Liana Antika , seorang gadis biasa, yang di jual ibu tiri nya . Ia harus bisa hamil dalam waktu satu bulan. Ia akhirnya menikah secara rahasia dengan Kenzo Wiratama—pewaris keluarga konglomerat yang dingin dan ambisius. Tujuannya satu, melahirkan seorang anak yang akan menjadi pewaris kekayaan Wiratama. agar Kenzo bisa memenuhi syarat warisan dari sang kakek. Di balik pernikahan kontrak itu, tersembunyi tekanan dari ibu tiri Liana, intrik keluarga besar Wiratama, dan rahasia masa lalu yang mengguncang.
Saat hubungan Liana dan Kenzo mulai meluruhkan tembok di antara mereka, waktu terus berjalan... Akankah Liana berhasil hamil dalam 30 hari? Ataukah justru cinta yang tumbuh di antara mereka menjadi taruhan terbesar?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 18
"Hoek… Hoek…"
Suara muntah terdengar keras dari kamar mandi. Maria yang sedang membersihkan meja makan di dapur langsung tersentak. Tanpa pikir panjang, ia menjatuhkan kain lap dan berlari ke arah kamar Liana.
“Liana?!” panggilnya panik sambil membuka pintu kamar yang tak terkunci.
Di sana, ia melihat Liana duduk di lantai kamar mandi, memegangi perutnya yang kaku. Rambutnya berantakan, wajahnya sangat pucat, dan tubuhnya terlihat lemas.
“Ya ampun, Liana! Kamu kenapa, sayang?” Maria segera menghampiri, mengusap punggung Liana perlahan. Ia membantunya berdiri dan membawanya keluar dengan hati-hati, lalu merebahkannya di tempat tidur.
Liana hanya mengangguk pelan, masih berusaha mengatur nafasnya.
“Nih, minum dulu air putihnya,” Maria menyodorkan segelas air, menuntun tangan Liana untuk memegangnya. “Pelan-pelan ya…”
Setelah beberapa teguk, Liana bersandar di bantal. Matanya setengah terpejam, tapi nafasnya sudah lebih tenang.
Maria menatap wajah pucat itu dengan penuh kekhawatiran. “Aku tinggal dulu, ya… Aku mau buatkan sup ayam kesukaanmu. Biar perut kamu anget dan kamu bisa pulih lagi.”
Liana tidak menjawab, hanya mengangguk kecil sambil memejamkan mata. Maria berdiri pelan-pelan, menutup pintu dengan tenang, dan segera menuju dapur.
Hati kecil Maria terasa mencelos.
‘Apa Liana sakit karena kelelahan? Atau... mungkinkah ini tanda lain yang lebih besar?’ pikirnya sambil menyiapkan bahan-bahan sup.
Sementara itu, Liana terbaring diam di atas kasur, memeluk perutnya pelan. Matanya menatap langit-langit, kosong, dan ada air mata yang mulai menggenang di sudut matanya.
Maria sibuk mengaduk sup ayam yang aromanya mulai menyebar ke seluruh dapur. Ia menambahkan sedikit lada dan seledri, lalu mengecilkan api. Wajahnya terlihat cemas, mengingat kondisi Liana yang begitu lemah pagi ini.
Langkah kaki terdengar memasuki dapur. Alex muncul di ambang pintu, bersandar santai tapi dengan raut wajah serius.
“Mana Nona? Jam segini belum sarapan?” tanyanya, matanya mengamati aktivitas Maria.
Maria menoleh cepat. “Nona tadi muntah-muntah, Lex. Sekarang lagi istirahat di kamar. Makanya aku masakin sup ayam kesukaannya, biar perutnya hangat.”
Alex mengangguk pelan, bibirnya mengerucut. “Apa nggak sebaiknya dibawa ke dokter?”
