Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.
Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.
Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 API DAN DAGING
Lyra mendadak sadar betapa menyebalkannya dunia bawah tanah Aedhira ini saat ia bangun dan menemukan dirinya di atas tumpukan pasir panas yang menempel di seluruh tubuh. Rasanya seperti dibakar hidup-hidup, tapi dengan sentuhan lembut dari ribuan duri kecil. "Aduh, kulit gue," gerutunya, mencoba bangkit sambil menepuk-nepuk lengan dan punggung.
Kaelen, yang duduk tak jauh darinya, tampak menikmati secangkir air yang entah bagaimana terlihat... mendidih?
“Kau akhirnya bangun juga, Sleeping Beauty versi gurun,” ujar Kaelen, menyeringai nakal. “Kupikir kamu udah berubah jadi mumi.”
“Lucu banget, Kaelen,” balas Lyra ketus. “Kalau bukan karena lu, gue nggak akan nyasar ke reruntuhan kutukan ini.”
“Excuse me? Bukankah kamu yang dengan penuh percaya diri bilang ‘Tenang aja, gue punya feeling bagus soal jalan ini?’” Kaelen menirukan suara Lyra sambil menggoyang-goyangkan bahunya.
Lyra hanya menatapnya tajam sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke sekeliling. Reruntuhan tempat mereka mendarat itu... aneh. Bukan sekadar batu-batu tua, tapi tampak seperti bekas kuil, dengan patung-patung berjubah lusuh dan pilar-pilar berhiaskan ukiran ular bersayap. Aroma sulfat dan sesuatu yang lebih gelap menggantung di udara.
“Ini bukan kuil biasa,” gumam Arven yang entah sejak kapan sudah berdiri di depan pintu lengkung setengah rubuh. Suaranya rendah, tapi terdengar tegang. “Ini tempat penyegelan.”
“Penyegelan?” Kaelen bangkit, alisnya naik. “Maksud lo... ada sesuatu yang disegel di sini?”
Arven mengangguk perlahan. “Atau... seseorang.”
Seketika itu juga, hawa di tempat itu berubah. Angin yang tadinya panas dan malas, tiba-tiba berputar cepat seperti bisikan samar yang tak berasal dari dunia ini.
Lyra menelan ludah. “Kita harus cabut dari sini. Sekarang.”
Tapi tentu saja, karena ini Aedhira dan bukan dunia yang normal, salah satu patung itu langsung retak. Kemudian retakannya menyebar, dan detik berikutnya BAM!—tanah bergetar, pasir beterbangan, dan sesosok bayangan hitam melesat dari dalam altar.
“Kenapa selalu gue yang harus sial?” jerit Lyra sambil menarik pedangnya—yang entah bagaimana masih tertancap di pinggulnya walau tadi jatuh jungkir balik.
Kaelen, dengan semangat khas tukang cari ribut, berseru, “Waktunya pesta, baby!” sebelum melompat ke depan, menghadang makhluk itu yang kini tampak seperti gabungan antara naga, kabut, dan mimpi buruk masa kecil siapa pun.
Arven... tetap berdiri diam.
“Arven, jangan bengong!” teriak Lyra sambil menebas satu tentakel asap yang mencoba meraih lehernya.
Tapi mata pria itu hanya terpaku pada sosok kabut hitam itu, seolah melihat sesuatu yang tak bisa dijelaskan.
“Dia... itu dia... Daeven.” Arven terdengar patah. “Saudara kembarku.”
Waktu seolah berhenti.
Lyra, yang baru saja menebas satu tentakel kabut dan hampir tergelincir karena pasir yang makin panas, langsung menoleh ke Arven dengan ekspresi “lo serius, bro?”
“Saudara kembar?” Kaelen memutar mata. “Tolong jangan bilang itu semacam plot twist yang bakal bikin hidup kita tambah ribet.”
Arven mengatupkan rahangnya. “Namanya Daeven. Kami terlahir sebagai ‘Kembar Lenyap’. Tapi dia... dia memilih sisi gelap. Mengabdi pada Nyxvarra. Dan aku pikir dia udah mati.”
