🍁Ketika kesetiaan diragukan, nasib rumah tangga pun mulai dipertaruhkan.
-
-
Bukan pernikahan impian melainkan sebuah perjodohan. Aini harus menikah dengan anak dari sahabat lama Ayahnya atas permintaan sang Ayah yang tengah terbaring lemah dirumah sakit.
Berbeda dengan Aini yang berusaha menerima, Daffa justru sebaliknya. Dinginnya sikap Daffa sudah ditunjukkan sejak awal pernikahan. Meskipun begitu Aini tetap mencoba untuk bertahan, dengan harapan mereka bisa menjadi keluarga yang samawa dan dapat menggapai surga bersama.
Dan ketika cinta itu mulai hadir, masa lalu datang sebagai penghalang. Keutuhan cinta pun mulai dipertanyakan. Mampukah Aini bertahan ditengah cobaan yang terus menguji kesabaran serta mempertahankan keutuhan rumah tangganya?
📝___ Dilarang boom like, menumpuk bab apalagi sampai kasih rating jelek tanpa alasan yang jelas. Silahkan membaca dan mohon tinggalkan jejak. Terimakasih 🙏🥰
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fajar Riyanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18 : Aroma parfum perempuan.
Beberapa kali Celine melihat ke arah kaca spion dalam untuk memastikan mobil Daffa masih ada disana. Ada perasaan senang tersendiri saat mengetahui jika Daffa ternyata masih memperdulikannya.
Gedung apartemen yang dia tempati sudah mulai terlihat, tangannya meraih tas yang ada di jok sebelahnya dan menaruhnya di atas pangkuan. Sebuah botol semprot berukuran mini Celine keluarkan dari sana. Isinya adalah parfum miliknya, yang sengaja dia tuang kedalam botol tersebut.
Begitu sampai di halaman apartemen, Celine menghentikan mobilnya dengan diikuti mobil Daffa yang ikut berhenti di belakangnya. Keduanya turun dari dalam mobil masing-masing dan saling menghampiri.
"Makasih ya, Daf."
Daffa hanya mengangguk kecil tanpa berniat menjawab. Sengaja dia bersikap begitu supaya Celine tidak salah paham dengan maksud baiknya yang memang hanya sekedar ingin menolong saja, tidak lebih.
"Oya, aku ingin minta maaf soal kejadian di restauran tadi siang." Celine menggigit bibirnya, menarik nafas dalam-dalam sebelum melanjutkan kembali ucapannya, "Sama seperti kamu, aku juga ingin belajar melupakan apa yang sudah pernah terjadi diantara kita dan belajar membuka hati lagi untuk seseorang nantinya."
Seperti ada sesuatu yang menyentil hatinya saat mendengar pengakuan mantan istrinya. Masih dalam diamnya, Daffa menatap wajah Celine cukup lama. Kalimat itu seperti sebuah ketulusan tapi bisa juga bukan, ada sesuatu yang sulit dia jabarkan saat melihat sikap Celine yang tiba-tiba berubah dalam waktu singkat, menurutnya.
Bukan satu atau dua tahun dia mengenal Celine, tapi lebih lama dari itu dan itu cukup membuat dia bisa memahami sifat mantan istrinya ini seperti apa. Celine bukanlah tipe wanita yang akan segampang itu untuk menyerah jika belum mendapatkan apa yang dia inginkan.
"Apa aku boleh bertemu dengan Aini? Aku ingin meminta maaf secara pribadi atas sikapku tadi siang,"
Permintaan Celine tidak bisa begitu saja dia setujui, jika sudah bertemu bisa saja yang dibicarakan akan berbeda, "Sebaiknya jangan, karena aku tidak mengizinkan. Lagipula Aini bukan tipe wanita pendendam, dia tidak mempermasalahkan apapun tentang kejadian tadi siang. Dan kalaupun itu menjadi masalah baginya, aku bisa menjelaskannya sendiri."
Celine mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti, meskipun jujur dia agak sedikit kecewa dengan penolakan yang diberikan Daffa, "Ya, aku ngerti kok."
"Kalau begitu kamu naiklah," Daffa menoleh ke arah gedung yang menjulang dihadapannya sekilas, "Aku juga harus pulang, Aini sudah menungguku di rumah."
Tanpa ada keraguan lagi, Daffa berbalik. Namun langkahnya tertahan saat tiba-tiba Celine memeluknya dari arah belakang. Hendak dia lepas namun seruan Celine lebih dulu menahan pergerakannya.
