pernahkah kau membayangkan terjebak dalam novel favorit, hanya untuk menyadari bahwa kau adalah tokoh antagonis yang paling tidak berguna, tetapi Thanzi bukan tipe yang pasrah pada takdir apalagi dengan takdir yang di tulis oleh manusia, takdir yang di berikan oleh tuhan saja dia tidak pasrah begitu saja. sebuah kecelakaan konyol yang membuatnya terlempar ke dunia fantasi, dan setelah di pikir-pikir, Thanz memiliki kesempatan untuk mengubah plot cerita dimana para tokoh utama yang terlalu operfower sehingga membawa bencana besar. dia akan memastikan semuanya seimbang meskipun dirinya harus jadi penggangu paling menyebalkan. bisakah satu penjahat figuran ini mengubah jalannya takdir dunia fantasi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mr.Xg, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villain yang sebenarnya
Setelah pertemuannya dengan Grace, rencana Thanzi semakin matang. Grace adalah kunci. Kehadirannya dalam plot novel asli telah menjadi penstabil bagi para 'pahlawan', terutama Michael. Untuk menyeimbangkan takdir, Thanzi harus memutus atau setidaknya mengacaukan ikatan itu. Namun, ia tidak akan melakukannya secara langsung. Ia akan beraksi sebagai villain yang sebenarnya: seorang manipulator ulung yang bekerja dalam bayangan, dan seorang 'malaikat' di depan orang-orang yang penting.
Thanzi terus menjalankan rutinitas gandanya. Di malam hari, ia melatih bakat ilusi resonansi miliknya. Kontrolnya kini semakin sempurna. Ia bisa membuat target merasakan mual, pusing, ketakutan yang tiba-tiba, atau bahkan kebingungan yang intens. Ia juga terus melatih kemampuan bela diri dan ilmu pedangnya, yang semakin hari semakin cepat dan efisien berkat integrasi resonansi ke dalam setiap gerakannya. Tubuhnya terasa seringan bulu, dan ia bisa memprediksi gerakan lawan dengan presisi mengejutkan.
Pencarian Seruling Giok Hitam juga terus berlangsung. Reo adalah aset tak ternilai. Dengan kecerdasannya, Reo telah menemukan beberapa petunjuk.
"Thanzi," bisik Reo suatu malam di perpustakaan, matanya terpaku pada gulungan peta tua. "Aku menemukan sesuatu. Sebuah catatan kuno menyebutkan Seruling Giok Hitam terakhir kali terlihat di Reruntuhan Kuil Bulan di pegunungan bagian utara. Itu adalah kuil yang ditinggalkan, penuh jebakan dan monster."
"Reruntuhan Kuil Bulan?" Thanzi mengulang, rahangnya mengeras. Ia ingat tempat itu di novel. Sebuah tempat berbahaya yang sering digunakan para pahlawan untuk misi 'heroik' mereka. Tentu saja, artefak sepenting itu pasti tidak akan mudah didapatkan.
"Aku akan mencarinya," kata Thanzi, tekadnya bulat.
Michael Merasakan Ancaman
Michael, dengan kepolosannya, adalah target utama Thanzi untuk digoyahkan. Thanzi tahu Michael terlalu manja dan dilindungi. Ia harus membuat Michael merasa rentan, terancam, dan mulai melihat sisi gelap dunia.
Suatu sore, saat Michael sedang berlatih sihir anginnya di lapangan terbuka, Thanzi mendekat. Pangeran Lyra dan Elian tidak ada di sana. Ini adalah kesempatan sempurna.
"Michael," panggil Thanzi, suaranya tenang, namun ada nada dingin yang Michael belum pernah dengar sebelumnya.
Michael menoleh, senyumnya langsung mengembang. "Kakak Thanzi! Mau berlatih juga?"
Thanzi tidak tersenyum. Ia menatap Michael lurus di mata. "Kau terlalu lemah."
Senyum Michael memudar. "A-apa?"
