Ada seorang wanita sedang menangis di dalam sujudnya. Dia adalah Nasya Fahriza Putri, wanita yang sudah menginjak usia 25 tahun itu menangis saat mendengar bahwa seseorang yang ada di dalam hatinya sebentar lagi akan menikah. Sudah sejak usia 20 tahun Nasya berdoa di dalam sujudnya agar yang Maha Kuasa mengabulkan permintaannya untuk di jodohkan dengan Atasannya. Pria itu bernama Aditya Zayn Alfarizi yang berstatus sebagai CEO di salah satu perusahaan ternama di Jakarta.
Lalu bagaimana nasib Nasya? Apakah doanya selama ini akan terkabul, atau justru harus melihat pria yang ia cintai dalam diam menikah dengan kekasihnya?
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Cinta Di Atas Sajadah
By: Miss Ra
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CDAS 18
Suhu terasa sangat dingin. Nasya, yang masih tertidur lelap, menarik selimutnya untuk menutupi seluruh tubuh kecilnya rapat-rapat. Suasana kamar begitu hening karena pasangan pengantin itu belum juga tersadar dari tidurnya.
Meski terdengar suara alarm dari ponsel Nasya, mereka berdua masih enggan terlepas dari alam mimpi indahnya. Hingga mentari menyingsing di ufuk timur dan langit perlahan berubah warna menjadi jingga, pasangan pengantin itu masih saja asyik dengan tidurnya.
Perlahan, Nasya mulai mengerjapkan matanya. Tangannya merentang ke atas, lalu meraba-raba nakas di samping kiri, mencari ponsel yang ia taruh di sana. Belum sepenuhnya tersadar, ia melirik jam di ponselnya.
“Astaghfirullahaladzim!” pekik Nasya, membuat Zayn yang tidur membelakanginya langsung terbangun kaget.
“Ada apa, Nasya?” tanya Zayn dengan ekspresi terkejut.
“Aku terlambat salat subuh!” balas Nasya, lalu berlari kecil menuju kamar mandi.
Zayn hanya terdiam dengan wajah bingung, lalu mengembuskan napas lega. Dia sempat mengira ada hal lain yang membuat Nasya berteriak. Tak berselang lama, Nasya keluar dari kamar mandi dengan wajah basah bekas wudhu, meski masih memakai hijabnya. Ia segera merentangkan sajadah, lalu mengenakan mukenah dengan cepat.
Saat baru akan mengangkat kedua tangannya untuk takbir, gerakan Nasya terhenti ketika Zayn bersuara.
“Tunggu! Aku ambil wudhu dulu. Kita salat bareng.”
Nasya yang mendengar itu merasa hatinya sedikit sejuk. Ia tersenyum, lalu mengangguk pelan sambil menunggu suaminya berwudhu.
Hanya butuh lima menit, Zayn sudah kembali dengan mengenakan baju koko, sarung, dan peci di kepalanya.
Aura ketampanannya terasa semakin kuat, membuat Nasya semakin jatuh cinta pada pria yang baru kemarin resmi menjadi suaminya. Zayn segera merentangkan sajadah di hadapan Nasya, lalu melafalkan niat salat. Setelah itu, ia mengangkat kedua tangannya, menandakan salat subuh pun dimulai.
---
Beberapa jam setelah kesiangan, pasangan pengantin itu sedang berada di restoran bersama keluarga serta saudara Zayn dan Nasya yang datang dari luar kota demi menghadiri pernikahan mereka. Semuanya tampak bahagia saat sarapan bersama dalam satu meja.
“Dengar, Zayn. Om sudah menyiapkan tiket bulan madu untuk kalian berdua di Paris.”
“Uhuk… uhuk… uhuk…” Zayn tiba-tiba tersedak makanannya sendiri saat mendengar kata bulan madu yang diucapkan oleh pamannya.
“Ini, Kak. Minum dulu.” Nasya cepat-cepat menyodorkan gelas air putih pada suaminya.
Semua yang ada di sana pun menatap Zayn. Ada yang tetap menyuapkan makanan ke mulut, ada pula yang fokus menatap Nasya yang begitu cekatan mengurus suaminya.
“Pelan-pelan kalau makan, Zayn. Tidak ada yang meminta makananmu,” canda istri dari paman Zayn, yang hanya mendapat senyuman tipis dari pengantin baru itu.
“Maaf, Om. Tapi kenapa harus ke Paris? Di Indonesia juga masih banyak tempat wisata yang menyenangkan,” sahut Zayn dengan ekspresi sedikit kurang antusias.
“Eeeh… tidak baik bicara seperti itu, Zayn. Seharusnya kau berterima kasih kepada Om Firza yang sudah memberikan hadiah semewah itu,” sambung Ibu Zubaidah menegur putranya.
