Gavin Narendra, CEO muda yang memiliki segalanya, menghancurkan pernikahannya sendiri dengan perselingkuhan yang tak terkendali. Larasati Renjana, istrinya yang setia, memilih untuk membalas dendam dengan cara yang sama. Dalam pusaran perselingkuhan balas dendam, air mata, dan penyesalan yang datang terlambat, mereka semua akan belajar bahwa beberapa luka tak akan pernah sembuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dri Andri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kemarahan Gavin
# BAB 13: Kemarahan Gavin
Larasati pulang jam lima sore dengan senyum yang masih menempel di wajah—sisa dari makan siang bersama Reza di restoran Jepang kecil di Menteng. Mereka ngobrol tentang rencana Reza untuk buka cabang perusahaan di Jakarta, tentang Abimanyu yang makin pintar, tentang hal-hal ringan yang membuat Larasati merasa normal. Mereka tidak menyentuh topik tentang malam Jumat kemarin—tentang apa yang terjadi di apartemen Reza, tentang garis yang mereka lewati bersama.
Tapi ada kehangatan baru di antara mereka. Sentuhan tangan yang lebih lama saat berpisah. Tatapan yang lebih dalam. Janji untuk bertemu lagi besok.
Larasati parkir mobilnya di garasi, ambil tasnya, dan masuk ke rumah dengan langkah ringan. Dia berencana akan masak sesuatu yang enak untuk Abimanyu—mungkin ayam goreng kesukaannya—lalu menghabiskan sore bermain board game bersama.
Tapi begitu dia masuk ke ruang tamu, suasana berubah.
Gavin berdiri di tengah ruangan—bukan duduk santai seperti biasanya, tapi berdiri dengan postur yang kaku, tangan mengepal di samping tubuh, wajah yang... marah. Sangat marah.
Larasati berhenti di ambang pintu, refleks waspada langsung menyala. "Gavin? Kamu kenapa? Kok pulang cepat—"
"Apa hubunganmu dengan Reza?" potong Gavin, suaranya keras—lebih keras dari yang pernah dia pakai pada Larasati selama delapan tahun pernikahan mereka.
Jantung Larasati berdetak lebih cepat. Tapi wajahnya tetap tenang—bertahun-tahun berpura-pura telah melatihnya untuk tidak menunjukkan emosi dengan mudah.
"Teman lama. Kenapa?" jawabnya dengan nada datar, meletakkan tasnya di sofa terdekat.
"Teman lama?" Gavin melangkah mendekat, matanya menyipit dengan kemarahan yang barely terkendali. "Cuma teman lama? Kamu pikir aku bodoh, Lara?!"
"Aku tidak pikir kamu bodoh. Aku cuma jawab pertanyaanmu." Larasati menjaga jarak, tidak mundur tapi juga tidak mendekat. "Ada apa sebenarnya?"
"Jangan pura-pura innocent!" Gavin menunjuk ke arahnya dengan jari yang gemetar—entah karena marah atau karena emosi lain yang dia sendiri tidak mengerti. "Aku tahu kamu selingkuh! Kamu selingkuh sama Reza, kan?!"
Kata "selingkuh" keluar dari mulut Gavin dengan begitu mudah, begitu penuh tuduhan—seolah dia bukan pria yang melakukan hal yang sama, bahkan lebih buruk, selama berbulan-bulan.
Sesuatu di dalam dada Larasati meledak.
Dia tertawa—tertawa yang tidak ada humor di dalamnya, hanya kepahitan yang sudah terlalu lama tertahan. Suara tawanya bergema di ruang tamu yang terlalu besar, terdengar asing bahkan di telinganya sendiri.
"Selingkuh?" ulang Larasati, air mata mulai menggenang di matanya—tapi bukan air mata kesedihan. Ini air mata amarah yang sudah bertahun-tahun diredam, yang akhirnya menemukan jalan keluar. "Kamu yang tanya aku selingkuh? Kamu?"
Gavin terdiam sebentar, tapi egonya terlalu besar untuk mundur. "Iya, aku yang tanya! Kamu istriku! Kamu tidak boleh—"
"AKU TIDAK BOLEH APA?" Larasati berteriak—untuk pertama kalinya dalam delapan tahun pernikahan, suaranya meledak dengan volume yang membuat Gavin tersentak mundur. "AKU TIDAK BOLEH BAHAGIA? AKU TIDAK BOLEH MERASA DIHARGAI? AKU TIDAK BOLEH DICINTAI OLEH ORANG YANG BENAR-BENAR PEDULI?"
