NovelToon NovelToon
KAMAR TERLARANG

KAMAR TERLARANG

Status: tamat
Genre:Kutukan / Misteri / Horor / Rumahhantu / Iblis / Tamat
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Aryan, pemuda berusia 25 tahun, baru saja mendapatkan pekerjaan impiannya sebagai salah satu staf di sebuah hotel mewah, tempat yang seharusnya penuh dengan kemewahan dan pelayanan prima. Namun, di balik fasad megah hotel tanpa nama ini, tersembunyi sebuah rahasia kelam.
​Sejak hari pertamanya, Aryan mulai merasakan keanehan. Tatapan dingin dari staf senior, bisikan aneh di koridor sepi, dan yang paling mencolok: Kamar Terlarang. Semua staf diperingatkan untuk tidak pernah mendekati, apalagi memasuki kamar misterius itu.
​Rasa penasaran Aryan semakin membesar ketika ia mulai melihat sekilas sosok hantu lokal yang dikenal, Kuntilanak bergaun merah, sering muncul di sekitar sayap kamar terlarang. Sosok itu bukan hanya menampakkan diri, tetapi juga mencoba berkomunikasi, seolah meminta pertolongan atau memberikan peringatan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

HOTEL MALAM KELAM

Matahari sudah terbenam. Setelah perjalanan panjang dan mendebarkan dari desa terpencil di Bogor, Bima mengemudikan mobilnya kembali menuju The Grand Elegance Residency. Mereka bertiga—Aryan, Rima, dan Dina—diliputi oleh campuran kelelahan, ketegangan, dan kepastian baru: Bu Indah telah berbohong. Anggun bukanlah pelacur, melainkan tunangan Beni yang hilang 25 tahun lalu.

​Malam itu, mereka memutuskan untuk kembali ke hotel sekali lagi. Mereka harus mengambil risiko untuk mencari Beni, mantan suami Bu Indah, dan mencari bukti fisik di Kamar 5, karena mereka yakin buku harian dan kotak itu tidak cukup untuk menjerat Bu Indah di mata hukum.

​Mobil Bima diparkir di tempat tersembunyi yang sama seperti malam sebelumnya, jauh dari pandangan utama dan CCTV. Mereka turun, mengenakan pakaian gelap dan hoodie.

​"Kita harus lebih cepat kali ini," bisik Aryan, mengepalkan buku harian Anggun di balik jaketnya. "Mereka tahu kita sedang bergerak, apalagi setelah insiden truk di tol tadi."

​Saat mereka bersiap untuk menyelinap ke pintu servis, Bima tiba-tiba merasa tidak nyaman.

​"Kalian masuk saja duluan," kata Bima, memegangi perutnya. "Aku harus kencing sebentar. Perjalanan jauh, air minum banyak. Nanti aku menyusul, tunggu saja di lorong servis."

​Aryan mengangguk. Mereka tidak punya waktu untuk berdebat. "Oke, cepat, Bim. Ingat, jangan sampai ketahuan."

​Aryan, Rima, dan Dina segera berjalan menuju pintu belakang hotel.

​Sementara itu, Bima berjalan sedikit menjauh, menuju area semak-semak dan pohon rindang yang dianggapnya aman dan tersembunyi. Ia mulai melonggarkan celana dan bersiap untuk buang air kecil, pandangannya sibuk mengamati sekeliling.

​Saat Bima sedang buang air kecil, ia mendengar suara langkah kaki yang sangat pelan mendekat dari belakang semak-semak.

​Bima terkejut. Ia tidak menyangka ada orang di area tersembunyi itu.

​"Aaaaaa! Eeeeh! Mbak! Mbak! Jangan ngintip!" teriak Bima spontan, merasa sangat malu dan kaget setengah mati.

​Tiba-tiba, muncul dua sosok wanita dari balik pepohonan.

​Kedua wanita itu juga sama terkejutnya. Mereka berdua segera menutup mata dan memalingkan wajah dengan ekspresi malu dan kaget.

​"Astaga! Maaf, Mas! Kami enggak tahu ada orang di sini! Kami minta maaf!" seru salah satu wanita itu dengan suara bernada tinggi.

​Bima segera menyelesaikan urusannya dan membetulkan pakaiannya. Ia merasa sangat canggung.