Zayn melirik sang Mama, lalu kembali menunduk fokus pada sarapannya. Paman Zayn yang bernama Firza hanya tersenyum, menggeleng, sesekali menyuapkan makanan, lalu kembali bicara.
“Om hanya ingin Mamamu ini cepat menimang cucu. Kasihan dia terlihat kesepian setelah kepergian Papamu.”
Traaang!
Nasya yang terkejut mendengar kata cucu tak sengaja menjatuhkan sendok ke lantai. Semua yang ada di sana langsung beralih menatap wanita yang sudah resmi menjadi istri Zayn itu.
Nasya tersenyum masam, lalu menunduk mengambil sendoknya yang jatuh dan meletakkannya di atas meja.
“Maaf, aku ke toilet dulu.”
Setelah mengatakan itu, Nasya segera melangkah cepat menuju toilet. Suasana mendadak hening. Semua orang beralih menatap Zayn dengan tatapan mengintimidasi.
Zayn yang merasa diperhatikan menghentikan suapannya. Bola matanya berputar menatap semua orang di meja itu.
“Ada apa? Kenapa kalian menatapku begitu?” tanya Zayn dengan ekspresi tak mengerti.
Ibu Zubaidah menggelengkan kepala melihat sikap Zayn yang masih acuh pada Nasya. Sementara yang lain kembali fokus dengan makanannya, mendengarkan ucapan Paman Firza.
“Dengarkan, Zayn. Om tahu pernikahanmu ini atas dasar dijodohkan. Tapi ingat, jangan pernah melampiaskan rasa sakit hatimu pada Nasya. Dia juga keponakan Om, dia yatim piatu. Jangan pernah sakiti dia, dan tolong bahagiakan dia. Kau mengerti maksud Om, Zayn?” Paman Firza memberikan pengertian panjang lebar dengan nada sedikit tegas.
Zayn mengangguk, lalu menjawab, “Iya, Om. Om Firza, tenang saja. Aku tidak setega itu untuk menyakitinya.”
Baru saja Zayn menjawab, Nasya kembali datang dan duduk di sampingnya. Ia kembali menyuapkan makanan ke mulut tanpa mengatakan apa pun. Jujur, Nasya tidak tahu harus bersikap bagaimana.
“Nasya!”
“Iya, Tante,” sahut Nasya, seketika menghentikan suapannya.
“Loh, kok Tante? Mama dong, Nasya sayang…” ujar Ibu Zubaidah sambil menggenggam tangan Nasya dengan senyuman.
“Oh iya, Mama. Maaf, Nasya belum terbiasa,” balas Nasya sambil ikut tersenyum.
“Nanti, setelah ini kau akan tinggal di rumah kami. Tapi sebelum pindah ke rumah Mama, kau akan berbulan madu lebih dulu besok pagi bersama Zayn. Semua sudah disiapkan, kau hanya tinggal ikut suamimu saja,” ujar Ibu Zubaidah panjang lebar.
Namun Nasya tetap menunduk. Ia tidak tahu jawaban apa yang harus ia berikan. Nasya takut salah bicara hingga memicu perang dengan suaminya.
Ibu Zubaidah yang paham situasi itu akhirnya menatap Zayn yang sedang fokus pada layar ponselnya.
“Zayn!”
“Ya! Kenapa?” sahut Zayn sambil menoleh.
“Kau dengar Mama bicara, kan?”
Zayn melirik Nasya yang duduk di sampingnya, lalu menjawab pertanyaan sang Ibu.
“Ya, atur saja semuanya sesuai keinginan Mama. Zayn ikut saja.”
Ibu Zubaidah tampak kesal dan gregetan dengan jawaban Zayn. Namun karena tidak ingin merusak suasana, ia memilih untuk bersabar menghadapi sikap putranya yang masih terlihat dingin itu.
---
Beberapa saat setelah sarapan, semua orang kembali ke kamar masing-masing di hotel mewah itu. Zayn terlihat sudah duduk di sofa, fokus dengan layar laptop untuk menyelesaikan pekerjaan kantor yang sempat tertunda.
Sementara itu, Nasya memilih berada di balkon kamar. Ia tengah dilanda kesedihan karena kembali mengingat kedua orang tuanya.
“Pah, Mah… Nasya sudah menikah dengan Kak Zayn. Nasya bahagia bisa menikah dengannya, tapi Kak Zayn tidak bahagia dengan Nasya, Mah, Pah. Seandainya kalian berdua masih ada, Nasya tidak akan sesepi ini. Nasya sangat merindukan Mama dan Papa… Kalian sedang apa di sana? Semoga Papa dan Mama bahagia.”
...****************...