NovelToon NovelToon
Mahar Untuk Nyawa Ibu

Mahar Untuk Nyawa Ibu

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Nikah Kontrak / Beda Usia / Romansa
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Asmabila

Raina tak pernah membayangkan bahwa mahar pernikahannya adalah uang operasi untuk menyelamatkan ibunya.

Begitupun dengan Aditya pun tak pernah bermimpi akan menikahi anak pembantu demi memenuhi keinginan nenek kesayangannya yang sudah tua dan mulai sakit-sakitan.

Dua orang asing di di paksa terikat janji suci karena keadaan.


Tapi mungkinkah cinta tumbuh dari luka, bukan dari rasa????

Tak ada cinta.Tak ada restu. Hanya diam dan luka yang menyatukan. Hingga mereka sadar, kadang yang tak kita pilih adalah takdir terbaik yang di siapkan semesta.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Asmabila, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Sisi lain Raina.

Langkah kaki Dika terdengar tegas menyusuri lobi, mendekati sosok wanita tinggi yang kini berdiri dengan angkuh di depan meja resepsionis. Aura dingin yang terpancar darinya tak kalah menusuk dibanding tuannya, Aditya Dirgantara.

"Anda ada keperluan apa datang ke sini?" tanya Dika, datar dan tanpa basa-basi.

Tatapan Larasati berubah tajam. Dulu, pria ini selalu menunduk dan melayaninya seperti ia melayani Aditya. Kini? Nada bicaranya seolah meletakkan batas.

"Jangan lupa siapa aku," jawab Larasati tajam. Matanya menyipit, menantang.

Dika tidak bergeming. Sorot matanya dingin seperti permukaan danau beku. "Justru karena saya tahu siapa Anda, saya menjalankan tugas. Jika tidak ada urusan penting, pintu keluarnya di sana." Ia menunjuk arah pintu dengan tenang—sebuah sindiran halus namun tajam, nyaris seperti dorongan halus yang menyakitkan.

"Kurang ajar! Berani-beraninya kau bicara seperti itu padaku!" Larasati mengepalkan tangan, gemas.

Sebelum amarahnya meledak, ponsel Dika bergetar. Nama Tuan Aditya muncul di layar. Ia menekan tombol hijau lalu menjawab singkat.

"Baik, Tuan."

Tatapannya kembali pada Larasati. "Tuan mempersilakan Anda masuk. Tapi jaga sikap, jika tidak ingin saya benar-benar melempar Anda keluar."

Larasati tersenyum sinis. “Sekarang kau berani bicara begitu? Tunggu saja. Kau akan jadi orang pertama yang dikeluarkan setelah ini.”

Dengan langkah penuh percaya diri, Larasati menapaki lorong menuju ruang CEO. Ia pikir ia masih punya kendali. Ia pikir, ia masih bisa mengatur permainan. Namun yang menantinya di balik pintu itu bukan panggung pengakuan—melainkan kenyataan yang menampar harga dirinya.

Pintu otomatis terbuka.

Dan di sana—tepat di balik meja kerja besar itu—ia melihat pemandangan yang membuat dadanya serasa diremas.

Aditya.

Tengah duduk di kursinya, sementara seorang perempuan duduk di pangkuannya. Kepala mereka saling bersandar. Bibir mereka baru saja lepas dari ciuman singkat yang tampak lembut, namun intim. Bukan sekadar gairah—tetapi kehangatan, seperti sepasang kekasih yang saling melindungi dari dunia.

Raina masih diam, mencerna dan mengamati suasana.

Raina mengenali wajah itu. Wajah yang dulu ia lihat di dompet Aditya, di album-album yang pernah ia intip secara diam-diam.

Aditya mempererat pelukannya pada pinggang Raina, tak ingin Raina menjauh. Seolah ingin berkata: Hanya kamu, percaya padaku.

Raina pun membalas genggaman tangan suaminya di bawah meja. Ia tahu, ini bukan sekadar kunjungan masa lalu. Ini ujian.

Dan ia tidak akan lari.

