Wanita yang tidak percaya adanya hubungan dalam kata friendzone.
Apa itu friendzone? Apa gak aneh?
"Lo gak hadir sekali, gue bikin masalah."
-Nathan-
Alana tidak pernah menyangka.
diantara semua karakter diriku yang dia ketahui mungkin dia menyelipkan sedikit 'Rasa'.
aku tidak pernah tahu itu. aku cukup populer, tapi kepekaanku kurang.
dimataku, dia hanya sebatas teman kecil yang usil dan menyebalkan. aku tak pernah tahu justru dengan itulah dia mengungkapkan 'Rasa'.
pertemanan kami spesial.
bukan, lebih tepatnya, Friendzone dari sudut pandang 'Dia'.
#dont repost or plagiat this story ❗❗❗
jangan lupa komenn ^^
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Daisyazkzz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
•Kamu•
Aku bermimpi lagi.
Entah kapan aku akan bangun, aku bosan, lelah.
Jiwa ini masih terbangun, tapi kenapa tubuhku menolak bergerak?!
Pukul sembilan pagi. Hari kesembilan pula Alana terbaring di ranjang rumah sakit tanpa kemajuan apapun.
Dokter sudah datang memeriksa.
Mungkin atau tidak, bisa saja nanti siang akan ada pergerakan dari tubuh Alana.
Bu Yayun baru pulang setelah menemani Claudia menjenguk Alana tadi pagi-pagi sekali, masih tanpa kehadiran putranya, Nathan.
Ruangan VVIP tempat Alana dirawat tak ada yang berubah. Kecuali diatas dan disamping ranjangnya banyak sekali bingkisan.
Anehnya, jiwa Alana seolah sedang tersadar di dunia lain tanpa tubuhnya. Dia berada di dalam ruangan putih, di tengah sana dia bisa melihat dirinya berbaring kaku dililit perban kaki dan belalai infus.
Gadis itu mulai terbiasa. Sejak dua hari ia tak bangun, jiwanya sering berpindah sendiri. Walaupun Alana masih tak menyadari bahwa itu hanyalah halusinasi dalam pikirannya yang sedang koma.
Dia duduk memeluk lutut.
Menunggu seseorang datang. Berharap bisa membantu keluar dari ruangan putih ini.
Kemana Nathan? Aku kecewa dia masih melupakan aku dalam keadaan seperti ini...?
Apa dia tidak menghawatirkan aku? Apa dia masih lupa? Apa tidak ada sisa ingatannya yang bisa kembali?
Alana berdiri, mendengus.
***
"Al."
"Alana, ini gue."
Suaranya parau menatap lungai gadis di hadapannya.
Dia menunduk, dengan mata sayu yang setengah tertutup karena mengantuk sepulang dari kantor tadi sore.
"Al, bangun. Masa Lo mau tidur disini terus? Kata mama Lo nyariin gue? Gue Disni. Gue gak akan pergi lagi."
Dia tidak melihat. Dia terlanjur luruh ke dekapan tangannya sendiri yang bertumpu di samping ranjang. Saking lelahnya, dia mulai tertidur.
Padahal meski tubuh gadisnya tak bergerak, kedua matanya yang terpejam perlahan mengeluarkan air mata, berkerut seolah menahan kepedihan.
Jiwanya disana, tapi tubuhnya masih tidak bisa bergerak. Hanya saja kedua matanya meneteskan air lembut, mendengar suara itu.
Suara yang ia tunggu selama enam tahun. Suara yang ia harap bisa menyapanya setiap hari, mengusilinya disaat bosan.
Alana ingin berteriak mengucap syukur.
'Tap' pemuda itu menggenggam tangan Alana ditengah tidurnya. Tiba-tiba.
Bagaikan sejuta voltase setruman listrik menggelitik bulu kuduk Alana, dalam satu hentakan dia berhasil membuka mata, melihat sekeliling.
