Sinopsis
Ini berawal dari Nara yang dijodohkan oleh Ayahnya dengan laki-laki dewasa, umur mereka terpaut selisih 15 tahun. Dimana saat itu Nara belum siap dari fisik dan batinnya.
Perbedaan pendapat banyak terjadi didalamnya, hanya saja Rama selalu memperlakukan Nara dengan diam (sillent treatment) orang biasa menyebutnya begitu.
Semua permasalahan seperti tak memiliki penyelesaian, finalnya hilang dan seperti tak terjadi apa-apa.
Puncaknya saat Nara kembali bertemu dengan cinta pertamanya, rasanya mulai goyah. Perbandingan antara diamnya Rama dan pedulinya Mahesa sangat kentara jauh.
Rama laki-laki dewasa, hatinya baik, tidak gila perempuan dan selalu memberikan semua keinginan Nara. Tapi hanya satu, Rama tak bisa menjadi suami yang tegas dan tempat yang nyaman untuk berkeluh kesah bagi Nara.
Pertemuan dan waktu mulai mempermainkan hati Nara, akankan takdir berpihak dengan cinta Rama atau mulai terkikis karna masa lalu Nara.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fay :), isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18. hal kecil yang memabukkan
Diruang yang sunyi, ditemani rasa rindu yang menemukan obat selama ini. Hanya ada suara yang berasal dari dua manusia yang tengah bertukar cerita, rindu yang mereka rasa tetap terkemas rapi, hanya mereka mampu untuk menutupi.
“Kamu bahagia selama ini Ra? Aku bahkan begitu susah melupakan mu dan mencari gantimu, tidak ada yang sama tulusnya seperti yang kamu berikan dulu.” Mahesa menghela nafas, pandangannya sayu begitu tulus pancaran yang ia tunjukkan.
“Apa tidak ada rindu yang sama menggebunya yang kamu rasakan, sama halnya-”
“Esa, apa kamu sudah makan siang? Kalo belum yuk makan bareng, aku akan masak makanan kesukaan mu dulu.” Nara memotong kalimat yang akan Mahesa ucapkan. Ia bergerak gelisah, entah seperti ingin mencurahkan rindunya tapi dipikirannya muncul seorang Rama.
Gagas Nara pergi dari ruangan yang hawanya kini sedikit mendebarkan, pikirannya berkecamuk, “kenapa dia datang disaat seperti ini, apa ini juga bagian dari takdir?”
*
*
*
Nara mengeluarkan bahan untuk masakannya, ia ingat dulu suka membawa bekal ke sekolah, dengan lauk ayam goreng dan kentang goreng buatannya sendiri.
Dan ya mereka suka makan berdua, menghabiskan bekal sederhana milik Nara. Dibawah pohon rindang dibelakang taman sekolah. Tempatnya sunyi, tempat bertukar cerita tentang apa yang waktu itu mereka alami.
Mahesa memperhatikan gerak-gerik Nara yang kedua tangannya tengah sibuk mengolah bahan mentah menjadi masakan yang lezat.
Nara yang biasa memasak dan sangat lihai jika urusan dapur, kini menjadi kesusahan dengan tempatnya sendiri, entah apa karna pengaruh ada Mahesa didekatnya.
“Boleh aku bantu?” Ucap Mahesa yang kini berdiri disebelah Nara.
“Em- tidak usa repot Sa, kamu tunggu saja di meja makan itu.” Nara menyahut tanpa berani menoleh kearah wajah Mahesa.
“Kalo aku yang mau bantu sendiri kenapa? aku juga sudah terbiasa masak sejak lulus sekolah dulu, karna ajaran dari kamu.” Mahesa memajukan wajahnya, memiringkan sedikit mengintip wajah Nara yang bersemu merah.
Nara tak menjawab, tapi wajahnya berusaha ia tutupi dan berbalik agar Mahesa tak memperhatikannya.
Bak sudah sangat terbiasa, pisau ditangan kanannya dan potongan kentang sudah terpotong bagus dihadapannya.