Namun Larasati tidak mundur. Ia tersenyum licik, seperti ular yang siap mematuk. "Hai… rasanya baru kemarin kita bertemu. Bahkan, aroma tubuhmu masih lekat di ingatanku. Tapi kenapa kini kau sedingin es, Aditya? Apa karena… dia?" Tatapannya menusuk ke arah Raina.

Aditya diam. Tapi sorot matanya jelas menunjukkan kejengkelan yang tertahan.

Larasati berbicara kembali. "Di rumah sakit kemarin, kamu menjagaku siang malam.Apa kamu lupa?? " cecar Larasati, sekaligus ingin melihat reaksi Raina.

Raina perlahan turun dari pangkuan Aditya. Ia berdiri tegak, lalu menatap Larasati dari ujung kepala hingga kaki. Sekilas, ia tampak kalah. Namun di matanya, terpantul api yang tak dimiliki wanita mana pun—keteguhan seorang istri yang tahu tempatnya, dan tahu siapa dirinya.

"Hm. Cantik..." ucap Raina dingin. "Sayang, murahan."

Suasana mendadak hening. Tegang. Seperti tali biola yang ditarik terlalu keras dan siap putus.

"Berani sekali kau berkata begitu!" pekik Larasati. "Aku ini model internasional! Semua media mengenalku sebagai calon istri Aditya! Tidak seperti kau—istri kontrak yang disembunyikan! Gadis kampung!"

Raina tertawa kecil. Suaranya lembut, tapi sinis.

"Setidaknya kami sah. Di mata hukum, dan agama. Aku tak butuh pengakuan media untuk tahu siapa aku bagi suamiku."

Ia lalu mengambil selembar tisu dari atas meja. Menuangkan sedikit kopi ke atasnya, lalu mengelap bagian meja yang kotor secara perlahan. Setelah selesai, ia menggenggam tisu kotor itu dan menatap Larasati dengan tenang.

"Siapa pun kamu di masa lalu suamiku, itu tidak penting. Karena sekarang, akulah istrinya. Dan tempatmu—" ia menunjukkan tisu kotor di tangannya, "—ada di sini."

Dengan gerakan elegan, Raina melempar tisu itu ke tempat sampah.

Hening. Larasati terdiam. Matanya melebar, harga dirinya runtuh sedikit demi sedikit. Sementara Aditya hanya menatap penuh bangga pada Raina.

Satu hal telah berubah hari itu: Raina tak lagi menjadi gadis desa yang diam. Ia telah menjadi Ratu, di istana yang dulu hanya dimiliki Larasati dalam mimpi.

Dan Larasati… tak bisa menerima kenyataan bahwa ia hanya masa lalu.

“Hm? Oh ya?” Larasati terkekeh pelan, tetapi getir. Suaranya meninggi, bukan karena panik—melainkan karena gengsi yang mulai retak. “Tidakkah kau terlalu tinggi memuji dirimu sendiri?” ucapnya tajam. Tatapannya menghunjam, menolak kalah dari perempuan yang baginya tak sebanding.

Gadis kampung itu, pikir Larasati, kini berdiri seolah-olah ia pemenang. Padahal, dalam benaknya, tak ada satu pun hal yang bisa dibandingkan. Kecantikan, kelas, latar belakang, status sosial—semua dimenangkan olehnya. Larasati. Bukan Raina.

Dengan penuh percaya diri, ia menatap Aditya. Matanya berkilat.

“Tanyakan padanya… apakah ia benar-benar mencintaimu,” ucapnya pelan namun mematikan. “Aku ingin mendengarnya langsung.”

Kemudian ia melangkah lebih dekat. Suaranya makin lirih, seperti menyimpan kenangan yang hendak dilemparkan ke wajah Raina. “Dan satu hal yang perlu kau ketahui. Kami bersama bukan sehari dua hari. Hubungan kami dimulai sejak kami duduk di bangku SMA. Kami berpisah bukan karena pertengkaran, bukan karena kehadiran orang ketiga. Tapi karena keadaan. Dan kau tahu apa yang paling menyakitkan? Karena hati ini belum pernah benar-benar pergi darinya.”