"Lara, kamu—"
"JANGAN POTONG AKU!" Larasati melangkah maju sekarang, jarak di antara mereka menyusut dengan setiap langkah. Air matanya mengalir deras di pipi, tapi wajahnya keras—wajah perempuan yang sudah tidak punya apa-apa lagi untuk hilang. "Delapan tahun, Gavin. DELAPAN TAHUN aku jadi istri yang sempurna buatmu. Aku tinggalkan karirku. Aku tinggalkan impianku. Aku habiskan setiap hari memastikan hidupmu nyaman, anakmu terawat, rumahmu rapi. Aku tidak pernah complain saat kamu pulang larut. Aku tidak pernah tanya saat kamu bau parfum asing. Aku DIAM dan PERCAYA karena aku pikir kamu suamiku yang setia!"
Gavin membuka mulut untuk membela diri, tapi Larasati tidak memberinya kesempatan.
"Tapi ternyata apa?" Suara Larasati pecah di tengah kalimat, tapi dia paksa untuk terus bicara. "Ternyata kamu selingkuh dengan Kiran! Berbulan-bulan—MUNGKIN BERTAHUN-TAHUN—kamu bohong di mukaku setiap hari! Kamu bilang meeting, ternyata kencan sama dia! Kamu bilang perjalanan bisnis, ternyata liburan romantis sama dia! Kamu tidur di ranjangku setelah tidur di ranjang dia, dan kamu masih bisa tersenyum di mukaku seolah tidak ada yang salah!"
Wajah Gavin berubah dari merah karena marah menjadi pucat—pucat seperti orang yang baru melihat hantu. Mulutnya terbuka tapi tidak ada suara yang keluar.
"Kamu pikir aku bodoh?" lanjut Larasati, suaranya turun jadi lebih rendah tapi lebih berbahaya. "Kamu pikir aku tidak tahu? Aku tahu tentang email-emailmu dengan Kiran. Aku tahu tentang foto-foto kalian di Bali yang kamu bilang Surabaya. Aku tahu tentang apartemen di SCBD di mana kalian menghabiskan malam bersama. Aku bahkan tahu tentang RENCANA kotormu untuk label aku 'tidak stabil secara mental' supaya kamu bisa ambil Abi dan ninggalin aku dengan tidak ada apa-apa!"
Setiap fakta yang Larasati sebutkan membuat Gavin terlihat lebih kecil, lebih terperangkap.
"Lara... aku bisa jelaskan—" suaranya lemah sekarang, defensif.
"JELASKAN APA?" Larasati melangkah lebih dekat lagi, sampai mereka hanya berjarak sejengkal. Dia tatap mata Gavin—mata yang dulu dia cintai, yang sekarang hanya menunjukkan kepanikan dan rasa bersalah. "Jelaskan gimana kamu bilang 'aku cinta kamu, bukan dia' ke Kiran? Jelaskan gimana kamu planning untuk cerai dariku sambil tetap tidur denganku supaya aku tidak curiga? Jelaskan gimana kamu mau ambil anakku—ANAK KITA—dengan cara yang kotor dan manipulatif?"
Gavin tidak bisa menjawab. Wajahnya hancur—kombinasi dari shock karena ketahuan dan realisasi bahwa dia underestimate istrinya selama ini.
"IMAN KAMU KEMANA, GAVIN?!" teriak Larasati, suaranya bergema di seluruh rumah. "KAMU YANG SELINGKUH SAMA KIRAN, JANGAN BALIK NUDUH AKU! Kamu berdoa tidak? Kamu sholat tidak? Kamu ingat tidak saat kita nikah, kamu janji di depan Allah untuk jaga aku, cintai aku, setia sama aku sampai maut memisahkan kita? ATAU SEMUA ITU CUMA KATA-KATA KOSONG BUATMU?"
Kata-kata tentang iman, tentang janji pernikahan, menghantam Gavin seperti tamparan fisik. Dia mundur selangkah, tangan naik seolah mau protect dirinya dari serangan verbal yang tidak berhenti.
"Aku... Lara, dengar—"
"TIDAK!" Larasati menggeleng keras, air mata terus mengalir tapi suaranya tidak goyah. "Aku sudah dengar cukup banyak kebohonganmu. Sekarang kamu yang dengar. Ya, aku bertemu Reza. Ya, dia memberikan aku perhatian yang kamu tidak berikan. Ya, dia membuat aku merasa berharga, merasa cantik, merasa HIDUP lagi setelah berbulan-bulan aku merasa seperti hantu di rumahku sendiri!"
Gavin menatapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca—tapi Larasati tidak peduli lagi. Tidak peduli dengan air mata manipulatif, dengan penyesalan yang terlambat.