​"Sudah! Sudah selesai," kata Bima, berusaha mengatur napas dan rasa malunya.

​Kedua wanita itu akhirnya membuka mata. Mereka berdua mengenakan pakaian kasual, tidak seperti seragam hotel, dan salah satu dari mereka membawa tas tangan besar. Wajah mereka terlihat tenang dan bersahabat, namun ada aura kehati-hatian yang samar.

​Wanita pertama, yang memiliki wajah tegas dan berwibawa, berbicara dengan nada ramah. "Maafkan kami, Mas. Kami benar-benar tidak lihat. Tapi, Mas... tidak boleh parkir di sini. Ini area terlarang hotel. Kami sedang patroli, memastikan area servis aman."

​Bima, yang teralihkan oleh rasa malu dan keramahan mereka, segera menjawab. "Oh, iya, maaf, Mbak. Saya tahu. Cuma sebentar kok. Enggak lama. Saya lagi nungguin teman. Kami ada urusan di dalam."

​Wanita itu tersenyum tipis. "Teman? Memangnya teman Mas ke mana?"

​"Ke dalam hotel. Katanya mau... mau ketemu sama atasannya," jawab Bima, berusaha terdengar biasa saja, tanpa menyadari betapa blunder jawabannya itu. Ia hanya ingin segera pergi dari situasi memalukan ini.

​Wanita pertama itu kembali tersenyum ramah, namun senyum itu tidak mencapai matanya. "Oh, begitu. Baiklah, kami permisi dulu, Mas. Hati-hati ya. Dan tolong, pindahkan mobilnya nanti."

​"Iya, iya, Mbak. Maaf lagi ya," kata Bima.

​Kedua wanita itu kemudian berbalik dan berjalan menjauh, meninggalkan Bima.

​Bima menghela napas, mengutuk nasibnya karena kencing di saat yang tidak tepat. Ia bergegas menuju pintu servis, di mana ia berjanji bertemu Aryan dan Rima.

​Di sisi lain, saat Bima sedang terlibat dalam interaksi canggung yang memalukan itu, Aryan, Rima, dan Dina berhasil menyelinap masuk dan menunggu di lorong servis.

​Bima tiba, terengah-engah.

​"Ya ampun, kenapa lama sekali? Aku dengar kamu teriak?" tanya Aryan.

​"Sialan! Aku lagi kencing, tiba-tiba ada dua cewek muncul. Malu banget aku! Aku teriak, 'Jangan ngintip!'" Bima bercerita dengan nada kesal.

​"Terus?" tanya Rima.

​"Mereka minta maaf, terus mereka bilang mereka lagi patroli, dan mereka tanya kenapa mobilku parkir di situ. Aku bilang nungguin teman yang ketemu atasan di dalam," jelas Bima.

​Aryan, Rima, dan Dina saling pandang. Ada kilatan horor di mata mereka.

​"Bim..." bisik Dina, wajahnya pucat. "Kamu bilang mereka berdua? Wajahnya seperti apa?"

​Bima mencoba mengingat detail. "Yang satu agak tinggi, rambutnya panjang, wajahnya dingin tapi dia ramah. Yang satu lagi agak pendek, lebih berwibawa, dan dia yang banyak tanya-tanya."

​Aryan mengambil napas tajam. Ia merasakan adrenalin ketakutan mengalir deras di tubuhnya.

​"Itu Nyonya Lia dan Bu Indah, Bim," bisik Aryan, suaranya dipenuhi kengerian. "Nyonya Lia yang rambutnya panjang. Bu Indah yang lebih pendek dan berwibawa. Mereka tidak pakai seragam hotel dan pura-pura patroli? Itu semua penyamaran!"

​Rima menutup mulutnya. "Mereka melihat kita datang. Mereka menunggu di luar. Mereka tahu kita akan kembali ke Lantai Tujuh, dan mereka sedang mengawasi! Mereka tahu kita sedang menyelidiki!"

​Dina gemetar. "Mereka tahu kita tidak sendirian. Mereka tahu kamu, Bim, adalah kaki tangan kita, dan kamu bilang kita sedang 'ketemu atasan' di dalam. Mereka tahu kita sedang mencari bukti!"

