NovelToon NovelToon
Runaways Of The Heart

Runaways Of The Heart

Status: sedang berlangsung
Genre:Identitas Tersembunyi / CEO / Percintaan Konglomerat / Cinta pada Pandangan Pertama / Mafia / Cintapertama
Popularitas:166
Nilai: 5
Nama Author: Dana Brekker

Darren Myles Aksantara dan Tinasha Putri Viena sama-sama kabur dari hidup yang menyesakkan. Mereka tidak mencari siapa pun, apalagi cinta. Tapi pada malam itu, Viena salah masuk mobil dan tanpa sengaja masuk ke lingkaran gelap keluarga Darren. Sejak saat itu, hidupnya ikut terseret. Keluarga Aksantara mulai memburu Viena untuk menutupi urusan masa lalu yang bahkan tidak ia pahami.

Darren yang sudah muak dengan aturan keluarganya menolak membiarkan Viena jadi korban berikutnya. Ia memilih melawan darah dagingnya sendiri. Sampai dua pelarian itu akhirnya bertahan di bawah atap yang sama, dan di sana, rasa takut berubah menjadi sesuatu yang ingin mereka jaga selamanya.

Darren, pemuda keras kepala yang menolak hidup dari uang keluarga mafianya.

Viena, gadis cantik yang sengaja tampil culun untuk menyembunyikan trauma masa lalu.

Genre : Romansa Gelap

Written by : Dana Brekker

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dana Brekker, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ch 17

Viena tiba sedikit lebih pagi dari jam kerja yang telah disepakati. Kunci cadangan studio yang Darren serahkan kemarin terasa ringan dalam genggaman, namun atmosfir di balik pintu sudah kelewat berat seperti ruang ujian. Mau bagaimana lagi, dia tahu hari ini tidak akan seperti kemarin, terlebih karena tidak hadirnya Sita di dekatnya. Bilamana Viena dipaksa untuk berkata jujur, sudah pasti dia belum bisa memaafkan perbuatan sahabatnya itu. ‘Darren itu gak mesum, cuma misterius aja, sedikit?’

Beberapa orang jelas akan ia temui pagi ini seperti yang Darren katakan lewat telepon. Itu juga sudah Viena ketahui setelah tahu pintu depan studio tidak terkunci.

Begitu pintu utama dibuka, keras dentuman bass dan suara berat perbincangan dua laki-laki dari ruang tengah menyambutnya. Mereka sudah datang lebih awal dan suasana kala itu sudah kelewat ramai.

Arvendra duduk di kursi meja kontrol, membuka bungkusan roti cokelat keju. Yunho bersandar di sofa panjang sambil menggulir ponsel, bibirnya terus mengoceh semua yang ada di kepalanya seperti tanggul jebol. Sementara di atas meja, dua gelas kopi masih beruap hangat-hangatnya. Aroma capucino sachet bercampur bekas abu rokok yang jelas-jelas sudah dibakar sebelum AC menyala. Viena familiar dengan aroma ini walaupun dirinya tidak pernah suka.

“Eh, pagi,” Arven duluan yang melambai antusias. “Bos belum dateng. Masuk aja dulu.”

“Pagi.”

Punggung Viena terasa berat saat masuk. Entah karena dia merasakan tatapan dari dua orang di depannya atau karena dia yang trauma terhadap tatapan laki-laki asing atau malah karena dia sudah lama tidak berinteraksi dengan orang-orang seperti mereka? Yang jelas secara ajaib ruangan AC terasa gerah pagi itu.

Yunho menurunkan kacamata hitamnya. “Lu yang kemarin itu ya?” ujarnya tanpa basa-basi. “Asisten bos kita yang… ehem.”

“Yang apa?” sergap Arven, menoleh tajam ke temanya sambil menggigit roti.

Sementara Viena hanya bisa berdiri di sana sambil menampilkan senyuman yang ketara sekali dibuat-buat. “Aku pegawai baru di sini, Kak,” papar gadis itu. “Kemarin Selasa hari pertamaku di sini.”

“Kami sudah tahu, kok.” Arvendra mendekat dengan telapak tangan kanan terbuka. “Kenalin, aku Arven.”

“Viena.” Membalas uluran tangan laki-laki itu.

Senyuman Arven memang yang paling ramah dibanding si kacamata. “Itu yang di sana namanya Yunho,” seloroh laki-laki itu sambil menggedikkan dagu ke rekannya. Yunho keliatan nyengir kuda di sofa. “Santai aja, dia gak jahat kok, cuma dungu aja.”

Viena sedikit membungkuk, tersenyum ke arah laki-laki bertato itu. Yunho membalas dengan mengangkat tipis tangan kanannya.

“Duduk dulu kalau mau. Darren biasanya dateng bentar lagi,” rujuknya sambil mengisyaratkan Viena untuk duduk satu sofa dengan Yunho.

Karena lelah berdiri, Viena mengiyakan tawaran Arven.

“Hmm… .” Yunho mengangkat dagu malas, masih bersandar. “Jadi lu pacarnya Darren, ya?”

Pertanyaan itu membuat napas Viena mandek dadakan.

Senyumnya menegang. “Aku pegawai baru, Kak” ulangnya, lebih kaku dari yang pertama. Harusnya dia jawab “iya” saja, toh Darren dan dirinya memang sudah setuju dengan kontrak mereka. Namun hal yang ditakutinya benar-benar keluar di kala dirinya baru memulai sedikit obrolan. Sejatinya Viena memang tak pandai berpura-pura, persis seperti yang Darren bilang. Kini gadis itu harus menahan semua serangan sampai Darren datang.

