"Sella jatuh hati pada seorang pria yang tampak royal dan memesona. Namun, seiring berjalannya waktu, ia menyadari bahwa kekayaan pria itu hanyalah kepalsuan. Andra, pria yang pernah dicintainya, ternyata tidak memiliki apa-apa selain penampilan. Dan yang lebih menyakitkan, dia yang akhirnya dibuang oleh Andra. Tapi, hidup Sella tidak berakhir di situ. Kemudian dirinya bertemu dengan Edo, seorang pria yang tidak hanya tampan dan baik hati, tapi juga memiliki kekayaan. Apakah Sella bisa move on dari luka hatinya dan menemukan cinta sejati dengan Edo?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon manda80, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jauhkan Tanganmu Dari Dia!
Ledakan keras pistol mengisi ruangan sempit itu, diikuti bukan oleh jeritan Sella, melainkan suara ledakan dahsyat dari pintu utama di lantai atas. Ledakan itu begitu kuat hingga beton di atas gudang bergetar, dan pecahan puing-puing berjatuhan seperti hujan debu, mencerai-beraikan fokus Hartono tepat saat peluru dilepaskan.
Peluru itu menyerempet dinding di samping kepala Sella, menyisakan bau mesiu dan serpihan beton yang menggores pipinya. Hartono, terkejut oleh serangan mendadak itu, segera mencari perlindungan. Anak buahnya yang masih di ruangan itu panik, sebagian mencoba melawan, sebagian lain berlari menuju lorong gelap.
Namun, sudah terlambat.
Pintu besi di lantai atas hancur total. Suara langkah sepatu bot militer yang terkoordinasi segera mengisi lorong menuju bawah tanah. Hanya dalam hitungan detik, enam sosok berpakaian serba hitam dengan senjata serbu lengkap menyergap masuk ke dalam gudang.
“CEO di depan mata! Jaga Sandera!” teriak salah satu pemimpin tim, suaranya diubah oleh masker komunikasi, terdengar robotik dan kejam.
Perkelahian itu berlangsung brutal dan cepat. Tim Edo, ternyata adalah tim keamanan elit perusahaan yang telah dilatih secara khusus, bergerak dengan efisiensi mematikan. Anak buah Hartono, yang hanya bersenjatakan pistol, langsung tumbang. Udara dipenuhi oleh suara tembakan yang diredam, rintihan kesakitan, dan perintah yang tajam.
Hartono, yang sempat bersembunyi di balik tumpukan kotak kayu, melirik ke arah Sella. Ia menyadari Sella masih terikat, dan ini adalah satu-satunya kesempatan terakhirnya. Ia berlari ke arah Sella.
“Jauhkan tanganmu dari dia!” raung Edo, mencoba melepaskan ikatan tangannya yang sudah melukai pergelangannya hingga berdarah. Ia tahu dirinya tidak akan mampu mencapai Sella tepat waktu.
Hartono mencengkeram bahu Sella dan menodongkan pistolnya tepat ke pelipis wanita itu.
“Mundur! Mundur sekarang, atau aku akan mengakhiri wanita jalang ini!” ancam Hartono kepada tim penyelamat.
Tim yang menyerbu langsung berhenti bergerak. Mereka melingkari Hartono, senjata mereka teracung, tetapi mereka menunggu perintah.
Sosok pria tegap dan dingin yang memimpin operasi, bernama Bara, melangkah maju. Matanya hanya fokus pada Hartono.
“Tuan Hartono, lepaskan sandera,” kata Bara dengan nada datar, seperti sedang membicarakan cuaca. “Ini sudah berakhir. Kau tidak punya jalan keluar. Semua pintu telah kami tutup. Lorong di belakangmu akan segera diserbu oleh Kepolisian.”
Hartono tertawa pahit, suaranya memantul di gudang. “Kepolisian? Aku sudah punya kesepakatan, Bara! Perusahaan itu seharusnya milikku! Kau lihat sendiri, CEO kalian rela menyerahkan segalanya demi wanita murahan ini!”
“Berhenti bicara omong kosong!” sela Edo, nadanya dipenuhi penghinaan. “Lepaskan dia, atau aku bersumpah, Hartono, aku akan memastikan sisa hidupmu adalah neraka.”