Maria mengangkat bahu. “Mungkin cuma masuk angin… atau mungkin…”
BRRR… BRRR…
Belum sempat Maria menyelesaikan kalimatnya, ponsel Alex bergetar dari saku celana. Ia segera melihat layar—nama yang tertera membuat ekspresinya berubah.
“Sebentar,” ucapnya singkat sambil berjalan menjauh ke sudut dapur.
Maria hanya diam, mencoba menangkap percakapan Alex dari jarak itu.
“Halo, Tuan Muda…” suara Alex langsung terdengar lebih sopan. “Ya, Nona Liana baru saja tidak enak badan, Tuan. Tadi pagi sempat muntah.”
Ia mendengarkan suara di seberang dengan tenang, lalu menambahkan, “Sekarang sedang beristirahat di kamar. Maria sedang menyiapkan sup hangat untuknya.”
Hening sesaat. Alex mengangguk kecil meskipun Kenzo tak bisa melihat. “Baik, akan saya jaga sebaik mungkin.”
Setelah menutup telepon, Alex menatap Maria dan berkata, “Tuan Muda Kenzo barusan menanyakan keadaan Nona. Aku sudah bilang semuanya.”
Maria mengangguk. “Syukurlah kalau Tuan Kenzo perhatian…”
Alex hanya tersenyum tipis.
Pagi sebelum menghubungi Alex….
Suara ketikan keyboard terdengar samar di ruangan besar yang didominasi nuansa kayu dan kaca pagi itu. Kenzo duduk di balik meja kerjanya yang rapi. Matanya menatap layar laptop, namun pikirannya tak sepenuhnya fokus.
Ponselnya bergetar—panggilan masuk dari Claudia.
Ia menggeser layar dan segera mengangkat.
“Halo, Sayang…” suara Claudia terdengar ceria dari seberang, dibarengi suara riuh dari kru pemotretan.
“Halo, di mana kamu sekarang?” tanya Kenzo, duduk bersandar sambil melemaskan dasinya.
“Baru selesai sesi pertama. Di Singapore lumayan panas, tapi kru-nya profesional. Dua minggu kedepan akan padat, tapi aku senang,” jawab Claudia antusias.
Kenzo hanya mengangguk kecil walau Claudia tak bisa melihatnya. “Jaga kesehatan. Jangan forsir diri.”
Claudia tertawa kecil. “Kamu mulai terdengar seperti suami yang perhatian.”
Kenzo hanya tersenyum tipis. Tapi saat Claudia terus bercerita soal rencana pemotretan berikutnya, pikirannya mulai melayang.
Wajah Liana terlintas di benaknya begitu saja.
Entah kenapa, pagi ini ada rasa ganjil di hatinya. Ia belum sempat menghubungi Liana. Seketika rasa khawatir menyelinap.
“sayang , aku tutup dulu ya. Ada hal yang harus aku urus,” katanya memotong pembicaraan.
“Cepat banget? Oke, hati-hati di kantor ya!” balas Claudia.
Setelah menutup telepon, Kenzo langsung membuka kontak Liana dan menekan tombol panggil.
Nada sambung terdengar… lama… tapi tak ada jawaban.
Dahi Kenzo mengernyit. Ia mencoba lagi.
Satu kali. Dua kali. Tiga kali. Masih sama.
Tak ada jawaban dari Liana.
Kenzo mulai gelisah. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi, matanya menatap langit-langit ruangan. Ada sesuatu yang tidak beres. Ia bisa merasakannya.
Pikiran buruk bermunculan.
“Liana kenapa nggak angkat telepon? Apa dia sedang tidur? Atau…”
Ia teringat Alex dan segera menghubunginya. Sambungan langsung tersambung dalam beberapa detik.
“Halo, Tuan Kenzo.”
“Alex, bagaimana keadaan Liana?” tanya Kenzo cepat, suaranya terdengar tegas dan tak sabar.
Ada jeda sejenak sebelum Alex menjawab, “Nona Liana tadi pagi muntah, Tuan. Maria bilang wajahnya sangat pucat. Tapi sekarang sudah istirahat di kamar. Maria baru saja menyiapkan sup ayam.”