​Bima terdiam, menyadari betapa fatalnya kesalahan dan kegegabahan itu. Rasa malunya mendadak lenyap, digantikan oleh rasa takut yang luar biasa. Ia tidak menyadari sama sekali bahwa dua wanita yang ia caci maki karena mengintipnya kencing adalah dua wanita paling berbahaya di hotel itu, yang kini tahu persis apa yang mereka rencanakan.

​"Kita tidak punya waktu," putus Aryan. "Mereka akan segera kembali ke dalam. Kita harus bergegas ke Lantai Tujuh sekarang juga sebelum mereka mengunci semua akses dan membersihkan Kamar 5 dari bukti terakhir."

​Dengan rasa takut yang berlipat ganda dan waktu yang sangat sempit, mereka bertiga—Aryan, Rima, dan Dina—melanjutkan penyusupan, meninggalkan Bima yang kini menjaga pintu servis, diliputi rasa ngeri karena interaksi yang tidak disengaja itu.

Setelah kepanikan yang ditimbulkan oleh Bima yang secara tidak sengaja berinteraksi dengan Nyonya Lia dan Bu Indah, Aryan, Rima, dan Dina bergerak sangat cepat. Mereka tahu, waktu adalah musuh utama mereka. Setiap detik yang terbuang berarti kesempatan bagi kedua wanita itu untuk mengamankan rahasia mereka lebih jauh.

​"Kita harus ke kantor mereka dulu," bisik Aryan, memimpin jalan di koridor servis yang remang-remang. "Kalau mereka benar-benar baru kembali dari luar, mereka mungkin sedang menuju kantor untuk mengaktifkan sistem keamanan atau menghapus rekaman CCTV."

​Mereka bergerak cepat menuju area administrasi di lantai mezzanine. Mereka menyelinap melewati front desk yang sepi, tempat biasanya Nyonya Lia bertugas, dan menuju kantor mewah Bu Indah.

​Aryan mencoba membuka pintu kantor Bu Indah. Terkunci.

​Dina segera mencoba keterampilan membukanya. Setelah beberapa saat, pintu itu terbuka dengan bunyi klik yang sangat pelan.

​Mereka menyelinap masuk. Kantor itu kosong. Tidak ada seorang pun di sana.

​Aryan segera menyalakan senter ke meja kerja Bu Indah dan Nyonya Lia. Tidak ada laptop yang menyala, tidak ada dokumen penting yang terbuka. Segalanya tampak rapi dan tidak tersentuh, seolah-olah mereka tidak pernah ada di sana.

​"Mereka tidak di sini," bisik Rima. "Mereka pasti sudah kabur atau menyembunyikan diri di suatu tempat, mungkin langsung menuju Lantai Tujuh."

​"Mereka sudah tahu kita akan ke sana," kata Dina. "Mereka akan mengamankan buktinya."

​Misi mereka di kantor Bu Indah gagal. Mereka tidak menemukan bukti baru, dan yang lebih penting, mereka kehilangan jejak kedua wanita berbahaya itu. Mereka kembali keluar dari kantor, mengunci pintu seperti semula, dan kembali ke tangga darurat.

​Tujuan mereka berikutnya sudah pasti: Lantai Tujuh.

​Mereka bergerak menaiki tangga dengan kecepatan penuh. Jantung mereka berdebar kencang, tidak hanya karena upaya fisik, tetapi juga karena antisipasi.

​Setibanya di Lantai Tujuh, mereka mendorong pintu besi yang sudah tidak digembok. Lorong itu gelap gulita, lebih gelap daripada malam sebelumnya.

​Aryan menyalakan senter, memindai lorong. Sunyi. Garis polisi yang dipasang Komisaris Hardiman masih membentang, tidak ada tanda-tanda kerusakan baru. Tidak ada Nyonya Lia, tidak ada Bu Indah.

​Mereka melompat melewati garis polisi dan menuju Kamar 5. Pintu kamar itu terbuka sedikit, mereka menduga itu perbuatan Anggun saat kerasukan Rima semalam.

​Mereka memasuki Kamar 5. Kamar itu terasa dingin, kosong, dan tidak ramah. Mereka segera duduk di lantai, menyatukan kepala, dan mulai berpikir ulang.

