Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
26. Godaan di Meja Makan
Restoran Dekat Butik – Siang Hari
Restoran itu tenang, ditemani cahaya matahari yang menari lewat jendela kaca besar.
Ghea baru saja memesan makan siang dan kini duduk sendiri di meja pojok, paling dekat dengan jendela. Jemarinya menyentuh kelopak bunga dalam vas kecil di atas meja, sementara sorot matanya terpaku pada layar ponsel yang tiba-tiba menyala—membuyarkan lamunannya sejenak.
Dering lembut terdengar.
Nyonya Nita, pelanggan butiknya, menelepon.
Dengan suara ramah, Ghea mengangkat.
“Iya, Nyonya Nita? Mau pesan desain baru lagi?”
Obrolan pun mengalir. Ghea mencatat dengan cepat di buku kecilnya, sambil sesekali tersenyum mendengar cerita tentang pesta pernikahan keponakan Nita. Panggilan itu berlangsung cukup lama hingga suara langkah pelayan mendekat dan menyajikan makanan.
Ghea buru-buru mengucap salam perpisahan pada Nyonya Nita dan mematikan panggilan.
“Silakan, Kak. Ini pesanannya.”
“Terima kasih—”
Ucapannya terputus.
Keningnya berkerut.
Ada dua piring steak di mejanya. Lengkap dengan dua set peralatan makan dan dua gelas minuman.
Ghea memanggil pelayan yang belum jauh melangkah.
“Maaf, saya hanya memesan satu porsi steak, kenapa ini ada dua?”
Pelayan muda itu tersenyum sopan, membungkuk sedikit sebelum menjawab.
“Calon suami Anda… beliau yang memesan dua porsi.”
Hening. Ghea menatap pelayan itu tanpa berkedip. Mulutnya nyaris bergerak bertanya, tapi sebuah suara datang dari belakangnya.
“Maaf, aku sedikit terlambat… Honey.”
Dunia Ghea terasa berhenti sepersekian detik.
Suara itu—serak lembut, dalam, begitu familiar.
Refleks, ia menoleh.
Leon.
Berdiri di sana, mengenakan kemeja hitam lengan panjang yang digulung rapi hingga siku, wajahnya seperti biasa—dingin dan karismatik, tapi dengan senyum tipis yang tahu cara membuat jantung Ghea berdetak tak karuan.
Ia menarik kursi di seberang Ghea, duduk tanpa meminta izin seolah meja itu memang milik mereka berdua sejak awal.
Ghea masih terpaku.
Bibirnya terbuka, tapi tak satu pun kata berhasil keluar.
Pertanyaan menumpuk di benaknya.
Tapi mata Leon hanya menatapnya, tenang… nyaris mematikan.
“Jangan terlalu lama menatapku seperti itu,” ujarnya, memotong sunyi. “Nanti aku mengira kau merindukanku.”
Ghea meletakkan ponselnya, menghela napas kasar.
Tatapannya tajam, menusuk ke arah pria di hadapannya.
“Kau benar-benar seperti jalangkung, Leon… Datang tak diundang, pergi tanpa pamit.”
Leon mengangkat alis, lalu mendecak pelan seolah tersinggung—pura-pura.
Dengan santai, ia memotong daging steak-nya, gerakannya tetap elegan dan terukur.
“Kau jahat sekali, Honey,” gumamnya, senyum nakal terselip di sudut bibirnya.
“Calon suamimu sendiri kau sebut jalangkung.”
Ghea memejamkan mata sesaat, mencoba mengumpulkan akalnya yang tercerai-berai sejak kemunculan pria itu. Ia menghela napas panjang sebelum membuka suara lagi, kali ini tanpa basa-basi.
“Semalam… kau tidur di kamarku, di ranjangku?”
Tatapannya menajam.
“Dan kau sengaja meninggalkan jam tanganmu? Supaya aku tahu kau benar-benar ada di sana?”
Leon tidak langsung menjawab. Ia berhenti memotong steak, lalu menatap Ghea lurus-lurus.
Senyumnya perlahan terbit lagi.
“Kenapa? Kau terlihat tidak senang, Honey... padahal semalam kau begitu nyaman. Begitu lelap… dalam pelukanku.”
Ghea menegakkan tubuh, rahangnya mengeras. Ia melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang terlalu dekat. Suaranya mengecil, tapi penuh tekanan.
“Kau gila? David ada di sana, Leon. Dia tidur di ranjang yang sama denganku. Dan kau… ikut-ikutan tidur bersama kami?”
Alih-alih merasa bersalah, Leon malah mengangkat piringnya dengan santai.
Ia menukar piring steaknya—yang sudah dipotong rapi—dengan piring Ghea yang masih utuh. Lalu ia mulai memotong makanan itu untuknya sendiri.
“Aku memang gila,” katanya ringan. “Dan kegilaanku… semua karena kamu.”
Tatapannya mengunci milik Ghea, intens dan berbahaya.
“Jadi, kalau aku tak mau makin gila… aku harus dekat denganmu. Bukan sekadar karena ingin…”
Ia meletakkan garpu dan pisaunya, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan, wajahnya nyaris hanya sejengkal dari wajah Ghea.