“Apa itu Nyxvarra?” tanya Lyra, menghindari lagi satu serangan tentakel hitam yang melesat seperti cambuk neraka. Rasanya seperti melawan asap, tapi setiap serangan punya berat dan dampak fisik yang nyata—sangat nyata.
“Dewi kekacauan Aedhira,” jawab Arven lirih. “Dan Daeven sekarang... jadi perwujudan kehendaknya.”
“Great. Another evil twin trope,” desah Kaelen sambil berguling untuk menghindari cakar bayangan. “Ayo, mari kita kalahin iblis yang super OP ini tanpa backup, tanpa rencana, dan dengan stamina setengah tank.”
Lyra mencoba fokus. Tapi setiap detik mereka bertarung, kabut itu semakin pekat. Daeven—kalau itu memang dia—tidak punya bentuk pasti. Hanya bayangan dengan mata merah menyala dan suara yang menggema seperti teriakan dari dasar sumur neraka.
“Arven...”
Suara itu menghantam langsung ke dalam kepala mereka. Lyra menahan kepala, merasa seolah ada tangan yang mencengkeram otaknya.
“...Kau meninggalkanku.”
“Gue mulai benci dunia ini,” kata Lyra lirih, keringat membasahi dahinya. “Kalau ini saudaramu, Arven, lo yang harus ngomong. Sekarang!”
Arven melangkah maju, tubuhnya bergetar, tangan mengepal. “Aku nggak pernah ninggalinmu, Daeven. Kamu yang pergi. Kamu yang memilih jalan ini.”
Bayangan itu terdiam, lalu tertawa. Suaranya seperti derit besi karat dan tawa anak-anak yang berubah seram.
“Aku dipaksa. Kau tahu itu. Dan sekarang kita akan bersatu kembali... dengan darah.”
Seketika, taring kabut menghantam ke arah Arven—cepat, mematikan, dan tanpa ampun.
Lyra melompat, menangkis serangan itu dengan pedangnya. Tapi dampaknya menggetarkan tulang. Ia terdorong mundur dan jatuh, lututnya terbentur keras.
“Arven, move your ass! Jangan bengong!” teriak Lyra.
Arven seperti tersadar. Ia menghunus senjatanya sendiri—bukan pedang biasa, tapi belati bercahaya biru muda, berdenyut seperti jantung hidup.
“Senjata Roh?” tanya Kaelen, setengah kaget, setengah kagum. “Kok lo nyimpen itu dari kita?”
“Aku nggak pengen nyakitin siapa-siapa... sampai sekarang.”
Dan dengan satu teriakan penuh emosi, Arven melesat ke arah Daeven.
Serangan Arven begitu cepat, seperti kilat biru yang menusuk langsung ke tengah pusaran kabut. Belati roh di tangannya menyala terang, menciptakan retakan di tubuh bayangan Daeven—retakan yang menganga seperti luka langit yang pecah oleh cahaya petir.
Tapi tentu saja, Daeven bukan tipe saudara kembar yang bisa dikalahkan dengan satu tebasan dan lalu minta maaf sambil nangis-nangis.
Sebaliknya, kabut itu berputar lebih gila, melilit tubuh Arven dan melemparkannya seperti boneka ke dinding batu.
“Arven!” Lyra berlari ke arahnya, lututnya lecet, napasnya tersengal. Tapi ia tetap menggenggam pedangnya, menggertakkan gigi.
Daeven tertawa. Tawa yang bikin bulu kuduk merinding.
“Kau terlalu lemah, saudaraku. Selalu begitu. Itulah sebabnya aku dipilih. Aku—bukan kau—yang akan memimpin dunia ini ke era baru.”
Kaelen, yang sempat pingsan setengah menit karena serangan psikologis dari kabut hitam, sekarang berdiri dengan darah menetes dari alisnya. “Okay, cukup. Gue capek banget sama semua villain yang hobi monolog.”
Ia mengangkat tangannya dan memanggil senjata yang tersembunyi di ikat pinggangnya—sebuah busur pendek berlapis perak, dengan anak panah yang terbakar api hijau.
“Lyra, lo siap?”
Lyra menoleh, keringat menetes di pelipisnya. “Yuk, kita selesaikan ini.”
