Milea, Gadis yang tak tahu apa-apa menjadi sasaran empuk gio untuk membalas dendam pada Alessandro , kakak kandung Milea.
Alessandro dianggap menjadi penyebab kecacatan otak pada adik Gio. Maka dari itu, Gio akan melakukan hal yang sama pada Milea agar Alessandro merasakan apa yang di rasakan nya selama ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SelsaAulia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Setelah menyelesaikan urusan pelik bersama Marco, Gio kembali ke kamar. Suasana sunyi menyelimuti ruangan. Milea duduk di tepi ranjang, punggungnya tegak, tatapannya kosong menerawang ke luar jendela. Cahaya matahari memantul di rambutnya yang hitam, menciptakan aura melankolis yang menyelimuti gadis itu. Apakah ia sedang merenung? Sedang bahagia? Atau justru tertekan? Gio tidak tahu, dan jujur saja, ia tidak peduli.
Gio bergerak dengan tenang, melepaskan jasnya dan menggantinya dengan kemeja yang lebih kasual namun tetap rapi dan berwibawa. Gerakannya terukur, menunjukkan ketenangan seorang yang terbiasa mengendalikan situasi.
Ia tidak mengucapkan sepatah kata pun kepada Milea, tidak ada pamitan, tidak ada sapaan, bahkan sekadar tatapan pun tidak ia berikan. Dengan dingin, ia mengambil kunci mobil dari atas nakas, dan tanpa menoleh lagi, ia melangkah pergi, meninggalkan Milea sendirian dalam kesunyian kamar.
Milea tetap duduk di tempatnya, tanpa bergerak sedikit pun. Tatapannya masih tertuju pada pemandangan di luar jendela, seperti sedang mengamati sebuah dunia yang jauh dan tak terjangkau.
Ia tidak berusaha untuk memanggil Gio, tidak ada rasa penasaran, bahkan tidak ada sedikit pun rasa kecewa. Kepergian Gio, sepertinya, hanya sebuah peristiwa biasa, sesuatu yang sudah begitu lumrah terjadi dalam kehidupannya. Keheningan itu terasa begitu dalam, menyelimuti Milea dalam kesendiriannya yang sunyi.
*
*
*
Langkah kaki Gio membawanya menuju paviliun kecil yang terpencil di sudut mansion. Di sana, sesosok malaikat kecil sudah menunggunya. Dominic, dengan rambut pirang keemasan dan mata biru yang bersinar, duduk manis di kursi rotan, senyumnya merekah seperti bunga matahari di pagi hari. Ia tampak begitu polos dan lugu, menciptakan aura hangat yang menenangkan.
"Paman," sapa Dominic, suaranya renyah seperti lonceng kecil. "Mana mainan ku?" Ia menagih janji Gio yang telah diucapkan kemarin, matanya berbinar penuh harap.
Gio tersenyum tipis, sebuah ekspresi yang jarang terlihat di wajahnya. "Dominic, bagaimana kalau kita pergi membeli mainan bersama? Tapi kamu harus berjanji, kamu tidak boleh keluar dari paviliun selama beberapa hari ke depan. Paman akan membelikanmu banyak mainan, pilih apa saja yang kamu mau. Bagaimana?" Ia mengajukan tawarannya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya.
"Iya, Paman! aku mau!" Dominic langsung menjawab dengan antusias, matanya berbinar-binar seperti bintang di langit malam. Ia tak sabar untuk mendapatkan mainan baru.
Tanpa menunggu lama, Gio menggandeng tangan Dominic kecil itu dan membawanya keluar. Mobil mewah melaju menuju toko mainan terbesar di kota, membawa Dominic ke dalam dunia penuh warna dan kesenangan.
"Yeay! aku keluar! aku sangat senang, Paman! Terima kasih sudah mengajak aku berbelanja mainan dan jalan-jalan!" Dominic berseru gembira, suaranya penuh dengan kegembiraan anak kecil yang polos. Ia melompat-lompat di kursi mobil, menunjukkan kegembiraannya yang tak terbendung.
"Sama-sama, sayang," jawab Gio, suaranya terdengar hangat, diiringi oleh tatapan penuh kasih sayang. Ia memperhatikan Dominic dengan seksama, menemukan banyak kemiripan dengan Berlin, adik perempuannya yang kini berabaring di ranjang tak berdaya
Sepanjang perjalanan, ocehan Dominic memenuhi mobil. Cerita-cerita lucu, pertanyaan-pertanyaan polos, dan tawa riang yang tak henti-hentinya.
Suara Dominic mampu mengobati kerinduan Gio akan Berlin, mengingatkannya pada masa lalu yang penuh keceriaan. Dalam momen itu, Gio menemukan sedikit kedamaian di tengah hiruk pikuk kehidupannya yang penuh intrik dan bahaya.
Aroma plastik baru dan manisnya permen karet memenuhi hidung Dominic begitu kaki mungilnya melangkah masuk ke toko mainan raksasa itu.
Matahari siang Menyinari deretan mainan yang berkilauan, menciptakan dunia ajaib di hadapannya. Di sampingnya, Gio, pamannya yang terkenal kaya raya dan—kata orang-orang—kejam, berjalan dengan langkah tenang, aura kekuasaannya terasa meskipun ia hanya mengenakan kemeja putih sederhana.