"Kau selalu mengandalkan orang lain. Mengandalkan Pangeran Lyra, Elian, atau bahkan orang tuamu," Thanzi melanjutkan, suaranya pelan dan menusuk. "Kau pikir dunia akan selalu melindungimu? Kau pikir setiap kali kau membuat kesalahan, akan ada orang yang menyelamatkanmu?"
Michael menggelengkan kepala, wajahnya menunjukkan kebingungan dan sedikit ketakutan. "Michael tidak mengerti..."
Thanzi melangkah mendekat, matanya berkilat. Ia mulai bersenandung pelan, mengarahkan gelombang ilusi resonansinya ke Michael. Gelombang itu tidak melukai, tetapi menciptakan sensasi dingin yang menusuk tulang dan perasaan terisolasi yang mendalam. Michael tiba-tiba merasa sendirian, dikelilingi kegelapan, seolah tidak ada yang bisa melindunginya.
"Dunia ini adalah tempat yang kejam, Michael," bisik Thanzi, suaranya kini terdengar seperti suara hantu di telinga Michael. "Dan kau... kau tidak siap. Kau rapuh."
Michael menjerit, terjatuh di rumput. "T-tidak! Jangan bicara begitu! Michael tidak lemah!" Ia mencoba melontarkan sihir angin, tetapi fokusnya buyar oleh ketakutan yang tiba-tiba.
"Aku tidak melakukan apa-apa, Michael," kata Thanzi, menarik kembali resonansinya, wajahnya kembali tanpa ekspresi. "Itu hanya... ketakutanmu sendiri yang berbicara." Ia menyeringai tipis, sebuah senyum yang mengerikan bagi Michael. "Kau harus belajar menjadi kuat, Michael. Atau kau akan hancur."
Thanzi berbalik pergi, meninggalkan Michael yang terisak di lapangan, diliputi kebingungan dan rasa takut yang baru ia alami. Ini baru permulaan, Michael. Kau akan merasakan apa artinya menjadi tidak aman.
Ketika Pangeran Lyra dan Elian menemukan Michael, mereka terkejut melihat keadaannya. Michael menceritakan apa yang Thanzi katakan, tetapi ia tidak bisa menjelaskan mengapa ia begitu ketakutan. Elian dan Pangeran Lyra, yang sudah mencurigai Thanzi, semakin yakin bahwa Thanzi adalah ancaman berbahaya.
"Dia sengaja melakukannya!" Elian mengepalkan tangan. "Dia punya cara licik untuk mengganggu orang!"
"Dia mencoba menakut-nakuti Michael," Pangeran Lyra menghela napas, tatapannya dingin. "Kita harus lebih ketat mengawasinya."
Villain di Balik Tirai: Interaksi dengan Orang Lain
Thanzi tidak hanya menargetkan Michael. Ia mulai menerapkan ilusi resonansinya pada siswa lain yang pantas mendapatkan pelajaran. Ia membuat pengganggu kelas tiba-tiba muntah saat presentasi penting, membuat siswa sombong terpeleset dan jatuh di depan teman-temannya tanpa sebab yang jelas, atau membuat penipu merasa sangat cemas sehingga mereka mengakui kecurangan mereka sendiri.
Semua ini dilakukan Thanzi tanpa jejak, menyisakan kebingungan dan spekulasi di kalangan siswa. Para profesor, yang mengamati dari jauh, semakin bingung. Mereka melihat pola, tetapi tidak menemukan bukti sihir.
"Dia tidak menggunakan mana," Profesor Eldrin mengulang. "Ini seperti efek psikologis yang diperkuat. Sebuah resonansi emosi?"
"Mungkin dia memang memiliki bakat yang belum pernah kita klasifikasikan," Profesor Serena berpendapat. "Bakat yang dapat memengaruhi pikiran dan tubuh tanpa energi sihir."
Thanzi menikmati perannya sebagai 'villain' yang tak terlihat. Ia adalah sumber keanehan di Akademi, sebuah misteri yang menakutkan bagi mereka yang mencoba meremehkannya. Ia berhasil menciptakan kekacauan halus yang mulai mengikis kepercayaan diri para siswa yang overpower atau sombong.
