempuan disia-siakan begitu saja di meja persidangan hanya karena mereka nggak punya uang untuk memperjuangkan haknya."
Tangis Nayla pecah sekali lagi. Tapi kali ini bukan hanya tangis luka—melainkan juga karena merasa tidak sendiri. Ada tangan yang menggenggamnya, ada suara yang membela.
"Terima kasih, Siska... kamu selalu ada buat aku..."
Siska menarik Nayla ke dalam pelukannya. "Aku bukan siapa-siapa, Nay. Tapi aku juga perempuan. Dan aku tahu, tidak ada satu pun perempuan yang pantas disakiti lalu disuruh memaafkan tanpa dipedulikan lukanya."
Setelah beberapa saat, Nayla kembali duduk dengan tenang, meski matanya masih merah.
"Aku akan lawan dia di pengadilan. Bukan karena aku benci dia. Tapi karena aku ingin dia tahu... bahwa mencintai itu juga butuh tanggung jawab, bukan hanya janji manis dan permintaan maaf yang diucapkan setelah menyakiti."
Siska tersenyum bangga.
"Itu baru Nayla yang aku kenal."