Seketika, dunia Raina seakan berhenti sejenak. Pandangannya meremang. Ada gejolak yang bergetar di dalam dadanya. Tangannya ikut bergetar, namun ia genggam kuat-kuat roknya, menyembunyikan segala ketidak tenangan dari wajahnya.

Tak ada yang boleh tahu bahwa hatinya baru saja dihantam ombak masa lalu suaminya sendiri.

Namun ia tak menunduk.

“Kau kalah telak, hingga perlu mengungkit masa lalu untuk menjatuhkan masa kini,” ucap Raina pelan namun penuh sindiran. Ia menatap Aditya, untuk pertama kalinya tanpa senyum, hanya mata yang bertanya dan hati yang ingin tahu kebenaran. “Kalau begitu, mengapa tidak kau tanyakan sendiri kepadanya? Aku juga ingin tahu jawabannya…”

Aditya bangkit perlahan dari kursinya. Wajahnya dingin. Namun langkahnya mantap saat ia mendekati Raina, lalu merangkulnya erat, seolah ingin melindunginya dari serangan yang datang tak hanya dari luar, tapi juga dari bayang-bayang masa lalu.

“Sudah pernah aku katakan,” suara Aditya rendah, tetapi tegas, “di antara kita—aku dan kamu, Larasati—semuanya sudah terlambat. Masa lalu tidak bisa berjalan berdampingan dengan masa depan.”

Ia menoleh pada Raina, dan kali ini, tatapannya tidak menghindar.

“Sekarang, hanya ada aku, istriku, dan calon anakku. Itu yang terpenting. Bukan yang sudah berlalu.”

Larasati tertawa sinis, menutupi kekecewaan yang mulai merambat ke matanya. Namun Aditya belum selesai.

“Kau menyebut dirimu model internasional, dan aku tidak menyangkal itu,” katanya, menatap ke atas, ke arah langit-langit ruangan yang tampak polos—namun menyimpan mata-mata digital kecil di tiap sudutnya. “Tapi kau lupa… bahwa setiap inci ruangan ini berada di bawah pengawasan kamera CCTV.”

Seketika Larasati menegang.

“Jika rekaman tadi tersebar, jika publik tahu siapa sebenarnya wanita yang mendatangi CEO dengan pakaian menantang dan menyerang istrinya secara verbal—apa yang akan terjadi dengan kariermu?” Aditya menatap tajam. “Bagaimana dunia memandangmu? Seorang pencipta opini palsu? Seorang perebut yang tak tahu malu? Atau—pelakor?”

Larasati menggigit bibir bawahnya. Ia tak pernah menyangka, Aditya akan membelanya, tetapi lebih dari itu… ia tak pernah menyangka, Aditya akan menghancurkannya dengan cara yang sehalus namun setajam itu.

Kepalanya tertunduk. Bukan karena sadar, tetapi karena malu. Amarah yang mendidih di dadanya kini berubah menjadi luka yang tak bisa disembunyikan lagi.

Dengan air mata yang menetes diam-diam, Larasati berbalik dan melangkah keluar dari ruangan. Punggungnya lurus, tetapi wajahnya merah padam. Ia telah dipermalukan. Bukan hanya oleh Aditya, tetapi oleh perempuan yang sebelumnya ia pandang sebelah mata.

Dan di dalam hatinya, satu sumpah telah terpatri:

“Aku akan membalas ini. Aku bersumpah… kalian akan menyesal.”

Pintu tertutup.

Aditya hanya menghela napas. Sementara Raina setelah kepergian Larasati, Ia merubah sikapnya dengan kembali dingin. wajahnya di tekuk, dan memilih duduk di sofa.

Aditya justru tersenyum kecil, Raina cemburu, dia paham itu.

1
☠⏤͟͟͞R𝕸y💞𒈒⃟ʟʙᴄHIAT🙏
suamimu mulai jth cnt raina
Asma Salsabila: Terimakasih sudah mau mampir di karya receh saya, jangan lupa tinggalkan Like, comen& vote yah 🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!