Dasha Graves, seorang ibu tunggal yang tinggal di Italia, berjuang membesarkan dua anak kembarnya, Leo dan Lea. Setelah hidup sederhana bekerja di kafe sahabatnya, Levi, Dasha memutuskan kembali ke Roma untuk mencari pekerjaan demi masa depan anak-anaknya. Tanpa disangka, ia diterima di perusahaan besar dan atasannya adalah Issa Sheffield, ayah biologis dari anak-anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Melon Milk, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5
Alarm Dasha berbunyi pukul 5.30 pagi. Ia bangun, keluar kamar, dan mulai menyiapkan sarapan di dapur yang masih gelap. Sera tampaknya masih terlelap.
Satu hari berlalu, tapi Dasha sudah merindukan anak-anaknya. Ia berniat menelepon mereka sekitar pukul tujuh, saat mereka mungkin sudah bangun.
Begitu ia selesai memasak, pintu kamar Sera terbuka.
"Wah! Kamu masak sarapan untuk kita? Manis banget kamu, Dasha."
"Bangun lebih pagi aja, Sera. Ayo, makan sebelum dingin," jawabnya sambil tersenyum.
Mereka makan sambil bercanda ringan. Sera menawarkan diri untuk mencuci piring agar Dasha bisa mandi duluan. Setelah rapi, Dasha menelpon anak-anaknya.
**
"Selamat pagi, Mima!" suara Lea terdengar mengantuk.
"Selamat pagi, sayang. Baru bangun ya?"
"Iya, Mima. Kak Leo nggak bangunin aku," gumamnya.
Dasha mendengar suara ibunya, Luna, memanggil di belakang, "Ayo sarapan, Lea."
"Kita bicara lagi nanti saat makan siang, ya, sayang? Sampaikan salamku untuk Kak Leo."
"Baik, Mima. I love you!"
"I love you too." Panggilan berakhir, dan Dasha menahan napas sejenak. Rasa rindu itu menikam lagi.
Sera muncul dari dapur sambil mengeringkan tangan. "Itu anakmu? Maaf, nggak sengaja kedengar."
"Iya. Aku punya dua anak," jawab Dasha lembut.
"Serius? Nggak kelihatan loh! Aku yakin anakmu pasti secantik ibunya."
"Sera, kamu bisa aja," Dasha terkekeh.
**
Mereka naik bus kecil yang lewat di depan kompleks. Lokasinya memang strategis tak jauh dari Mall, pasar lokal, dan gedung Sheffield Corporation di pusat Roma.
Di perjalanan, Dasha menceritakan bahwa ia seorang ibu tunggal dengan anak kembar berusia lima tahun: Leo dan Lea.
Sera justru memujinya. "Berarti dia yang rugi, melepaskan perempuan sehebat kamu," katanya sambil tersenyum.
Dasha hanya tersenyum pahit.
**
Begitu bus berhenti di depan gedung tinggi Sheffield Corporation, Sera berkata, "Lantai 11 aku, kamu di 30. Nanti pas makan siang, kirim WhatsApp aja ya. Jangan sampai ketahuan main HP di jam kerja, bisa-bisa kena badai bos besar." Ia terkekeh pelan sebelum keluar dari lift di lantai 11.
Dasha menelan ludah ketika lift terus naik, hanya tersisa dirinya.
Ayo, Dasha. Demi anak-anakmu.
Ia mengecek jam tangan. Masih pukul 7.48 pagi, belum terlambat.
**
Begitu pintu lift terbuka di lantai 30, seorang wanita menyambutnya dengan senyum ramah.
"Hai! Aku Mila, panggil saja Ala. Ayo, aku tunjukkan mejamu. Tadi Issa bilang aku harus menemanimu dan menjelaskan beberapa hal."
Issa. Nama itu menggema di pikirannya. Tapi Dasha mencoba bersikap tenang.
Ala menjelaskan tugas-tugasnya, posisi meja, dan hal-hal penting lainnya.
"Sepertinya kamu sudah paham semua, apalagi kamu pernah jadi sekretaris sebelumnya," katanya. "Oh ya, kalau bos butuh sesuatu, dia ngomong lewat interkom. Pemalas keluar ruangan, tahu sendiri." Ala tertawa kecil sebelum pergi.
Dekat sekali mereka, pikir Dasha getir.
Ia baru saja membuka jadwal di mejanya saat interkom berbunyi.
"Buatkan aku kopi hitam," suara berat itu membuat darahnya berhenti mengalir sejenak.
Belum sempat menjawab, pintu ruang CEO terbuka.
"Aku bilang kopi hitam," ujarnya tajam sebelum berbalik lagi.
Dasha berdiri kaku.
Kalau saja aku tahu ini kantornya, aku takkan pernah melamar di sini.
Ia ingat ucapan Sera semalam dan kini semuanya jelas.
Setelah membuat kopi di pantry, ia masuk kedalam ruangan boss nya.
"Siapa yang menyuruhmu masuk?" jawabnya dingin.
Dasha menunduk, menutup pintu lagi, mengetuk ulang, baru mendengar, "Masuk."
Ia menyerahkan cangkir kopi dengan senyum sopan. "Ini kopi hitam Anda, Bos."
"Letakkan. Kamu boleh keluar."
Tanpa menatapnya sedikit pun.
Dasha menarik napas panjang begitu sampai di mejanya. Ia menggigit bibir menahan gemetar.
Karena lelaki itu adalah ayah dari anak-anaknya.
Issa Sheffield.
Ia mencari informasi perusahaan itu di internet. Didirikan lima tahun lalu, berkembang pesat hanya dalam dua tahun terakhir.
Ya, dia memang selalu luar biasa, pikirnya pahit.
Terlalu larut membaca, ia tak sadar ada seseorang berdiri di depannya, sampai mendengar batuk kecil jelas pura-pura.
"Sudah jam dua belas siang," katanya datar.
"Oh... iya, Bos. Mau makan apa?"
"Apa saja."
Dasha menelepon kantin. Petugas di ujung sana terkejut saat tahu makanannya untuk CEO. "Tapi, dia tidak pernah makan makanan dari kantin," katanya.
Dasha menoleh ke arah Issa. "Benarkah, Bos? Katanya Anda tidak makan dari kantin?"
Issa hanya menjawab singkat, "Aku lapar," lalu masuk lagi ke ruangannya.
Lima menit kemudian, makanan datang. Dasha mengetuk, menunggu izin, baru masuk.
"Selamat makan, Bos. Aku makan di bawah dulu ya, nanti kembali sebelum rapat jam satu." ujarnya cepat sebelum ia sempat disemprot lagi.
Di dalam lift menuju kantin, ia sempat melihat bayangan samar seseorang di luar pintu yang nyaris menutup. Tapi ia abaikan.
Yang pasti, perutnya benar-benar lapar.