'Malaikat' di Hadapan Grace
Namun, di hadapan Grace, Thanzi adalah pribadi yang berbeda. Ia tahu betapa berharganya Grace dalam plot novel dan bagaimana ia bisa memanfaatkannya.
Suatu pagi, Thanzi sedang berjalan di taman saat ia melihat Grace duduk sendirian, terlihat sedikit murung. Thanzi tahu dari novel bahwa pada titik ini, Grace biasanya sedang memikirkan dilemanya antara Michael dan tugasnya sebagai penyembuh.
Thanzi mendekat perlahan. "Kau baik-baik saja, Grace?" suaranya lembut, hangat, dan penuh perhatian—nada yang jarang ia gunakan untuk orang lain.
Grace terkejut, mendongak, lalu tersenyum tipis. "Oh, Thanzi. Aku baik-baik saja. Hanya sedang merenung."
Thanzi duduk di sebelahnya. "Jika ada yang bisa kubantu, kau bisa bicara padaku. Aku mungkin tidak punya kekuatan sihir, tapi aku bisa mendengarkan."
Grace menatapnya, matanya yang hijau zamrud memancarkan rasa terima kasih. "Kau baik sekali, Thanzi. Aku tahu banyak orang berpikir buruk tentangmu, tapi aku tidak percaya itu. Aku merasakan kebaikan darimu."
Thanzi merasakan getaran aneh dari resonansi jiwanya saat Grace berbicara. Aura kebaikan Grace memang sangat murni. Astaga, akting ini tidak akan mudah. Ia harus tetap berpura-pura baik di depan Grace. Ia harus menjadi 'malaikat' yang dipahami Grace.
"Setiap orang memiliki sisi yang berbeda," Thanzi menjawab, suaranya tenang. "Kau juga. Dan aku yakin kau selalu berusaha melakukan yang terbaik."
Ia kemudian bertanya tentang masalah Grace, mendengarkan dengan penuh perhatian saat Grace berbicara tentang tekanan dari keluarganya dan keinginannya untuk membantu orang lain. Thanzi tidak memberikan saran langsung, tetapi ia mengucapkan kata-kata yang mendukung, membuat Grace merasa dipahami dan didengar—sesuatu yang mungkin tidak selalu ia dapatkan dari Michael yang cenderung naif atau Pangeran Lyra dan Elian yang fokus pada heroik.
Dia mencari seseorang yang bisa memahami beban yang ia tanggung, pikir Thanzi. Aku akan menjadi orang itu. Orang yang ia percayai, yang melihatnya bukan hanya sebagai objek dambaan, tetapi sebagai pribadi.
Dengan Grace, Thanzi tidak menggunakan ilusi resonansi untuk mengganggu. Sebaliknya, ia secara halus menggunakannya untuk memancarkan rasa simpati dan pengertian, membuat Grace merasa lebih nyaman dan terbuka padanya. Ini adalah investasi Thanzi dalam mengendalikan takdir Grace. Jika ia bisa memenangkan kepercayaan Grace, ia bisa memanipulasi hubungan Grace dengan Michael dari dalam, tanpa harus menjadi musuh Grace.
Sementara itu, Thanzi juga secara diam-diam mulai mencari tahu lebih banyak tentang latar belakang Grace, terutama mengenai Seruling Giok Hitam. Jika seruling itu benar-benar ada di Reruntuhan Kuil Bulan, dan Michael akan pergi ke sana dalam misi, aku harus memenangkannya terlebih dahulu. Atau setidaknya, memastikan dia tidak mendapatkannya dengan mudah.
Thanzi tersenyum tipis di dalam hati. Pertunjukan ini baru saja dimulai. Ia adalah villain yang sebenarnya, bergerak dalam bayangan, menusuk dari belakang, dan terkadang, menjadi malaikat di hadapan para korbannya. Dunia Eldoria tidak akan pernah sama setelah ia selesai menyeimbangkan takdir.