“Kau tidak dalam posisi untuk mengancamku, Edo!” Hartono memaksakan Sella untuk berdiri, borgolnya menggesek kursi logam. Sella hanya bisa diam, memejamkan mata, fokus pada suara napasnya yang tercekat. Ia bisa merasakan ujung pistol Hartono yang dingin di kulitnya.
Bara memberi isyarat tangan kepada anak buahnya untuk bersiap.
“Oke, Tuan Hartono,” kata Bara. “Kami akan mengizinkanmu pergi. Tapi lepaskan Nona Sella sekarang.”
Hartono memajukan langkah. “Aku akan membawanya bersamaku sebagai jaminan sampai aku keluar dari properti ini. Aku tidak bodoh, Bara.”
Edo menggeleng keras. “Tidak. Aku tidak mengizinkannya, Hartono! Aku akan membiarkanmu hidup jika kau melepaskannya, aku janji! Setelah itu, terserah padamu!”
“Sayangnya, CEO-mu terlalu polos, Nona Sella. Ia tidak tahu bahwa dalam dunia bisnis, janji hanyalah selembar kertas tisu toilet,” ejek Hartono, lalu menekan pistol itu lebih keras ke kepala Sella.
Tepat pada saat itu, Bara mengambil risiko. Dengan kecepatan yang luar biasa, Bara melepaskan tembakan. Bukan ke arah Hartono, melainkan ke arah pergelangan tangan Hartono yang memegang pistol.
Hartono menjerit kesakitan. Pistolnya terlepas dan terlempar ke lantai. Sebelum ia sempat bereaksi, Sella dengan insting melindungi dirinya sendiri, menjatuhkan diri, menarik Hartono ikut terjatuh bersamanya. Namun, karena terikat, ia hanya berguling sebentar.
Hartono segera ditahan oleh tim penyelamat. Ia melawan dengan keras, tetapi tidak ada artinya. Tubuhnya yang gemuk diseret, wajahnya dipenuhi kemarahan dan kekalahan yang luar biasa.
“Kau tidak akan selamat, Edo! Ingat ini baik-baik! Permainan belum berakhir!” raung Hartono, suaranya menghilang seiring ia diseret ke luar dari gudang.
Begitu Hartono hilang, gudang yang tadinya tegang kini dipenuhi oleh kelegaan. Sella masih terbaring di lantai, tubuhnya bergetar. Bara segera berlari ke arah Edo, dibantu oleh dua rekannya, membebaskan sang CEO terlebih dahulu.
“Bara! Sialan, syukurlah kalian datang!” seru Edo, segera memeluk Bara singkat sebelum matanya mencari Sella. “Cepat, bebaskan Sella!”
“Ya, Tuan Edo,” jawab Bara. Ia membebaskan borgol Sella dengan pemotong khusus. Sella langsung melompat ke pelukan Edo. Luka tembak dan lebam di wajah Edo tidak berarti apa-apa saat itu; yang penting mereka selamat.
“Aku takut sekali, Edo. Aku kira kita akan mati,” bisik Sella, menenggelamkan wajahnya di dada Edo.
“Tidak, Sayang. Tidak akan pernah,” jawab Edo, mengecup puncak kepala Sella, merasa dunia kembali normal setelah kepanikan itu. Ia menoleh ke Bara. “Apa kau membawa Tim Medis? Dan di mana? Tunggu. Aku ingat sesuatu.”
Edo menunjuk ke salah satu anak buah Hartono yang tergeletak. “Cek saku celananya! Flashdisk itu, dia pasti yang membawa flashdiskku!”
Bara memerintahkan salah satu rekannya. Pengawal itu menggeledah tubuh sang preman, tetapi ia menggeleng. “Kosong, Tuan. Hanya dompet dan kunci mobil.”
Wajah Edo menegang. Seluruh serangan ini, hampir mengorbankan nyawa dan kekaisarannya, terjadi karena sebuah data rahasia bernilai tinggi. Dan sekarang data itu tidak ada.
“Mustahil,” desis Edo, memegangi bahu kirinya yang sakit. Ia mengingat perbincangan Hartono sebelum ia datang. “Hartono bilang kuncinya dibawa lari oleh monyet kecilku, Andra.”