"Jangan dilepas!" matanya memanas, air mata sudah kembali menggenang di kedua bola matanya. "Satu menit saja, Daf, ijinkan aku memelukmu seperti ini, setelah itu aku akan belajar untuk melupakan kamu,"
Sebisa mungkin dia berusaha meyakinkan supaya Daffa percaya dengan kata-katanya. Dan kesempatan itu dia pakai untuk menyemprotkan parfum yang dia pegang ke jas yang dipakai Daffa, hanya sedikit, tapi cukup meninggalkan jejaknya disana.
Tak perlu menunggu satu menit, Daffa segera melepaskan tangan Celine dari pinggangnya karena merasa tidak nyaman. Dan memang tidak sepantasnya juga karena bisa saja menimbulkan kesalahpahaman jika sampai ada yang melihat mereka dalam keadaan berpelukan seperti tadi.
Tanpa mengatakan sepatah katapun, Daffa melangkahkan kakinya yakin dan tidak menoleh ke belakang sedikitpun. Sebuah senyuman terukir di wajahnya, Celine mengusap air mata di ujung matanya yang belum sempat keluar ketika melihat mobil Daffa sudah melaju semakin jauh dari pandangan matanya.
"Kamu milikku dan hanya milikku."
-
-
-
Hatinya mulai dilanda gelisah, apalagi saat melihat jarum jam sudah menunjuk ke angka sebelas dan suaminya belum juga kembali. Pesan terakhir yang dia kirimkan bahkan belum terbaca karena mungkin suaminya masih dalam perjalanan dan tidak sempat membuka handphone.
Baru saja Aini hendak menelfon karena memang sudah selama itu dia menunggu, suara mobil lebih dulu terdengar memasuki halaman rumah. Dengan wajah yang masih sedikit khawatir, Aini segera turun untuk melihat, memastikan jika yang pulang adalah benar suaminya atau bukan.
Ada perasaan lega saat melihat wajah tampan yang sudah nampak lelah itu sudah ada di ruang tamu dan tersenyum saat melihat kedatangannya.
"Mas..." Aini berlari kecil dan memeluk tubuh Daffa hanya untuk memastikan saja jika yang sedang dia peluk ini adalah nyata. "Kok pulangnya terlambat, katanya tadi satu jam lagi, tapi ini udah sampai jam sebelas lewat loh,"
Matanya terlihat sedikit memerah, entah karena lelah ataupun menahan kantuk, mungkin juga keduanya. Namun saat mendengar ucapan Aini yang mengandung kekhawatiran, seketika lelah itu tiba-tiba hilang dan tergantikan oleh perasaan senang yang begitu mendominasi.
"Khawatir Mas nggak pulang ya?"
Aini melepaskan pelukannya, wajahnya terlihat sedikit malu, "Memangnya nggak boleh kalau khawatir?"
"Boleh kok, pake banget malah. Mas malah senang dikhawatirin sama kamu," jawabnya sembari mencubit gemas hidung Aini.
Dengan menggandeng tangannya, Daffa membawa Aini kembali masuk ke dalam kamar. Dia melepaskan jas yang dia pakai dan langsung diambil alih oleh Aini untuk dimasukkan ke keranjang pakaian kotor.
"Mas bersih-bersih aja dulu, nanti aku buatkan kopi,"
Sembari membuka kancing kemejanya, Daffa menganggukkan kepala. Begitu kemejanya sudah terbuka semua dan sudah dia lepas, Aini kembali mengambil alih kemeja itu untuk dimasukkan ke keranjang kotor sekalian. Sama sekali tidak merasa diperintah atau bagaimana, Aini justru bangga bisa melakukan perannya sebagai seorang istri. Begitupun dengan Daffa yang begitu bahagia karena sekarang sudah ada yang memperhatikannya lagi, membuat hidupnya kembali berwarna dan tidak lagi terasa hampa dan kesepian.
Sebelumnya tidak ada yang aneh, hingga Aini mencium sesuatu yang memicu atensinya untuk mencari tahu lebih dalam. Kepalanya menoleh kecil kekanan dan kekiri, bukan untuk mencari sesuatu dengan matanya melainkan dengan indera penciumannya.
Aini mengangkat pakaian milik suaminya yang ada ditangannya untuk memastikan wangi lain yang tercium di hidungnya. Wangi parfum yang biasa dipakai oleh suaminya tercium sudah bercampur dengan aroma parfum lain yang menurutnya masih asing, tapi dia cukup tau jika aroma jenis ini biasanya digunakan oleh para wanita.
"Pakaian kamu kok seperti bau parfum perempuan ya, Mas. Apa tadi kamu habis ketemu seseorang dulu sebelum pulang?"
...💧💧💧...
. tapi aku ragu celine bakal sadar sebelum dapet karma instan🤧🤧