"Kamu mau tahu bedanya antara aku dan kamu?" lanjut Larasati, suaranya lebih tenang sekarang tapi tidak kalah tajam. "Aku tidak selingkuh sampai aku tahu pernikahanku sudah mati. Aku tidak selingkuh sambil masih bilang 'aku cinta kamu' ke suamiku. Aku tidak planning untuk menghancurkan hidupmu secara sistematis. Aku hanya... aku hanya mencoba untuk tidak tenggelam dalam kesedihan yang kamu ciptakan."
"Jadi kamu AKUI kamu selingkuh?" Gavin mencoba mengambil moral high ground—usaha terakhir yang putus asa dan konyol.
Larasati tatap dia dengan tatapan yang dingin, yang membuat Gavin tidak bisa menatap balik.
"Kamu tidak berhak menghakimiku," kata Larasati dengan suara yang final. "Kamu kehilangan hak itu saat kamu tidur dengan Kiran untuk pertama kalinya. Saat kamu pilih dia di atas aku. Saat kamu putuskan untuk menghancurkan keluarga ini."
Gavin membuka mulut—mungkin mau membela diri lagi, mungkin mau minta maaf—tapi tidak ada yang keluar. Karena dia tahu. Deep down, dia tahu Larasati benar.
"Aku mau kamu keluar dari rumah ini," kata Larasati tiba-tiba, suaranya keras dan jelas. "Sekarang. Ambil barang-barangmu dan pergi. Aku tidak peduli kamu mau ke mana—mungkin ke apartemen Kiran yang selama ini jadi sarang kalian. Tapi kamu tidak tidur di rumah ini malam ini."
"Lara, ini rumah aku juga—"
"KELUAR!" teriak Larasati, menunjuk ke pintu dengan tangan yang gemetar. "KELUAR SEBELUM AKU PANGGIL SECURITY UNTUK USIR KAMU!"
Gavin terdiam, melihat wajah istrinya yang dia tidak kenal lagi. Bukan istri yang lembut dan patuh. Tapi perempuan yang marah, yang terluka terlalu dalam, yang akhirnya fight back.
Dengan gerakan lambat—seperti orang yang kalah dalam pertempuran—Gavin berjalan ke tangga, naik untuk ambil beberapa barang. Larasati berdiri di tempat yang sama, tidak bergerak, air mata masih mengalir tapi wajahnya keras seperti batu.
Sepuluh menit kemudian, Gavin turun dengan tas ransel dan koper kecil. Dia berhenti di depan Larasati, membuka mulut seolah mau bilang sesuatu.
"Jangan," kata Larasati sebelum Gavin bisa bicara. "Jangan bilang apa-apa. Tidak ada yang bisa kamu bilang sekarang yang akan mengubah apa pun."
Gavin mengangguk pelan—anggukan kalah—lalu berjalan ke pintu. Tangannya di gagang pintu saat dia berbalik sekali lagi.
"Aku... aku minta maaf," bisiknya, dan untuk pertama kalinya terdengar genuine. "Aku tidak bermaksud untuk... aku tidak mau ini terjadi."
"Tapi ini SUDAH terjadi," balas Larasati. "Dan maaf tidak bisa undo bertahun-tahun pengkhianatan. Maaf tidak bisa kembalikan apa yang kamu hancurkan. Jadi simpan maafmu. Aku tidak butuh itu lagi."
Gavin membuka pintu dan keluar—keluar dari rumah yang pernah jadi istana ilusinya, dari pernikahan yang dia hancurkan sendiri, dari kehidupan yang dia pikir bisa dia kontrol selamanya.
Pintu tertutup dengan bunyi yang keras.
Dan Larasati runtuh.
Dia jatuh berlutut di lantai ruang tamu, tangan menutupi wajah, isakan pecah keluar dengan intensitas yang membuat tubuhnya bergetar. Semua yang dia tahan—semua amarah, semua kesedihan, semua pengkhianatan—akhirnya keluar dalam tangisan yang tidak terkendali.
Tapi di tengah tangisan itu, ada sesuatu yang lain. Lega. Lega karena akhirnya dia bilang semuanya. Akhirnya dia tidak diam lagi. Akhirnya dia fight back.
Tidak ada lagi berpura-pura. Tidak ada lagi senyum palsu. Tidak ada lagi istri yang patuh dan buta.
Perang sudah dimulai dengan terbuka sekarang.
Dan Larasati, untuk pertama kalinya, merasa seperti dia punya kesempatan untuk menang.
---
**Bersambung k