Para staf toko, seperti burung-burung yang menyambut kedatangan raja, langsung mengerumuni mereka, senyum-senyum ramah terkembang di wajah mereka. Gio, sosok yang namanya saja sudah cukup membuat jantung berdebar, menerima sambutan itu dengan tenang, tatapannya tajam namun tak mengancam.
Dominic, lepas kendali, berlari kecil di antara lautan mainan. Tangannya menyambar-nyambar, memilih-milih mobil-mobilan, robot, dan boneka beruang raksasa. "Ambil saja apa pun yang kau mau, Sayang," kata Gio, suaranya rendah, menepuk lembut kepala Dominic.
Lalu, ia berjalan menuju kursi tunggu yang nyaman, disambut secangkir teh hangat dan sepiring kue kering. Pelayanan VIP, memang pantas untuk Gio.
Dominic menjelajahi toko mainan itu seperti seorang penjelajah menemukan harta karun. Para staf setia mengikutinya, menjawab pertanyaan-pertanyaan polosnya dengan sabar.
Gio hanya duduk, mengamati keponakannya dari kejauhan, sesekali menyesap tehnya, tatapannya tak pernah lepas dari Dominic yang asyik bermain.
Waktu berlalu begitu cepat. Dominic kembali, mendorong empat troli penuh mainan. Mobil-mobilan mewah, set lego raksasa, boneka-boneka hewan dan masih banyak lagi. Harga totalnya? Ratusan juta rupiah, mungkin lebih.
Gio berdiri, menatap tumpukan mainan itu dengan tenang. "Sudah?" tanyanya, suaranya datar, tanpa sedikit pun ekspresi terkejut.
"Sudah, Paman," jawab Dominic, senyumnya merekah, mata bersinar gembira.
Gio kembali bertanya, memastikan, "Ini saja cukup?"
Dominic mengangguk mantap. "Iya, Paman. Ini sudah cukup."
Para staf saling berbisik, takjub. "Ini saja?" Mereka tak percaya Gio, orang terkaya di kota itu, begitu tenang menghadapi tumpukan mainan yang harganya bisa membeli sebuah rumah kecil di pinggiran kota.
Tapi di balik tatapan dingin Gio, tersimpan kasih sayang yang dalam untuk keponakannya. Ia tahu, kebahagiaan Dominic tak terukur dengan angka di rekening banknya. Dan itu, jauh lebih berharga daripada semua kekayaannya.
Setelah transaksi pembelian mainan selesai—suatu proses yang berlangsung tanpa drama, hanya senyum tipis Gio dan tatapan kagum para staf—Gio menggenggam tangan Dominic kecil dan mengajaknya ke sebuah kedai es krim terkenal di kota itu.
Aroma manis strawberry dan cokelat memenuhi udara, menggoda selera. Dominic, tanpa ragu, memesan es krim strawberry kesukaannya, dengan tambahan selai yang melimpah ruah.
Gio memesan es krim cokelat dengan taburan kacang, pilihan yang sederhana namun tetap elegan.
Mereka duduk berdampingan, menikmati es krim masing-masing. Suasana sunyi, hanya suara sendok yang beradu dengan es krim yang memecah kesunyian. "Setelah ini kita pulang, ya," kata Gio, suaranya lembut, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik kelembutan itu.
"Iya, Paman. Terima kasih. Aku sayang Paman," jawab Dominic, matanya berbinar-binar, menunjukkan kebahagiaannya yang tulus. Kebahagiaan anak kecil yang sederhana, yang tak membutuhkan banyak hal untuk merasakan kebahagiaan.
"Tapi ingat, ya, selama beberapa hari ke depan jangan dulu keluar mansion. Nanti Paman akan mengajakmu jalan-jalan lagi," kata Gio, suaranya sedikit berubah, lebih serius. Ada bayangan samar kekhawatiran di matanya.
Wajah Dominic yang tadinya cerah, langsung mendung. "Iya, Paman… tapi kenapa? Dulu kita jalan-jalan setiap dua hari sekali. Kenapa sekarang Paman tidak sering mengajakku jalan-jalan? Bahkan aku tidak diizinkan ke taman?" Suaranya bergetar, pertanyaan-pertanyaan polos namun menusuk terlontar dari bibir mungilnya. Mata polosnya bertanya-tanya, mencari jawaban dari pertanyaan yang bahkan ia sendiri belum mengerti.
Gio menghela napas panjang. "Dominic masih kecil, kamu tidak akan mengerti. Turuti saja apa kata Paman, ya?" Ia berusaha menjelaskan dengan sabar, namun kata-katanya terasa hampa, tak mampu menjawab keraguan di hati Dominic. Ia mengusap lembut kepala Dominic, mencoba menenangkan keponakannya yang mulai cemberut.
Dominic mengangguk, mencoba memberikan senyum terbaiknya, namun di balik senyum itu, kecewaan tergambar jelas. Ia tahu, ia sedang menyembunyikan sesuatu dari Dominic, sesuatu yang berat, sesuatu yang mungkin akan menyakiti hati Dominic kecil itu. Namun, demi keselamatan Dominic, ia harus melakukannya.
Semangat terus kak 💪
di tunggu back nya 🥰