Doni Pradipta, seorang koki berbakat yang kehilangan segalanya dalam kebakaran lima tahun lalu, tak pernah menyangka hidupnya akan berubah karena sebuah undian aneh: menjadi personal chef (Koki Pribadi) bagi Naira Adani, aktris terkenal yang tengah terpuruk setelah perceraian dan skandal besar.
Pertemuan keduanya yang semula hanya soal pekerjaan perlahan berubah menjadi perjalanan penyembuhan dua hati yang sama-sama retak mencoba untuk bertahan. Di dapur itu, Naira menemukan kembali rasa aman, sementara Doni menemukan alasan baru untuk percaya pada cinta kembali.
Ikuti kisah mereka yang penuh emosi, tawa, dan luka yang perlahan sembuh.
Jangan lupa dukung karya ini dengan Like, Comment, dan Vote agar cerita mereka bisa terus berlanjut. 🤍✨
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mardonii, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 15. BISIKAN DIBALIK DINDING
..."Di balik aroma kue yang manis, tersimpan getir masa lalu dan di antara lapisan luka, dua jiwa perlahan belajar mencintai kembali kehidupan."...
...---...
Sudah tiga minggu sejak pagi itu ketika Naira belajar memotong bawang. Tiga minggu yang mengubah suasana rumah besar di Dago Pakar dari tempat yang terasa seperti museum menjadi sesuatu yang lebih hangat, lebih hidup.
Setiap pagi pukul lima, tanpa pernah gagal, Naira turun ke dapur. Kadang mereka memasak bersama, Doni yang mengajari, mereka cuma duduk sambil minum kopi dan mengobrol tentang hal-hal kecil yang membuat hidup terasa normal.
Doni tidak tahu kapan tepatnya Naira menjadi lebih dari sekadar klien.
Bukan satu momen tunggal, melainkan ratusan momen kecil yang menumpuk menjadi sesuatu yang tak bisa ia abaikan lagi.
Entah itu saat perempuan itu tertawa sampai matanya berkaca-kaca karena telur dadarnya gosong dan lengket di wajan. Atau ketika Naira dengan bangga menunjukkan tumisan bawang putih pertamanya yang sempurna. Atau justru ketika ia duduk di meja dapur, rambut diikat asal, tanpa riasan, memakai sweter lusuh dan terlihat paling cantik yang pernah Doni lihat, hanya karena ia benar-benar bahagia.
Pagi ini, Doni sedang menyiapkan bahan untuk membuat kue lapis legit. Ini adalah proyek ambisius yang ia rencanakan untuk hidangan penutup makan malam nanti. Kue lapis legit membutuhkan kesabaran luar biasa: setiap lapis harus dipanggang satu per satu, menunggu yang satu matang sebelum menuang yang berikutnya. Total bisa dua jam hanya untuk satu kue. Tapi hasilnya sepadan, lembut, manis, dengan aroma kayu manis dan kapulaga yang khas.
Aroma rempah mulai menguar dari oven, manis dan hangat, mengisi setiap sudut dapur.
Ia sedang memisahkan kuning telur dari putihnya saat mendengar suara dari ruang cuci di sebelah dapur. Kuning telur terasa licin dan dingin di jari-jarinya. Bukan suara mesin cuci atau pengering. Ini suara orang berbicara, pelan tapi cukup keras untuk terdengar lewat dinding tipis.
Suara Tuti, dan suara perempuan lain yang belum pernah Doni dengar.
"Astaga, Bu Tuti, ini serius?" Suara asing itu terdengar terkejut. "Nona Naira beneran kena KDRT?"
Kuning telur masih tersangkut di cangkang, mengancam tumpah. Tangannya gemetar sedikit, tapi ia tidak bergerak.
"Ssst, pelankan suaramu, Mbak Siti," bisik Tuti keras-keras. "Ini rahasia. Jangan sampai ada yang dengar."
"Tapi kok bisa? Maksudku, Pak Rendra kan kelihatannya sempurna. Ganteng, kaya, sopan di depan orang."
"Itulah masalahnya. Di depan orang memang begitu. Tapi di balik pintu tertutup berbeda lagi," ucap Tuti pelan, suaranya berat. "Aku pernah lihat sendiri. Waktu itu aku lupa ambil kain pel di ruang keluarga, sudah malam. Aku dengar Pak Rendra membentak-bentak Nona Naira, suaranya menyeramkan sekali. Terus ada suara barang jatuh. Aku mengintip sedikit, lihat Nona Naira menangis di lantai, lengannya merah, seperti habis dipegang kasar."