Nara terbengong, hatinya bahagia seperti menemukan tumbuhan bunga yang mekar ditanah yang tandus.
“Kapan selesainya, kalo cuma perhatiin aku terus Ara. Aku emang tetep ganteng kok.” Celetuk Mahesa menggoda Nara yang ketahuan terus menatap kearahnya.
“Ihhh… percaya diri banget ya.” Nara salah tingkah, mau mengelak tapi kenyataannya ia memang memperhatikan Rama.
“Kamu nggak berubah ya Ra, wajah mu tetap cantik dan sifat mu tetep baik kaya dulu.” Ucap Rama jujur.
Sedang Nara yang mendengar ucapan Rama seperti tengah melayang, bibirnya tersenyum manis. Jangan tanya keadaan hatinya, seolah lupa dengan suami yang kini berjauhan dengannya.
Nara tak membalas ucapan Mahesa biarkan dia mencurahkan segalanya, waktu kini tengah mendukung momen mereka.
“Aww…” ringis Nara, begitu pisau mengiris jari telunjuknya.
Spontan Mahesa mengambil jari yang kini mengeluarkan darah dan memasukkannya ke dalam mulut, membuang cairan darah yang berhasil Mahesa sedot, hingga darah tak lagi keluar.
Seperti ada yang berdesir dalam diri Nara, hangat dan merasa nyaman. Reflek ia memejamkan matanya, seperti begitu menikmati momen langka ini.
“Dimana tempat obatnya? Biar aku plester dulu lukanya.” Tanya Mahesa, wajahnya begitu khawatir seolah luka yang Nara alami begitu besar.
Sontak Nara terbangun dari angannya, “Sudah aku bisa sendiri Sa.” lekas ia membuka rak yang menyediakan beberapa obat pembersih dan plester luka.
Tak sempat mengambilnya, Mahesa sudah lebih dulu menjulurkan tangannya mengambil kotak obat itu. Ia sigap langsung membersihkan dan menutupi luka Nara dengan plester.
Perhatian kecil yang Nara inginkan, diam ia memperhatikan wajah yang ia rindukan, masih terselip rasa sayang yang begitu dalam dihatinya.
Tiupan kecil ke arah luka yang berasal dari mulut Mahesa, wajahnya yang begitu serius, membawa Nara pada rasa suka di masa lalunya yang belum sempat usai.
"Ingin aku tertawa lepas, membiarkan jiwaku menari dalam sukacita yang tak terbendung... Tapi aku hanya bisa diam, menyimpannya rapat-rapat di balik dada yang sesak. Bahagia ini datang seperti matahari di tengah badai — hangat, tapi tak boleh terlihat. Aku menahan senyum yang nyaris pecah di sudut bibir. Karena bahagia ini, indahnya terlarang. Dan aku... hanya penikmat rahasia yang tak berhak bersuara."
Lamunan Nara pecah begitu mendengar tangisan Aiden. Sontak ia tersadar dan berlalu kearah kamarnya ingin menenangkan Aiden.
*
*
*
“Haii tampan, siapa nama mu?” Tanya Mahesa begitu Nara dan Aiden sampai diruang tengah.
Aiden memperhatikan laki-laki dewasa di depannya, begitu di hampiri ia menyembunyikan wajahnya pada ceruk leher Nara, tapi Mahesa masih berusaha mendekatinya.
Wajah Mahesa ia imut-imutkan dan tersenyum manis, berusaha merayu Aiden, “Kenapa takut, yuk turun main. Om punya kejutan loh, yang mau tau sekarang ikut Om.”
Aiden mulai sedikit membangunkan wajahnya menghadap Mahesa, namun pandangannya kembali ke arah wajah Nara, seolah meminta persetujuan.
Nara menganggukkan kepalanya dan tersenyum, seolah mengizinkan putranya bersama orang lain.
