Pengkhianatan itu bukan datang dari musuh, tapi dari orang yang paling dia percaya.
Vilya Ariestha Elora — dihancurkan secara perlahan oleh pacarnya sendiri, dan sahabat yang selama ini ia anggap rumah. Luka-luka itu bukan sekadar fisik, tapi juga jiwa yang dipaksa hancur dalam diam.
Saat kematian nyaris menjemputnya, Vilya menyeret ke duanya untuk ikut bersamanya.
Di saat semua orang tidak peduli padanya, ada satu sosok yang tak pernah ia lupakan—pria asing yang sempat menyelamatkannya, tapi menghilang begitu saja.
Saat takdir memberinya kesempatan kedua, Vilya tahu… ia tak boleh kehilangan siapa pun lagi.
Terutama dia.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flowy_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 13. Investasi
Seisi rumah tampak tenang, tapi suasana di dalamnya terasa berbeda sejak kehadirannya.
Begitu melihat gadis itu kembali sambil menenteng banyak tas belanjaan bermerek, Elena hanya melirik sekilas lalu memalingkan wajah. Tatapannya penuh ke tidak sukaan, Baginya, semua itu cuma kemewahan kosong yang tak ada nilainya.
Berbeda dengan reaksi Elena, sorot mata Elmira justru tampak berbinar. Awalnya ia sempat mengira gadis itu akan sulit di hadapi, namun nyatanya tak sesulit yang dibayangkan.
Melihat deretan paperbag mewah di tangan gadis itu, senyumnya mengembang pelan.
"Vilya, kamu habis belanja, ya? Kelihatannya seneng sekali. Kalau sewaktu-waktu butuh uang tambahan, bibi bisa bantu, kok."
"Mama!" seru Elena, nada suaranya terdengar kesal. Elmira yang biasanya begitu perhitungan soal uang, bahkan tak pernah membiarkannya sedikit saja berfoya-foya. Tapi sekarang? Hanya karena gadis itu datang, sikapnya berubah total.
Sementara itu, Vilya hanya menanggapinya dengan senyum tipis lalu berjalan naik ke kamarnya, tak memedulikan suara di belakangnya yang mulai meninggi.
"Mama, kenapa bilang begitu sih! Bukankah Ayah sudah memberinya uang saku. Mama lihat sendiri berapa banyak barang yang dia beli," ujar Elena, nyaris tak bisa menyembunyikan nada kesalnya.
"Kamu tidak tau apa-apa." Elmira memotong ucapan putrinya dengan nada dingin. Selama gadis itu tidak terlalu mencolok, tidak ada yang perlu ia khawatir kan. Justru dengan membiarkannya larut dalam gaya hidup mewah, Elmira tahu akan ada saatnya segalanya runtuh perlahan.
Baginya, melihat seseorang kehilangan pijakan malah terasa memuaskan, apalagi jika orang itu diam-diam telah mengusik hatinya sejak awal.
Sementara itu, Elena hanya bisa menahan amarah. Tatapan ibunya yang tak lagi bicara justru membuat dadanya semakin sesak.
Di sisi lain, gadis itu sedang duduk di kamarnya dan perlahan mengeluarkan barang-barang belanjaannya satu per satu. Hari ini, ia sudah menghabiskan tiga puluh lima juta dari kartu kredit pemberian Ayahnya.
Ia menyalakan lampu meja, lalu mengambil parfum edisi terbatas yang terselip rapi di dalam paperbag berlogo emas. Botol kacanya anggun, simetris, dan memantulkan cahaya seperti kristal. Tak ada yang menyangka, parfum seharga dua juta lima ratus ini akan melonjak nilainya menjadi dua puluh dua juta hanya dalam tiga tahun, tepat setelah sang perancang meninggal dunia.
Pengalaman hidup mewah di masa lalu mengajarkannya banyak hal. Bukan hanya soal gaya hidup, tapi juga cara melihat peluang di balik gemerlapnya. Dulu, ia bisa dengan mudah terhubung dengan kalangan atas, dan dari situlah ia mulai memahami nilai investasi dalam dunia yang tak semua orang mengerti.
Ia tidak punya cukup dana untuk membeli properti dan tak tertarik berspekulasi di pasar saham. Di kehidupan sebelumnya, ia tak pernah menoleh ke arah itu. Fokusnya hanya pada apa yang nyata, yang bisa ia baca dan kendalikan. Dunia yang ia kenal memang sempit, tapi dari situlah ia belajar: uang, jika diputar dengan benar, akan kembali membawa hasil.
Dia tidak tahu apakah ini keberuntungannya atau bukan.
Sudut bibirnya terangkat pelan. Dengan jatah bulanan dari sang Ayah, ia bisa menyisihkan sebagian untuk investasi yang pasti. Bukan untuk bersenang-senang, tapi sebagai langkah awal menuju sesuatu yang lebih besar. Dalam dua atau tiga tahun ke depan, ia yakin bisa menabung cukup banyak untuk membangun segalanya dari awal.
Setelah seluruh belanjaan di rapikan, ponselnya bergetar pelan. Sebuah pesan masuk dari Eline, gadis itu memberi kabar bahwa ia sudah sampai di rumah dengan selamat dan menanyakan apakah dirinya juga telah tiba.
Ia membalas singkat, lalu meletakkan ponsel di meja. Tangannya kemudian meraih sebuah buku catatan polos dari dalam laci, membuka lembaran pertamanya perlahan.
Dengan tenang, ia mulai menulis. Satu per satu nama muncul di halaman itu. Tiga belas nama yang masih ia ingat dari masa SMA.
Di kehidupan sebelumnya, ia pernah menganggap Karina sebagai sahabat sejatinya selama masa SMA. Ia membela gadis itu tanpa ragu, dalam banyak situasi, bahkan ketika semua orang mulai menjauh. Tanpa sadar, sikapnya telah menyinggung banyak teman sekelas, hingga ia perlahan terasingkan oleh teman lainnya.
Itulah sebabnya ia tak pernah menghadiri reuni setelah kelulusan.
Kehidupan seorang pelajar adalah cerminan kecil dari dunia yang sebenarnya.
Dan masa SMA-nya dulu… adalah sebuah kegagalan. Ia tidak memiliki satu pun kenangan yang layak untuk dibanggakan. Yang tertinggal hanyalah penyesalan.
Maka saat kesempatan kedua datang, ia tahu ini bukan sesuatu yang boleh disia-siakan. Ia tidak ingin mengulang kesalahan yang sama.