NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:1.1k
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18: di lembah kematian

Langkah Langkah

Langkah Langkah...

Langkah mereka terhenti mendadak.

Sizu berdiri di depan, menghadang jalan, mata tajamnya menatap lurus ke dalam lebatnya hutan yang menjulang gelap.

Oiko yang berada di tengah segera bersuara:

“Kenapa, Sizu?”

Sizu menoleh sedikit, lalu berkata dengan nada serius:

“Aku merasakan energi kuat... Sekawanan Fenrir buas. Mereka datang ke arah kita.”

Deg.

Detak jantung Oiko terasa berhenti sesaat.

Di sampingnya, Rinya secara refleks menggenggam tangan Oiko erat.

Tubuh mungilnya sedikit bergetar, telinga bulunya bergerak cepat mendeteksi suara sekitar.

Mikami di sisi lain hanya terdiam, matanya fokus ke depan, tubuhnya menegang, dan napasnya mulai tak stabil.

Suasana berubah mencekam.

Hanya suara napas dan detak jantung mereka yang terdengar.

Lalu…

Crak! Crak! Crak!

Dari kejauhan, di balik kabut tipis dan rimbunnya pepohonan, muncul puluhan mata merah yang menyala—

Satu per satu siluet raksasa berbulu hitam legam, dengan taring tajam dan aura haus darah.

Sekawanan Fenrir.

Awooooooooooooo!!

Jeritan panjang dan menusuk itu menggema ke seluruh penjuru hutan.

Mereka berlari cepat, melewati pohon-pohon besar dengan kecepatan luar biasa.

Tanah berguncang oleh lompatan kaki-kaki mereka.

“Oiko...” bisik Rinya, tubuhnya semakin mendekat ke Oiko, tak melepaskan genggaman.

Oiko masih terdiam.

Keringat dingin mengalir di pelipisnya.

Ia belum pernah melihat makhluk sebuas ini dalam jumlah sebanyak itu — dan mereka semua datang ke arah mereka.

Puluhan Fenrir kini telah berada hanya beberapa meter di depan mereka.

Perlahan, mereka memperlambat lari menjadi langkah hati-hati, seperti pemburu yang sudah yakin pada mangsanya.

Mata merah mereka menatap tajam.

Taring tajam terlihat jelas saat mereka mulai menggeram.

Nafas mereka kasar, udara di sekitar terasa menipis.

“Ini… buruk,” ucap Mikami dengan suara pelan, hampir berbisik.

Tiba-tiba..

BOOM.

Angin seperti disobek keras.

Sebuah bayangan muncul cepat dari belakang kawanan Fenrir.

Begitu cepat, hampir tak terlihat.

Salah satu Fenrir yang paling besar langsung menoleh ke belakang…

Namun terlambat.

SLAAASH!!

Oiko — dengan kekuatan luar biasa — menghantamkan tinjunya ke arah Fenrir tersebut.

Braakkkk!!

Tubuh besar makhluk itu meledak, daging dan darah menyebar ke sekeliling, menyiram pohon dan rerumputan.

Sisa tubuhnya jatuh dengan bunyi berat.

Semua Fenrir terdiam.

Mata mereka melebar. Nafas mereka tercekat.

Sizu, Mikami, dan Rinya pun terkejut.

“Oiko… dia muncul dari belakang mereka?” gumam Mikami tak percaya.

Oiko berdiri pelan, wajahnya serius. Tangan kanannya berasap.

Ia menatap ke arah kawanan yang kini mulai mundur pelan-pelan.

“Kalian datang ke arah yang salah…” ucap Oiko dingin.

Namun kawanan Fenrir, mungkin karena naluri liar atau rasa lapar yang mendalam, malah mengeluarkan raungan serempak.

Awoooooo!

Dan mereka serbu.

Puluhan Fenrir bergerak serempak menyerbu Oiko dari segala arah.

“OIKO!!” teriak Rinya dan Mikami bersamaan.

Namun Oiko tidak bergerak sedikit pun.

Begitu mereka dekat...

Dorr. Dorr. Bruukk. Braaakkk.

Tubuh-tubuh Fenrir dihantam satu per satu.

Tangan Oiko bergerak secepat cahaya, dan setiap pukulan menghancurkan tulang dan daging mereka.

Darah mengalir deras di antara pohon-pohon.

Jeritan dan raungan kematian terdengar, bergema seperti simfoni neraka.

Sizu yang berdiri jauh hanya bisa terdiam.

Matanya tak bisa berpaling dari pertarungan sepihak ini.

“Dia… menghabisi mereka semua sendirian,” gumam Sizu kagum dan takut bersamaan.

Fenrir terakhir — yang paling kecil — mencoba lari.

Namun Oiko muncul di depannya dalam sekejap.

“Jangan tinggalkan teman-temanmu,” ucap Oiko dingin.

ZRAAAAKK!!

Makhluk itu hancur berantakan, menyisakan genangan darah dan daging hancur.

Hening...

Angin berhenti.

Pepohonan seakan tak bergerak.

Tubuh-tubuh Fenrir berserakan di tanah, beberapa masih gemetar sesaat sebelum akhirnya tak bergerak.

Warna tanah berubah menjadi merah tua, genangan darah memenuhi akar-akar pohon.

Rinya duduk lemas.

Tangannya gemetar, wajahnya pucat.