Rahang Doni mengeras. Tangan mencengkram tepi meja dapur sampai buku-buku jarinya memutih. Bajingan. Dia layak lebih dari sekadar perceraian.
"Terus kenapa tidak lapor polisi? Atau keluarganya?"
"Nona Naira takut. Pak Rendra mengancam akan menghancurkan karier dia, menyebarkan gosip yang aneh-aneh. Dia punya koneksi di mana-mana. Media, produser, bahkan polisi. Siapa yang mau percaya kalau aktris terkenal bisa jadi korban? Semua orang pikir hidupnya sempurna."
"Kasihan sekali Nona Naira..."
"Makanya sekarang dia jadi begitu. Depresi berat, trauma, takut sama laki-laki. Untung ada Pak Doni sekarang. Sejak dia datang, Nona Naira mulai makan lagi, mulai senyum lagi."
Doni tahu dia harus berhenti mendengarkan. Ini privasi Naira. Tapi kakinya seolah menempel di lantai, dan telinganya tidak mau berhenti menyerap setiap kata.
"Pak Doni baik ya, Bu?"
"Baik sekali. Sabar, perhatian, tidak pernah marah. Cara dia memasak itu penuh hati, terlihat dia benar-benar peduli sama Nona Naira. Bukan cuma sekedar pekerjaan, tapi benar-benar peduli."
Suara mereka menjauh, mungkin keluar dari ruang cuci. Doni masih berdiri diam di dapur, telur setengah dipisah terlupakan di depannya.
Ia tahu Naira korban KDRT. Naira sudah cerita sendiri malam itu. Tapi mendengar detail dari saksi mata membuat amarah yang selama ini ia tahan muncul lagi.
Rendra Wiratama. Nama yang kini Doni benci sepenuh hati. Lelaki yang menyiksa perempuan sebaik Naira, yang membuat seseorang yang seharusnya bersinar malah nyaris padam.
Doni menarik napas dalam. Ia harus tenang. Ia harus fokus. Ia harus membuat kue lapis legit yang sempurna, membuat Naira tersenyum malam nanti. Melanjutkan penyembuhan yang pelan-pelan mereka bangun tiga minggu ini.
Tapi di pojok pikirannya, ada keresahan yang tidak bisa ia abaikan: bagaimana kalau Rendra kembali? Bagaimana kalau dia berani datang lagi?
Aku tidak peduli lagi soal batas. Kalau dia datang, kalau dia berani menyakiti Naira lagi...
Dan yang lebih menakutkan: apakah Doni punya hak untuk melindungi Naira, atau itu sudah melanggar batas profesional yang jelas tertulis di kontrak?
...---•---...
Siang itu, saat Doni baru selesai dengan lapis kelima kue lapis legit, Ratna datang ke dapur dengan ekspresi yang jarang ia lihat. Wajahnya tegang, rahang terkunci, matanya bergerak gelisah, tidak fokus, tidak seperti biasanya.
"Pak Doni, ada yang perlu saya bicarakan." Ratna duduk di meja dapur, tangannya terlipat rapi di atas meja. "Ini penting."
Doni mematikan pengatur waktu oven dan menoleh penuh perhatian. "Ada masalah?"
"Tadi pagi saya dapat telepon dari Pak Rendra, mantan suami Nona Naira." Ratna menyebut nama itu dengan nada dingin yang nyaris mengandung benci. "Dia bilang mau datang ke sini besok sore, mau 'menjenguk' Nona Naira."
Doni merasa dadanya diremas. "Nona Naira sudah tahu?"
"Belum. Saya belum berani bilang. Setiap kali nama itu disebut, dia langsung terguncang." Ratna melepas kacamatanya, mengusap wajah lelahnya. "Tapi saya tidak bisa langsung menolak. Secara hukum mereka sudah cerai, tapi Pak Rendra punya pengacara licik. Dia bisa membuat masalah kalau kita tolak, bilang kita menghalangi dia untuk 'menyelesaikan urusan baik-baik'."
"Jadi dia bakal datang besok?"
"Pukul empat sore. Saya sudah coba atur ulang jadwal, tapi dia ngotot besok atau tidak sama sekali." Ratna kembali mengenakan kacamatanya. "Pak Doni, saya butuh bantuan."