Alana menangis, menahan bahagia, tapi ia sama sekali tak berniat mengusik orang yang ia sayangi.
Alana hanya menatapnya dengan mata yang basah, berkali-kali berbisik kata terima kasih.
Gadis itu sempurna terduduk, menyandarkan punggung di tumpukan bantal empuk.
Ia merasakan hangat, sama seperti dulu.
Lihat, sosoknya yang tertidur menutup mata sangat enak dipandang. Wajahnya teduh, Alana makin terisak pelan.
Ia melihat tubuhnya, banyak plester luka. Dan kedua kakinya dibalut perban putih tebal.
Alana menunduk, entah kenapa hatinya tak enak.
Bagaimana kalau dia tidak menerima diriku yang seperti ini? Kakiku...
Dan Alana baru tersadar, ada sebuah tanda di jari tangannya.
Cincin berwarna perak mengkilap, dihias permata kecil di tengahnya. Terlihat simpel, namun elegan.
Kali itu Alana benar-benar menangis terharu, dadanya sesak. Entah bahagia atau takut.
Alana terisak, sesenggukan.
"Girl, what happened? Don't cry I'm here."
Sapaan itu terngiang-ngiang di telinga Alana.
Nathan tersenyum, Duduk tegak menggenggam tangan gadisnya.
"Al, Gue disini. Boleh kan, Gue jadiin Lo someone special buat gue?"
Alana tidak menjawab, yang jelas dia meraih lengan Nathan dan menggenggamnya kuat.
"Jangan pergi-"
"Al, maafin gue. Kalo gue nggak inget Lo sama sekali waktu awal kita ketemu. Lo tahu kan, gue selama ini selalu kangen Lo. Tapi, gue benar-benar nggak bisa ingat apapun, gue cuma ngerasa janggal gak jelas. Dan kebetulan gue merasa aneh lihat sepatu yang Lo pake di lift waktu itu. Makasih karena udah dijaga sepatunya ya, Al."
"Gua cuma takut, dulu, takut Lo terseret ke dalam hidup gue yang penuh tipuan."
"Gue suka Lo Alana."
Sejenak Alana terkesima.
Ia tidak berani balas menatap mata Nathan yang bening.
Dia hanya bisa menunduk kaku.
"Tapi...kaki aku.. sekarang aku nggak sesempurna itu...aku ga-"
Nathan terlanjur memeluknya.
"Kan bisa sembuh, Sayang."
Detik itu juga Alana bagai dihujani seribu kebahagiaan, melihat Nathan masih utuh menyukainya, tanpa halangan, kini Alana sama sekali tak ragu.
"Jangan tinggalin lagi..."
"Iya. Gue gak bakal biarin punya gue diambil orang." Kata Nathan yakin, senyum itu berhasil membuat Alana terhibur.
"Kamu kemana aja....kenapa pergi.." Alana bertanya lagi, mulai menangis pelan.
"Jangan pergi lagi...ya?"
Tangan ramping Nathan bergerak mengusap punggung Alana.
"Lupain itu Alana. Sekarang gue janji selalu ada buat kamu."
"Jadi, kamu mau terima aku?"
Alana mengangguk, "Iya, kapanpun."
"Permisi~ Anak KEcil mau LeWAAt~" tiba-tiba pintu ruangan Alana dibuka mendadak, membuat mereka menoleh kaget.
Eden nyengir, "Ehem, sori ganggu. Kak Alana, gimana? Udah mendingan? Aku bawain Makanan ini." Dengan pedenya, Rayden mengawasi sang kakak, dia lalu duduk di tempatnya.
Alana tertawa kecil. Melihat kelakuan Rayden, ia jadi ingat Nathan yang dulu.
"Iya Eden, makasih ya."
Eden merasa kikuk, rasanya aneh, walaupun dia masih gak peka setelah merusak momen dua orang ini.
"Mm.... nikahnya kapan?"
"?!"
Ganti topik!
***