Mikami menutup mulutnya dengan tangan, tak percaya dengan kekuatan yang baru saja ia lihat.

Sizu melangkah pelan ke Oiko.

Wajahnya serius, mata bergetar.

“Kamu bukan manusia biasa… siapa kamu sebenarnya?”

Oiko tak menjawab.

Ia hanya menatap tangannya yang berlumuran darah, lalu menghapusnya ke tanah.

“.....”

Hening....

DING!

[Skill "Lari Cepat" naik ke Lv. 27]

[Skill "Reflek Cepat" naik ke Lv. 27]

Suara itu menggema lembut di dalam benak Oiko.

Bersamaan dengan itu, tubuhnya terasa ringan. Kakinya seperti mengalirkan tenaga segar. Pandangannya semakin tajam.

“Banyak banget tadi... jadi aku naik level ya? Kecepatanku juga... meningkat.”

Pikirannya masih terperangkap pada pertempuran barusan. Ia berdiri mematung, membiarkan angin menerpa wajah dan rambutnya. Matanya kosong, menatap arah pertempuran yang telah usai.

Sementara itu, Rinya, Mikami, dan Sizu sudah mulai berjalan pelan meninggalkan tempat itu. Mereka tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah mengerti Oiko sedang memproses segalanya.

Langkah-langkah mereka menjauh.

Oiko akhirnya tersadar.

“Ah...”

Ia menoleh cepat, lalu berbalik, dan mulai berlari pelan mengejar mereka. Tak butuh waktu lama, ia sudah di belakang mereka.

Ia menatap punggung ketiga temannya.

Langkah-langkah mereka ringan namun hening. Hanya suara rumput dan ranting-ranting kecil yang terinjak yang terdengar.

Lalu...

“Uhh!”

Rinya terjatuh ke tanah.

Oiko langsung menghentikan langkahnya.

“Ah, kebiasaan dia jatuh mulu…” gumam Oiko sambil tersenyum kecil.

Rupanya Rinya tersandung batu kecil yang tersembunyi di balik daun-daun kering.

Tubuh mungilnya terduduk, matanya sedikit berkaca, dan kuping bulunya menekuk ke bawah.

Oiko menghampiri.

Dengan lembut, ia menunduk lalu mengusap kepala Rinya, telinga kecilnya ikut dielus.

Rinya hanya bisa memalingkan wajah dengan pipi memerah.

“Gak apa-apa kan?” tanya Oiko lembut.

Rinya mengangguk pelan, masih tak berani menatap langsung.

Dari depan, Mikami dan Sizu menoleh.

“Kenapa?” tanya Mikami.

“Dia jatuh lagi,” jawab Oiko santai.”

Mereka semua menunggu Rinya bangkit, lalu mereka kembali berjalan.

Langkah mereka menyusuri hutan kembali terdengar.

Pepohonan masih rapat, tapi cahaya matahari mulai merembes masuk melalui celah-celah daun, seolah memberi harapan.

Oiko berjalan paling belakang kali ini.

Sesekali ia menatap Rinya yang berjalan dengan pelan di samping Mikami.

Sesekali ia tersenyum melihat bagaimana mereka kini mulai akrab.

Perjalanan masih panjang.

Tapi bagi Oiko, bersama mereka… membuat langkah itu terasa lebih ringan.

Hutan masih terasa sejuk.

Pepohonan tinggi menjulang, dedaunan melambai pelan diterpa angin. Cahaya matahari memantul lembut di antara sela-sela ranting.

Oiko berjalan di belakang.

Matanya memperhatikan langkah-langkah mereka, terutama Rinya yang tampak mulai berjalan lemas.

Tubuh mungil gadis itu sedikit tertunduk. Bahunya naik turun, napasnya berat. Ia terus berusaha mengikuti langkah Mikami dan Sizu di depan, tapi tubuhnya tak kuat lagi.

Oiko mendekat perlahan.

“Hei…”

Tak ada respon.

Oiko mengulurkan tangannya, memegang tubuh kecil Rinya dari samping.

Lalu dengan satu gerakan ringan, mengangkatnya dan menggendongnya dalam posisi bridal carry.

Rinya tidak protes.

Matanya menutup perlahan. Ia hanya diam, wajahnya memerah, tapi tak berkata apapun.

Hening.

Suara napasnya lembut.

Kepala kecilnya bersandar pelan di dada Oiko.

Langkah Oiko melambat, menyesuaikan dengan Mikami dan Sizu di depan.

Namun tetap mantap—mengayun dengan ritme yang tenang, seolah membawa sesuatu yang sangat berharga.

Mikami dan Sizu tidak menoleh ke belakang. Mereka fokus ke depan. Tapi dari ekor mata, Mikami sempat melirik dan tersenyum kecil.

Langkah demi langkah.

Jejak kaki mereka tertinggal di tanah basah, di atas akar-akar pohon dan daun-daun gugur.

Jejak yang membentuk satu garis—sebuah perjalanan yang kini tak lagi sendiri.

Angin menghembus lembut, membawa aroma tanah dan daun segar.

Burung-burung bersiul di kejauhan, seolah memberi semangat.

Oiko menatap ke depan, lalu menunduk sedikit melihat Rinya yang tertidur dalam pelukannya.

“Tidurlah… kita masih jauh.”

Perjalanan belum usai. Tapi kini, Oiko sadar, mereka adalah satu kelompok. Satu langkah. Satu irama...

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!