Aku tidak tahu jika nasib dijodohkan itu akan seperti ini. Insecure dengan suami sendiri yang seakan tidak selevel denganku.
Dia pria mapan, tampan, terpelajar, punya jabatan, dan body goals, sedangkan aku wanita biasa yang tidak punya kelebihan apapun kecuali berat badan. Aku si pendek, gemuk, dekil, kusam, pesek, dan juga tidak cantik.
Setelah resmi menikah, kami seperti asing dan saling diam bahkan dia enggan menyentuhku. Entah bagaimana hubungan ini akan bekerja atau akankah berakhir begitu saja? Tidak ada yang tahu, aku pun tidak berharap apapun karena sesuatu terburuk kemungkinan bisa terjadi pada pernikahan kami yang rentan tanpa cinta ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon De Shandivara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sekian Purnama
Menjelang tidur, aku yang terbiasa ditemani langit-langit kamar dan menikmati kedinginan suhu kamar seorang sendiri, tapi kini di sebelahku sudah ada orang lain yang berstatus menjadi suami.
Tadi, dia mengatakan ingin tidur di kamar ini. Memang, ranjang luas yang biasa nyaman ini milik kami hanya saja biasanya aku tempati sendiri, kini harus berbagi. Kami sama-sama berbaring dalam satu selimut yang sama.
Aku masih terjaga, di hatiku belum selesai menghitung hingga genap seribu domba. Biasanya begitu, membayangkan domba meloncati pagar dan dihitung berapa banyak domba yang lolos melompat hingga aku mengantuk dan tertidur dengan sendirinya.
"Lima puluh tiga, aduh!" Sayangnya, domba kali ini masih anak domba yang sangat kecil sehingga tidak bisa melompat pagar tinggi.
"Moy, sudah tidur?" Suara seseorang membangunkanku dan membuat domba-domba yang berbaris rapi dan tenang di anganku menjadi berkeliaran kesana kemari.
Aku membuka mata, mas Elham dengan posisinya yang sama berbaring, dia menoleh padaku.
"Kamu sudah tertidur?"
Aku menggeleng. "Belum sempat, dombaku berantakan."
"Domba?"
Aku sekadar menggeleng. Maksudnya, "Belum mengantuk saja," jawabku.
"Mama tadi menghubungi, mama bilang ...." ucapnya terjeda.
"Kenapa?"
"Mama bilang kamu ...." Aku masih menunggu kalimatnya yang terjeda-jeda.
"Mama bertanya, kapan kita ke rumah mama? Mama habis sakit," lengkapnya.
Aku bangkit dan memutar posisiku menjadi setengah tengkurap di tempatku. "Mama Galih sakit? Sakit apa, Mas? Jadi, pas tadi aku di rumah kak Alan terus mama nelepon itu karena mau ngasih tahu kalau mama sakit?!" ujarku mengguncang lengannya. Sungguh, tidak menyangka jika mama sakit.
Dia tidak langsung menjawab, ia menatapku lurus denganku yang bertingkah gelisah. Dengan tenang, dia bertanya padaku. "Rumah kak Alan siapa?"
Hup. Aku melotot, mulutku kelepasan.
"Ouh itu ... Itu rumah temanku. Tempat berkumpul tadi."
Namun, sepertinya dia tidak percaya. Dia enggan berhenti menatapku lurus dan mengikuti pergerakan bola mataku yang masih menatap bola matanya ke kiri dan kanan, selama beberapa saat kami hanya bertatapan denganku yang menatap mulutnya yang bungkam.
Helaan napas termbus darinya, kemudian bibirnya terbuka dan bergerak-gerak. "Kamu dekat dengan pria itu? Tadi pulang diantar olehnya?"
Aku hanya diam dan menunduk. Tidak ingin menjawab karena semua pertanyaan itu jawabannya 'iya' dan aku tahu siapa yang salah dan akan disalahkan.
Aku memainkan tepian selimut, perlahan kembali ke posisiku yang berbaring telentang, menarik selimutku dengan rapi hingga menutupi batas leher.
Dia menyusul, bergantian bangkit dan setengah tengkurap di sebelahku. "Kenapa tidak mengabari kalau mau pergi? Kenapa tidak minta jemput padaku?"
Mataku memanas, entah karena aku merasa bersalah atau tersudutkan.
"Aku takut mengganggu pekerjaanmu, Mas seringnya sibuk dan jarang di rumah. Bagaimana aku bisa bebas minta dijemput?"
"Tapi bepergian itu harusnya izin dulu. Jangan asal keluar tanpa memberi kabar mau kemana. Kalau aku tidak tahu, dan terjadi sesuatu padamu bagaimana?"
Aku salah, ya, aku yang bersalah. Namun, sikapnya yang tak acuh sebelumnya dan dia yang akan menjawab terserah saat aku meminta izin untuk keluar rumah, membuatku sungkan meminta izin padanya terus menerus pada setiap kegiatanku.
Aku menangis.
"Besok kita ke rumah mama," ujarnya.
"Namun, sebelum itu...."
Dia menatapku, dadanya menggembung menghirup udara cukup banyak. Aku tidak sepolos itu untuk tidak memahami apa makna kalimat yang menggantung itu. Dengan gerakan perlahan dia mendekatkan wajahnya kepadaku, berangsur mengecup dan menindih tubuhku. Tangannya terampil merambat, lalu memadamkan lampu kamar di sisiku yang semula terang menjadi gelap hanya disinari cahaya bulan yang menembus dari celah gorden yang tidak sepenuhnya menutupi jendela kamar.
Aku membiarkan semua berjalan sesuai alurnya sampai terasa sesuatu berhasil merobek inti tubuhku yang membawaku pada gejolak yang panas dan menggairahkan tanpa pengampunan. Ini untuk pertama kalinya setelah sekian purnama kami tinggal di bawah atap yang sama.
Air mataku yang menetes menjadi saksi bahwa saat ini aku benar-benar bukan anak gadis ayahku lagi. Aku sudah menjadi istri. Aku sadar, masa lajangku sudah habis. Berhubungan menjadi ini hal wajar yang terjadi setelah menikah, aku sudah tak punya kesempatan untuk menyatakan ketidaksiapan itu dan sampai kapan pun aku tidak akan bisa mengembalikan status gadis yang sudah hilang ini. Paling tidak kemungkinan status yang aku sandang hanya ada dua, isteri selama dia menjadi suamiku atau janda jika ada perceraian nanti.