Sella, yang mendengarnya, menoleh cepat. “Andra? Bagaimana Andra bisa terlibat? Bukankah dia sudah hilang dari peredaran?”
Bara menunduk, melaporkan dengan nada hati-hati. “Tuan Edo, saat kami melakukan pelacakan terhadap sinyal ponsel Anda, kami menangkap sinyal serupa dari mobil Andra. Dia tampaknya berada di properti ini dua jam sebelum kami datang. Tim kami sempat kehilangan jejaknya.”
Edo menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam. Bukan Hartono yang menjadi masalah terbesarnya. Musuh lamanya, yang ia pikir sudah berakhir, kini kembali.
“Sialan! Andra mencuri kuncinya saat kekacauan terjadi,” gumam Edo. Ia menatap Sella dengan sorot mata serius. “Kita harus segera keluar dari sini, Sayang. Hartono hanyalah boneka. Masalah sebenarnya sekarang adalah, kenapa Andra, si mokondo itu, bisa tahu persis kapan waktu yang tepat untuk mencuri data itu? Siapa yang membocorkan rencanaku padanya?”
Tiba-tiba, pandangan Edo jatuh ke pergelangan tangan Sella yang berdarah karena bekas borgol. Sella buru-buru menyembunyikannya.
“Ayo, kita keluar dulu. Aku butuh dijahit, dan kamu perlu dokter. Jangan pikirkan itu dulu,” pinta Sella, memaksakan senyum.
Edo mengangguk. Bara memerintahkan tim untuk mengangkat Edo. Saat mereka mulai berjalan menuju tangga darurat, sebuah suara teriakan lemah terdengar dari belakang.
Itu adalah suara Hartono yang telah ditarik naik. “Edo! Dengarkan aku! Dia tidak sebersih yang kau kira! Dia adalah pengkhianat di balik semuanya! Wanita di sisimu itu yang menghubungi Andra!”
Teriakan itu merambat ke telinga Sella. Kaki Sella mendadak terasa lumpuh, terhenti di anak tangga. Edo juga terkejut. Meskipun ia tidak percaya sedikit pun, kata-kata Hartono sudah terucap dan melukai Sella. Namun, sebelum Edo sempat menenangkan Sella, ia merasakan lantai di bawah kakinya bergetar hebat. Lebih kuat dari gedoran truk, lebih kuat dari ledakan pintu.
“Apa lagi ini, Bara?” tanya Edo cemas.
Bara mengeluarkan perangkat radarnya. Matanya membulat ngeri. “Tuan! Kami menerima notifikasi darurat. Area ini akan runtuh dalam lima menit! Mereka sudah memasang bom penghancur properti!”
“APA?!” teriak Edo, panik. Ia memegang tangan Sella. “Kita harus cepat keluar dari sini sekarang!”
Edo berusaha berlari bersama Sella, tetapi ia lupa betapa parah luka tembaknya. Ia terhuyung dan terjatuh ke lantai. Sella mencoba menariknya, tetapi tubuhnya sendiri lemas karena syok.
“Sial, kakiku… kakiku terasa mati rasa,” bisik Edo, wajahnya memucat, pandangannya mulai kabur.
Sella menatap tangga curam ke atas, lalu menatap Edo yang tergeletak tak berdaya di kakinya. Di atas, mereka hanya memiliki beberapa menit sebelum seluruh gudang itu ambruk dan mengubur mereka hidup-hidup. Dia harus memilih. Apakah dia meninggalkan Edo dan menyelamatkan diri? Atau dia harus mengorbankan diri demi pria yang mempertaruhkan kekaisarannya untuknya?
Saat Sella hendak menarik Edo dengan kekuatan penuh, ia merasakan ponsel Edo, yang diserahkan oleh Bara, bergetar di saku kemejanya. Sebuah pesan masuk, dengan pengirim anonim.
Sella membuka ponsel itu dengan tangan gemetar. Hanya ada satu kalimat.
‘Cepat keluar. Cari di balik tumpukan abu. Rahasia besarmu ada di sana.’
Pesan dari siapa? Dan rahasia apa?