​"Mereka tidak ada di sini," kata Dina, suaranya sedikit kecewa. "Mereka pasti sudah kabur setelah Bima memberitahu bahwa kita ada di sini."

​"Mustahil Bu Indah akan kabur begitu saja," balas Aryan, melihat sekeliling. "Dia akan membersihkan buktinya dulu. Dia pasti sudah mengambil apa pun yang tersisa. Kita harus cari lagi. Kita harus cari tahu apa yang ada di balik dinding geser yang ditunjukkan Anggun."

​Mereka berfokus pada area di mana lemari geser berada. Mereka mendorong lemari itu, dan lagi-lagi, ia bergeser, memperlihatkan ubin lantai yang Anggun tunjukkan.

​Rima segera mencungkil ubin itu, tempat kotak kayu itu diambil. Ruang rahasia itu kosong.

​"Lihat! Mereka tahu!" seru Rima. "Mereka tahu kita mengambil kotak itu, dan mereka memeriksa apakah ada yang tersisa di sini!"

​Keputusasaan mulai menyelimuti mereka. Semua petunjuk penting—buku harian, cincin, dan foto—sudah mereka ambil, tetapi Kamar 5 kini menjadi steril total, dibersihkan oleh Anggun dan diperiksa oleh Bu Indah.

​Saat mereka sedang duduk, merasa kelelahan dan putus asa, mencari celah di lantai, hal yang tidak terduga terjadi.

​TIBA-TIBA, LAMPU NEON DI ATAS KEPALA MEREKA MENYALA.

​Bukan hanya lampu di Kamar 5, tetapi semua lampu di lorong Lantai Tujuh, yang seharusnya mati total dan tidak terhubung karena shutdown hotel. Cahaya putih terang itu tiba-tiba membanjiri lorong yang gelap, menciptakan bayangan tajam yang menari-nari.

​Aryan, Rima, dan Dina tersentak kaget. Mereka segera melompat berdiri, mata mereka memindai setiap sudut. Mereka tidak mendengar suara saklar, tidak ada suara mesin atau generator yang menyala.

​"Siapa itu?" bisik Dina, panik. "Bu Indah? Lia? Mereka mau jebak kita?"

​"Tidak mungkin," Aryan menggeleng. "Lampu ini sudah rusak. Ini... ini dia!"

​Hanya ada satu kesimpulan. Kehadiran mereka di Kamar 5, tempat tinggal abadi Anggun, telah memicu reaksi. Anggun tahu mereka kembali.

​Mereka menahan napas, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Suara pelan, seperti bisikan jauh, mulai terdengar di koridor.

​Dan sama mendadaknya lampu itu menyala, LAMPU ITU KEMBALI MATI TOTAL.

​Kegelapan pekat kembali menyelimuti mereka, sunyi, namun kini terasa jauh lebih mengancam. Lampu itu menyala dan mati hanya dalam hitungan detik, cukup untuk membuat mereka yakin bahwa mereka tidak sendirian.

​Aryan segera menyalakan senternya lagi. Ia melihat Rima dan Dina, wajah mereka pucat di bawah cahaya senter.

​"Dia ada di sini," bisik Rima. "Anggun ada di sini, dan dia berkomunikasi dengan kita."

​Mereka tahu, mereka tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Kehadiran Anggun, atau pengawasan tersembunyi Bu Indah, membuat Lantai Tujuh terlalu berbahaya. Mereka harus keluar dan fokus pada petunjuk yang sudah mereka miliki: cincin, buku harian, dan alamat desa.

1
Nur Bahagia
harus nya lapor ke polisi.. bukan malah mendatangi nyonya lia dan indah
Nur Bahagia
Bima mencurigakan.. jangan2 dia tau tentang rahasia hotel itu🤔
Nur Bahagia
dan mencari masalah 😏
Nur Bahagia
jangan kepoo.. Nanti celaka kamu
Nur Bahagia
proses recruitment rahasia.. mencurigakan
Nur Bahagia
kenapa nunggu nya harus di trotoar.. ga manusiawi bangat 🤨
Nur Bahagia
padahal malah lebih nikmat lho kalo makan langsung dari bungkus nya 🤭
Nur Bahagia
aplikasi apaan kak Thor? 🤔
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!