Deg.
Mata Kenzo membelalak.
“Muntah?” ulang Kenzo pelan, seolah memastikan.
“Iya, Tuan. Belum sarapan juga. Maria bilang mungkin masuk angin, tapi—”
Alex belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Kenzo langsung berdiri dari kursi kerjanya. Ada sesuatu yang bergejolak dalam dadanya. Bukan kecemasan, tapi... harapan.
Kehamilan.
Pikiran itu muncul begitu saja dan membuat jantungnya berdebar cepat.
Tanpa membuang waktu, ia menutup telepon dan melangkah keluar ruangan sambil berbicara pada sekretarisnya yang kebingungan melihat wajah serius sang direktur.
“Hubungi dokter kandungan langganan kita. Siapkan mobil sekarang juga. Saya harus ke villa.”
“Dokter kandungan, Tuan?”
“Cepat!” ucap Kenzo tegas tanpa menoleh.
Lima menit kemudian, mobil Kenzo melaju kencang keluar dari area parkir gedung utama. Di kursi belakang, seorang dokter kandungan wanita sudah duduk dengan wajah tenang namun penasaran.
“Dia... mungkin hamil,” gumam Kenzo, lebih pada dirinya sendiri.
Di balik wajah dinginnya yang biasa, hari itu ada senyum kecil yang tak bisa disembunyikan. Entah ini cinta atau bukan, tapi memikirkan kemungkinan Liana mengandung anaknya—darah dagingnya—membuat hatinya terasa penuh.
Setelah beberapa waktu berlalu, mobil Kenzo berhenti di pelataran villa mewah itu. Tanpa menunggu dibukakan pintu, Kenzo langsung turun, diikuti seorang wanita paruh baya berpenampilan anggun dan profesional—dr. Anya, dokter kandungan langganan keluarga Mahesa.
Alex yang sudah menunggu di teras langsung menyambut dengan sopan.
“Selamat datang, Tuan Kenzo.”
“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya Kenzo langsung.
“Masih pucat, Tuan. Tapi sudah bisa makan sup buatan Maria.”
“Baik, di mana dia sekarang?”
“Di kamar, Tuan.”
Tanpa banyak kata, Kenzo langsung melangkah cepat ke dalam vila, diikuti oleh dokter Anya. Langkahnya mantap, tapi dalam dadanya bergejolak campuran antara harapan dan ketakutan. Harapan bahwa firasatnya benar... dan ketakutan jika ternyata semua hanya dugaan semu.
Sesampainya di depan kamar, Kenzo langsung membuka pintu dengan lembut.
Tampak di sana Maria sedang duduk di pinggir tempat tidur, perlahan menyuapi Liana yang bersandar lemah di balik tumpukan bantal. Wajahnya pucat, rambutnya sedikit acak, tapi tetap terlihat cantik dalam balutan piyama lembut.
“Maaf, Nona. Pelan-pelan saja makannya ya...”
Liana hanya mengangguk kecil, menelan dengan susah payah. Namun saat matanya menoleh ke arah pintu, dan melihat Kenzo berdiri di ambang dengan tatapan cemas, sendok sup terhenti di udara.
“Ke—Kenzo?” bisik Liana lemah.
Tanpa menjawab, Kenzo langsung berjalan mendekat. Maria segera bangkit memberi ruang, dan dr. Anya berdiri di sisi seberang tempat tidur, mengamati.
“Aku bawa dokter,” ucap Kenzo pelan namun mantap.
“Apa perlu... sampai segitunya?” tanya Liana dengan suara serak, merasa bersalah dan sedikit malu.
Kenzo berlutut di samping ranjang, menggenggam tangan Liana.
“Kalau ini soal kehamilan... aku tak bisa membiarkan ini dianggap sepele.”