“...tapi karena kamu adalah obatku, Ghea.”
Seketika, napas Ghea tercekat.
Entah karena kata-katanya, atau karena intensitas tatapan pria itu—yang membuat dunia terasa mengecil, menyisakan hanya mereka berdua.
Dan di sela denting alat makan, obrolan pelan pengunjung lain, serta aroma makanan yang menyeruak di udara—ada perang diam-diam antara logika dan perasaan.
Yang Ghea tahu pasti…
Leon datang, dan seperti biasa, tak ada satu pun dalam dirinya yang siap untuk itu.
Leon menyandarkan tubuhnya dengan santai, lalu menatap Ghea dengan pandangan khasnya—tenang, penuh percaya diri, dan sedikit menyebalkan.
“Makanlah, Honey.”
Suara seraknya terdengar ringan, tapi ada sesuatu yang hangat di balik nada itu.
“Jangan biarkan makananmu dingin… seperti hatimu, sebelum aku datang padamu.”
Ucapannya jatuh begitu saja—angkuh, manis, menyakitkan.
Leon lalu mulai menyantap steaknya dengan elegan, seperti tak berkata apa-apa barusan.
Ghea menarik napas panjang. Kasar.
“Kau selalu melakukan apa yang kau mau… tanpa peduli orang lain.”
Suara itu terdengar pelan, lebih seperti gumaman ke diri sendiri.
Dalam hati, ia mengumpat.
"Percuma. Berdebat dengan Leon sama saja seperti berjalan di pasir hisap—semakin kau melawan, semakin kau tenggelam."
Dan ia benci… karena tahu Leon benar.
Hidupnya memang sepi.
Ranjang itu memang dingin.
Sebelum Leon datang, tak ada satu pun yang terasa hidup di dalam dirinya.
Daripada memicu perang mulut, Ghea memilih mengambil garpu dan mulai makan. Menelan egonya bersama potongan daging di piring.
Leon meliriknya sekilas, lalu tersenyum.
“Sepertinya kau sangat mengenalku, ya…”
Nada bicaranya lembut, tapi ada ironi yang membakar di ujungnya.
“Padahal kita belum lama bersama. Tapi… kau bisa mengenaliku bahkan dengan mata terpejam, Honey.”
Tatapannya melembut, tapi senyumnya menyudut penuh kemenangan.
“Semalam, kau langsung masuk dalam pelukanku. Begitu saja. Seolah tubuhmu tahu lebih dulu siapa yang memelukmu.”
Ghea mendongak dengan mata membulat, napasnya tertahan.
Leon mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, suaranya menurun, nyaris seperti bisikan.
“Apa lain kali… perlu aku rekam bagaimana kau mengenaliku? Meski dalam tidur?”
Ghea ingin memaki. Atau melempar pisau steak. Tapi suaranya lenyap, lidahnya kelu.
Karena kenyataannya, tubuhnya memang bereaksi pada Leon dengan cara yang bahkan pikirannya tak bisa cegah.
Ia hanya bisa memalingkan wajah, menyembunyikan rona merah yang naik diam-diam di pipinya.
Dan Leon? Dia hanya tersenyum lagi—seolah tahu ia sudah menang untuk yang kesekian kalinya.
Beberapa menit mereka makan dalam diam.
Hanya terdengar denting halus peralatan makan yang beradu dengan piring, dan sayup-sayup obrolan dari meja lain.
Lalu, tanpa peringatan, Leon mengulurkan tangannya.
Gerakannya pelan, penuh kendali—seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia lakukan.
Dengan ibu jarinya, ia menyeka saus yang menempel di sudut bibir Ghea—tanpa izin, tanpa ragu.
Ghea, yang sejak tadi menunduk fokus pada makanannya, tersentak pelan. Matanya membulat, napasnya tertahan.
Namun ia tetap diam saat Leon—dengan santainya—menjilat ibu jarinya sendiri. Matanya tak lepas dari Ghea, tatapan nakal dan tajam terpatri di sana.
“Ah…”
Suara Leon terdengar rendah, berbisik seperti godaan.
“Aku jadi ingat. Kau belum memberiku ciuman beberapa hari ini.”
Ghea mendengus—terkejut sekaligus kesal.
Tersadar dari ketertegunannya, ia meletakkan sendok dan garpunya cepat-cepat ke sisi piring.
“Jangan harap,” gumamnya datar, tapi nada suaranya tajam.
Ia berdiri, meraih tas dengan gerakan tegas. Langkahnya cepat, menjauh dari meja makan.
Namun saat ia membalikkan tubuh…
Langkah Ghea terhenti.
Tatapannya terkunci.
Seseorang berdiri tak jauh dari sana—menatapnya. Mata orang itu penuh tanda tanya, atau mungkin… kecurigaan.
Ghea membeku.
Tangannya mencengkeram tali tas.
Dan di belakangnya, Leon hanya tersenyum pelan… seperti sudah memperkirakan semuanya.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.