Mereka menyerang bersamaan. Panah Kaelen meluncur, menghantam sisi kanan kabut, menciptakan lubang sementara. Lyra melesat dari sisi kiri, menerobos debu dan cahaya, dan menebas lurus ke inti pusaran.
Jeritan. Bukan manusia. Bukan binatang. Sesuatu yang purba dan kacau meledak dari dalam kabut.
Tubuh Daeven—atau apapun wujudnya sekarang—terlempar mundur. Setengah wajahnya kini terlihat, dan ya… dia memang mirip Arven. Sama-sama tampan, tapi satu tampan yang bisa diajak ngobrol, satu lagi kayak aktor horor yang kebanyakan tidur di peti mati.
“Lyra...” gumam Daeven, seperti ada kesadaran manusia yang kembali. “Kau…”
Namun sebelum Lyra bisa berkata apa-apa, Arven menyeruak dari balik reruntuhan, darah mengucur dari pelipisnya, dan menusukkan belati roh ke jantung bayangan itu.
“Ini... bukan tentang kau atau aku,” gumam Arven. “Ini tentang menghentikan kegelapan... sebelum semua hancur.”
Daeven memekik, tubuhnya bergetar, lalu pecah menjadi ribuan partikel cahaya dan debu hitam.
Sunyi.
Debu perlahan turun, seperti salju yang salah musim.
Kaelen ambruk duduk di tanah. “Gue... officially... pengen pensiun.”
Lyra duduk di sampingnya, menatap Arven yang berdiri terdiam, belati masih tergenggam erat.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Lyra pelan.
Arven hanya menatap debu yang menghilang di udara. “Aku baru saja membunuh saudara kandungku.”
“Enggak,” jawab Lyra tegas. “Kamu baru saja menyelamatkan dunia dari sesuatu yang bisa menghancurkan semua yang kita cintai.”
Arven menunduk. Dan untuk pertama kalinya sejak mereka bertemu, Lyra melihat air mata mengalir di wajahnya.
Dan di kejauhan, kabut mulai surut, langit di atas Tanah Pembakar retak—dan membuka jalan menuju kuil tersembunyi, yang katanya menyimpan Kunci Jiwa pertama.
Langit perlahan berubah warna. Dari kelabu pekat yang menyesakkan dada, menjadi jingga lembut dengan semburat ungu. Seolah alam sendiri menarik napas lega setelah kegelapan itu pergi. Tapi di dalam hati Lyra, masih ada badai kecil yang belum reda.
Mereka bertiga berdiri diam di depan jalan setapak yang terbuka dari balik reruntuhan kabut. Tanah di depannya membentuk semacam anak tangga alami yang menurun ke lembah tersembunyi. Di dasar sana—terlihat samar tapi nyata—sebuah bangunan menjulang. Bentuknya setengah tenggelam oleh alam, seperti kuil kuno yang dijaga waktu dan rahasia.
“Jadi... kita ke sana?” tanya Kaelen sambil memutar bahunya yang memar. “Karena menurut gue kita butuh, kayak, minimal dua hari tidur nonstop dulu. Sama cemilan.”
Arven menatap kuil itu. Matanya masih merah, tapi langkahnya mantap. “Kita ke sana. Kunci Jiwa pertama ada di dalam.”
Lyra mengangguk pelan. “Semakin cepat kita punya itu, semakin kecil kemungkinan kegelapan lain muncul dan ngajak drama lagi.”
Mereka mulai menuruni lembah. Angin di situ terasa berbeda. Lebih... kuno. Seperti bisikan-bisikan dari masa yang tertulis dengan darah dan sihir. Bahkan Kaelen—yang biasanya paling nyantai—jadi waspada.
Saat mendekat, mereka menyadari bahwa kuil itu bukan sekadar bangunan biasa. Dindingnya terbuat dari kristal hitam yang memantulkan bayangan mereka secara aneh—terkadang seolah tertawa, terkadang menangis.
“Ini... agak disturbing ya,” gumam Lyra sambil melihat pantulan dirinya yang, anehnya, tersenyum puas padahal dia sendiri lagi tegang setengah mati.