Liana memandangnya lekat-lekat. Tatapan itu… bukan sekadar khawatir. Ada sesuatu yang lain. Sesuatu yang... membuat hatinya bergetar.
“Dok, periksa dia sekarang,” ucap Kenzo kepada dr. Anya.
Dengan profesional, dokter itu mengangguk. “Tentu. Saya akan periksa. Tapi sebelumnya Nona harus istirahat sejenak, dan saya butuh waktu untuk menyiapkan alat pemeriksaan ringan di ruangan ini.”
Kenzo mengangguk dan berdiri. “Aku di luar. Kalau sudah siap, panggil aku.”
Liana menatap punggung Kenzo yang menjauh menuju pintu. Nafasnya terasa berat, tapi bukan karena sakit... melainkan karena ketakutan yang menyelinap di hatinya.
Bagaimana jika benar ia hamil?
Dan bagaimana jika tidak?
Beberapa saat kemudian, Maria membuka pintu kamar dan menunduk sopan ke arah Kenzo yang menunggu di lorong dengan gelisah.
“Tuan… Dokter Anya memanggil Anda masuk.”
Tanpa menjawab, Kenzo langsung melangkah masuk. Detak jantungnya berdetak cepat, seperti menunggu hasil ujian hidupnya.
Dr. Anya berdiri di samping tempat tidur dengan senyum lembut.
“Silahkan duduk, Tuan Kenzo,” ucapnya sopan.
Kenzo segera duduk disisi tempat tidur, menggenggam tangan Liana yang masih tampak sedikit pucat, tapi kali ini ada binar canggung di matanya.
Dr. Anya membuka map kecil di tangannya, lalu menatap Kenzo dengan tenang.
“Hasil pemeriksaan awal menunjukkan bahwa Nona Liana positif hamil, usia kehamilan diperkirakan memasuki minggu ke dua. Tapi untuk lebih pasti nya saya sarankan ke rumah sakit ,untuk pemeriksaan Lebih lanjut.”
Hening. Sunyi. Bahkan Maria di sudut kamar menutup mulutnya, tak ingin mengganggu momen itu.
Kenzo membeku beberapa detik. Matanya membelalak pelan, lalu perlahan wajahnya berubah—mata itu mulai berkaca-kaca, senyum yang sangat jarang terlihat di wajahnya kini merekah, begitu hangat dan tulus.
“Benarkah…?” bisiknya lirih, seakan masih tak percaya.
Liana hanya mengangguk pelan. Air matanya jatuh tanpa suara.
Tanpa bisa menahan diri, Kenzo segera memeluknya dengan erat, seakan takut jika kebahagiaan itu hanyalah mimpi yang akan menghilang.
“Terima kasih… Liana…,” ucapnya penuh emosi. “Kau memberiku kebahagiaan yang tak pernah kuduga.”
Liana memeluk balik dengan lemah. “Tapi… ini semua karena paksaan. Aku takut…”
Kenzo menarik diri sedikit, memegang wajah Liana dengan kedua tangannya. Tatapan matanya dalam, serius, dan penuh janji.
“Aku tahu semua ini diawali dengan kesepakatan... tapi bayi ini nyata. Dia darahku... dan kamu ibunya. Mulai hari ini, aku akan menjaga kalian berdua. Apapun yang terjadi.”
Air mata Liana jatuh semakin deras. Untuk pertama kalinya, ia merasa Kenzo menatapnya bukan sebagai bagian dari rencana—tetapi sebagai wanita yang tengah mengandung anaknya.
Dari sudut ruangan, Maria dan dr. Anya saling pandang, ikut tersentuh dengan adegan haru di depan mereka.
Kenzo segera berdiri dan melihat kearah dokter Anya ,
“ Saya minta dokter merahasiakan ini semua dari umum ,khusus nya keluarga besar saya .apa dokter bersedia ?”
“ Saya bersedia tuan Kenzo saya akan merahasiakan hal ini “. Sahut dokter Anya.