"Bantuan apa?"
"Besok sore, waktu dia datang, saya mau Bapak ada di sini. Di ruang tamu, atau di dapur yang pintunya terbuka. Jangan jauh dari Nona Naira." Ratna menatapnya serius. "Saya tidak percaya Pak Rendra. Dia manipulatif, licik. Dan Nona Naira masih sangat rapuh. Kalau dia bilang sesuatu yang memicu trauma, saya takut Naira kambuh."
"Tentu saya akan ada di sini. Tapi apa saya boleh ikut campur kalau situasi memburuk? Maksud saya, saya kan cuma koki pribadi, bukan pengawal atau..."
"Lupakan kontraknya untuk satu hari," potong Ratna tegas. "Besok, prioritas kita cuma satu: keselamatan mental Nona Naira. Kalau Bapak merasa perlu turun tangan, lakukan. Saya yang akan bertanggung jawab."
Doni mengangguk tanpa ragu. Tidak ada pertimbangan. Tidak ada perhitungan.
"Baik. Saya pastikan Nona Naira aman."
"Terima kasih, Pak Doni." Ratna berdiri, nada suaranya melunak. "Sejujurnya, sejak Bapak datang, ini pertama kalinya saya merasa ada orang yang benar-benar peduli sama Nona Naira. Bukan karena dia terkenal, bukan karena uangnya, tapi karena dia manusia yang butuh pertolongan."
Peduli. Doni menahan diri untuk tidak menanggapi lebih. Kata yang terlalu ringan untuk apa yang aku rasakan.
"Saya cuma melakukan apa yang seharusnya dilakukan," jawab Doni pelan.
"Dan itu yang membuat Bapak berbeda dari orang lain di hidupnya."
Setelah Ratna pergi, Doni kembali ke kue lapisnya, tapi pikirannya berantakan. Tangannya bergerak otomatis menuang adonan lapis berikutnya, meratakannya dengan spatula, lalu memasukkannya ke oven. Tapi pikirannya melayang jauh.
Besok, Rendra akan datang. Lelaki yang menyiksa Naira, yang hampir menghancurkan jiwanya, akan datang ke rumah ini. Tempat yang selama sebulan jadi ruang aman Naira.
Doni tidak tahu bagaimana nanti ia bereaksi. Ia tidak tahu apakah bisa tetap tenang, atau amarahnya akan meledak.
Yang ia tahu, ia tidak akan membiarkan Rendra menyakiti Naira lagi. Apa pun yang terjadi.
Ia menyelesaikan lapis terakhir kue. Dua jam, dua puluh lapis, satu tekad.
...---•---...
Malam itu, makan malam berlangsung seperti biasa. Doni menyajikan salmon panggang dengan asparagus dan kentang tumbuk truffle. Makanan sederhana tapi elegan. Naira makan di ruang makan kali ini, bukan di kamar, dan menghabiskan hampir seluruh porsinya.
Setelah makan, seperti kebiasaan tiga minggu terakhir, Naira turun ke dapur sambil membawa piring kotor.
"Biar aku yang cuci," katanya sambil berjalan ke wastafel.
"Kamu tidak perlu, ada mesin cuci piring."
"Aku tahu, tapi aku suka cuci piring. Terapi murah." Naira menyalakan air hangat dan menuang sabun. Busa sabun menempel di punggung tangannya. "Lagi pula, kita kan teman. Teman bantu-bantu cuci piring."
Teman. Kata itu menggantung di udara. Apa kita benar-benar cuma teman? Atau aku cuma takut mengakui yang sebenarnya?
Mereka memang sudah lebih dari sekadar koki dan klien, tapi apa mereka benar-benar hanya teman? Atau ada sesuatu yang lebih dalam, yang belum berani mereka akui?
Doni berdiri di sebelah Naira, mengambil handuk untuk mengeringkan piring yang sudah dicuci. Gerak mereka selaras: Naira mencuci, Doni mengeringkan, lalu menyimpan.
"Naira," ucap Doni hati-hati, "ada yang perlu aku kasih tahu."
Naira menoleh, tangannya berhenti mengusap piring. "Apa?"
Doni menarik napas panjang. Di luar jendela, langit mulai gelap. Badai akan datang besok.
Maafkan aku. Ini akan menghancurkan ketenangan yang baru kita bangun.
"Besok sore... Rendra akan datang ke sini."
...---•---...
...Bersambung...