Arven menghentikan langkah. Ia menoleh ke mereka berdua. “Kita nggak tahu apa yang ada di dalam. Tapi apapun itu, kita masuk sama-sama. Keluar juga harus sama-sama.”
Kaelen berseru, “Gue suka momen persahabatan kayak gini. Tapi kalau nanti ada jebakan, kalian duluan ya.”
Mereka melangkah ke dalam.
Interior kuil itu gelap, tapi bukan gelap biasa. Ini jenis gelap yang terasa... berat. Seolah cahaya pun enggan masuk terlalu dalam. Tapi anehnya, mereka bisa tetap melihat. Seakan dinding kuil memantulkan cahaya dari dalam pikiran mereka sendiri.
Dan di tengah ruang utama, sebuah altar berdiri. Di atasnya, sebuah benda melayang—sebuah kristal kecil, berwarna perak pucat, tapi dari dalamnya ada percikan cahaya biru yang terus berubah.
Kunci Jiwa pertama.
Lyra melangkah lebih dekat, tapi sesuatu menghentikannya.
Bayangan.
Bukan bayangan dari lampu. Ini bayangan yang... hidup. Muncul dari dinding, dari lantai, dari dalam diri mereka sendiri.
Sosok-sosok bayangan mulai mengepung. Tapi anehnya, tidak menyerang.
Satu suara terdengar. Lembut tapi menggema seperti suara langit.
“Kalian yang mengaku penjaga cahaya... buktikan layak menyentuh jiwa.”
Seketika itu juga, dunia di sekitar mereka pecah.
Lyra terhempas ke ruang yang berbeda. Ia sendirian. Tidak ada Arven. Tidak ada Kaelen. Hanya padang kosong dan satu sosok berdiri di depannya.
Ibunya.
“Ibu?” bisik Lyra, suaranya hampir tidak terdengar.
Sosok itu tersenyum. Tapi senyum itu dingin. “Apa kamu pantas menyelamatkan dunia... saat kau bahkan gagal menyelamatkan aku?”
Lyra terisak. “Bukan aku yang membiarkan Ibu mati! Itu bukan salahku!”
“Bukan?” Mata sosok itu kini bersinar. “Lalu kenapa kamu lari?”
Dan tiba-tiba, Lyra kembali kecil. Tubuhnya gemetar, berdiri di depan rumah yang terbakar. Ia teriak, memanggil ibunya. Tapi tak ada yang datang.
Lyra jatuh berlutut. “Berhenti... aku udah minta maaf ribuan kali...”
Tapi suara itu tak henti. “Minta maaf bukan berarti kau bisa lari.”
Lyra menggenggam tanah. Air mata mengalir deras. Tapi di tengah ketakutannya, satu hal muncul dalam benaknya: suara Arven.
Kau nggak sendirian.
Dia bangkit. Mata masih berkaca-kaca, tapi genggamannya kuat. Ia menatap sosok ibunya dan berkata dengan suara lantang, “Aku nggak sempurna. Tapi aku nggak akan biarin masa lalu nentuin masa depanku.”
Seketika sosok itu retak... dan menghilang.
Lyra kembali ke kuil. Napasnya tercekat, tapi ia berdiri tegak.
Arven muncul dari sisi lain ruangan. Wajahnya pucat, tapi mata itu lebih damai dari sebelumnya.
Kaelen juga muncul, dengan ekspresi agak kaget. “Gue baru ngobrol sama bayangan masa lalu gue yang... ehem... agak awkward. Tapi gue menang.”
Di tengah altar, Kunci Jiwa kini bersinar terang. Seolah telah menerima mereka.
Lyra mendekat, dan saat tangannya menyentuhnya, cahaya meledak. Hangat. Penuh harapan.
Dan di sanalah mereka—tiga pejuang muda—berdiri, memegang kunci pertama dari nasib dunia.
Tapi jauh di tempat lain... seseorang menonton mereka dari cermin retak. Matanya menyala merah. Bibirnya melengkung dalam senyum yang sangat tidak enak dilihat.
“Bagus... teruslah kumpulkan kunci itu, anak-anak. Biar nanti aku yang memutar gemboknya.”
tapi kau di harapkan di dunia edheira