“Yunho itu emang mulutnya kampak. Suka nebak-nebak,” celetuk Arven. “Jangan diambil hati.”

“Gue cuma bilang fakta yang udah kedengeran satu Jakarta,” Yunho membela diri.

“Santai aja. Di sini kerja kita cuma latihan, take, edit, pulang. Viena gak perlu merasa diinterogasi atau semacamnya.”

Viena hanya mengangguk sambil menaruh tas. Meski Arven berusaha menenangkan, fakta bahwa Darren belum hadir membuatnya seperti berdiri sendiri tanpa perisai. Geram hati rasanya ingin menimpuk si sultan beralis tebal itu dengan piring. Katanya dia bakal nempelin 24 jam?

Arven menyandarkan siku di meja kontrol. “Darren bilang kamu bakal bantu-bantu di sini awal-awal. Maksudnya bantu administrasi sekaligus jaga kerapian studio, kan?”

“Iya, Kak” jawab Viena, merapikan cardigannya dengan canggung. “Untuk sementara aku bersih-bersih juga sampai pekerjaannya jelas.”

“Bagus itu,” cetus Arven. “Studio ini butuh tangan lain. Kita kalau udah masuk mode kerja, gak ada yang inget karpet kotor atau kabel numpuk kayak ular. Malas banget aku kalau udah masalah kabel.”

“Emang tugas cewek banget,” Yunho menimpali tanpa mengangkat kepala.

“Tugas siapa aja yang mau ngerjain. Jangan bikin gender jadi alasan, tolol,” tukas Arven sambil melempar bungkusan roti yang telah dia remas sampai membentuk bola tenis ke arah rekannya. Tepat di kepala!

Yunho malah cengengesan, tak merasa bersalah sama sekali.

Arven kembali ke Viena. “Intinya, kamu nggak jadi babu. Darren yang minta kamu bantu karena dia tahu sendiri ritme di sini kacau. Jadi jangan sungkan, atur yang kamu bisa atur, dan gak perlu panggil kita ‘Kak’.”

Viena mengangguk lagi. “Baik. Aku… mulai bersih-bersih dulu kalau gitu.” Canggung rasanya berdiam diri sambil menunggu Darren, lebih baik dia menyibukkan diri.

“Langsung aja. Alat kebersihan ada di pantry sebelah kulkas,” ujar Arven tanpa menghalangi.

Lekas-lekas Viena berdiri, meraih tasnya lalu melangkah ke arah lorong.

Baru juga menemukan kulkas. Keluar satu lagi laki-laki berbadan paling tegap dan berisi dari yang lain, rambut klimis, kaos putih berselimut bomber hitam. Namanya Bima, dia mengisi posisi drummer di Midnight Alter. Wajahnya paling dewasa karena memang paling tua, tatapannya tajam seperti orang yang lebih dulu menilai sebelum bicara. Aura bijaksana terumbar keluar tanpa permisi.

“Ini yang namanya Viena?”

Viena mengangguk sekali. “Iya, Kak-Ehm… .”

Bima tak membalas, hanya menutup pintu booth kembali. “Arvendra, masuk. Kita cek sound lagi!”

Mendengar itu Viena langsung saja ke pantry walaupun dia gak bisa bohong kalau dirinya kaget setelah orang itu menaikkan nada tiba-tiba. Apakah orang-orang di sini memang seaneh itu? Beruntung ada Arvendra yang masih bisa dibilang waras.

Viena sudah lebih dari setengah jam menyapu lorong dan mengepel sebagian lantai. Pakaiannya mulai terasa panas karena gerak terus, tapi itu lebih baik daripada mati jadi target obrolan mereka. Sementara dari balik salah satu pintu, suara latihan band sesekali terdengar. Begitu ramai seperti suara bass, metronom digital untuk mengatur tempo, sampai vokal Arven yang melengking stabil di tiap nada tinggi.

Saat gadis itu lewat di depan pintu mereka, Arven sempat membuka sedikit daun pintu untuk keluar. Dari celah itu Viena melihat bagaimana mereka bekerja. Semuanya profesional, termasuk Yunho.

Gerakan mereka seperti sudah hafal tubuh masing-masing, tidak ada ocehan, tidak ada debat, hanya musik yang begitu keren.

Setelah selesai merapikan sapu, kain pel, dan cairan pembersih ke tempat semula, Viena menutup lemari pantry. Hingga tepat saat ia berbalik, pintu toilet yang berada di sudut lorong terbuka.

“Oh, udah beres? Gila, cepet amat,” ujar Arven setengah kagum.

“Aku baru bersihin sebagian.”

Arven menyandarkan punggungnya ke dinding. “Kamu ngintip latihan tadi ya?”

“Sedikit… ,” Viena menggigit sedikit bibirnya di sela senyuman, malu lantaran ketahuan. “Kalian keliatan profesional.”

Arven terkekeh. “Kami memang hidup di tempat ini. Kalau jelek, ntar bisa mampus sama Darren.”

Viena mengangguk, lalu hening. Dia yang bakal bunuh Darren karena cowok itu tak kunjung datang. Walaupun jelas dia tahu Darren juga memiliki kesibukannya sendiri.

“Eh,” Arven tiba-tiba mengedikkan dagu, “mau masuk bentar? Maksudku, lihat kami latihan?”

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!