Mahesa kembali merayu, pancaran binar bahagia terpampang diwajahnya, ada raut ketulusan dalam dirinya, “anak cowok harus sama cowok juga dong, Mama Aiden kan cewek, jadi ayok ikut Om, ini urusan para lelaki.” bisiknya di telinga kanan Aiden.
Mahesa menjulurkan kedua tangannya hendak mengambil alih gendongan Aiden, dan ternyata tak sesulit itu baginya merayu putra Nara.
“Wah badannya sudah enak, nggak panas lagi ya.” Ucap Mahesa begitu Aiden dalam gendongannya.
Nara memperhatikan usaha Mahesa mengajak Aiden mengobrol dan mulai mengalihkan fokus Aiden, yang semula selalu menghadap Mamanya tapi kini Mahesa berhasil merebutnya.
“Apa ini terhitung salah Tuhan, tapi mengapa hatiku begitu berbahagia dengan pemandangan ini. Jauh lebih bahagia dari Rama yang berada di sisiku.” Batin Nara mulai goyah.
*
*
*
Lekas Nara menyelesaikan masakan yang sempat tertunda tadi, sesekali ia melihat kearah Mahesa dan Aiden yang sedang asik bermain dan bercerita, meskipun diwajah Aiden bingung dengan isi cerita dari Mahesa, tapi ia tetap mengangguk-anggukkan kepalanya, lucu sekali.
Disaat rasa saling mengerti antara Nara dan Rama tengah di guncang, entah apa Nara yang harus selalu mengerti kondisi Rama, sedang Rama tak berusaha mengerti mau Nara sedikitpun.
Hatinya kian gelisah, bertumpuk rasa kesal setiap hari tapi selalu tak menemukan solusi dan puncaknya mungkin terbiasa karna sudah sering kali dirasa.
Kini kembali datang memberi rasa nyaman di jiwa, tapi dalam waktu yang salah. Diantara Nara dan Mahesa, yang sudah sama-sama memiliki sepasang pelengkap hati, namun rasa di masa lalu masih memegang tahta tersendiri di lubuk kecil sanubari.
*
*
*
Nara membawa mangkuk terakhir dari arah dapur keruang tengah, tempat meja makan berada.
Gegas ia memanggil dua laki-laki yang kini tengah asik bermain dan memberantakkan semua mainan didepan meja televisi, tempat biasa Aiden bermain.
“Sekarang berhenti mainnya dan siapa yang mau makan?” Nara menyimpan mainan yang ada ditangan Aiden, mencolek pipi tembemnya dan menunjuk makanan yang sudah tersaji.
“Yuk Sa…” ajaknya juga kearah Mahesa.
Mahesa menarik garis bibirnya, tersenyum hangat kearah dua orang yang dibilang tetangga barunya ini.
“Ayo Aiden kita makan dulu, Mama sudah menyuruh kita mengisi perut, nanti kita main lagi ya.” Ucap Mahesa sambil menuntun Aiden ke meja makan.
Berbeda dengan Nara, kenapa otaknya dengan entengnya memutar kata Mama yang keluar dari mulut Mahesa, seolah mereka adalah keluarga kecil yang sesungguhnya.
Tubuhnya diam sejenak, bibirnya mengulas senyum tipis. Itu salah, tapi Nara tak sedikitpun membenarkan.
*
*
*
Mahesa mengambil alih piring Aiden, “Iden sayang mau makan sama apa?” Sambil menunjuk beberapa lauk yang terhidang.
Dengan bahagianya Aiden menjawab, “yam…” jari kecilnya menunjuk potongan Ayam kecap kesukaannya.
Aiden memang belum fasih berbicara tapi ia sudah paham dengan apa yang orang lain bicarakan padanya.
“Oh ayam, boleh Aiden makan ayam kecap Ma?” Kini pandangan Mahesa berpindah pada Nara yang duduk didepannya, tangannya menggantung diatas piring menunggu persetujuan Nara.
Nara gugup, ia heran kenapa Mahesa begitu ringannya memanggilnya Mama seolah dia adalah Ayah dari Aiden.
~