Malam itu, di sebuah desa terpencil, Alea kehilangan segalanya—kedua orang tuanya meninggal dan dia kini harus hidup sendirian dalam ketakutan. Dalam pelarian dari orang-orang misterius yang mengincarnya, Alea membuat keputusan nekat: menjebak seorang pria asing bernama Faizan dengan tuduhan keji di hadapan warga desa.
Namun tuduhan itu hanyalah awal dari cerita kelam yang akan mengubah hidup mereka berdua.
Faizan, yang awalnya hanya korban fitnah, kini terperangkap dalam misteri rahasia masa lalu Alea, bahkan dari orang-orang yang tak segan menyiksa gadis itu.
Di antara fitnah, pengkhianatan, dan kebenaran yang perlahan terungkap, Faizan harus memutuskan—meninggalkan Alea, atau menyelamatkannya.
Kita simak kisahnya yuk di cerita Novel => Aku Bukan Pelacur.
By: Miss Ra.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Ra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Part 17
Rapat dimulai dengan presentasi dari pihak Nadia. Suaranya tenang, penuh percaya diri, setiap kalimatnya mengalir tanpa ragu. Namun, bagi Faizan, suara itu terdengar seperti gema dari masa lalu—masa ketika mereka sempat merencanakan hidup bersama sebelum semuanya berantakan.
Faizan bersandar di kursinya, wajahnya tetap dingin. Mata tajamnya hanya sesekali menatap layar proyektor, seolah tak terganggu sedikit pun.
Di sampingnya, Fandi melirik, lalu menyenggol lengan Faizan pelan. Bibirnya menyunggingkan senyum penuh arti. “Wah, wah… dunia sempit ya, Bro. Itu bukan Nadia yang dulu…?” bisiknya setengah berbisik, tapi cukup terdengar.
Faizan tak menoleh. “Fokus, Fandi. Ini rapat, bukan tempat gosip,” ujarnya pelan tapi tajam.
Fandi tertawa kecil, menahan diri agar tak mengundang perhatian. “Santai, Bos. Cuma… ya ampun, dia makin cantik aja sekarang. Jangan bilang kau nggak kaget ketemu dia lagi?”
Faizan tetap memandang lurus ke depan. “Aku tidak kaget,” jawabnya singkat, nadanya datar seperti es.
Fandi terkekeh pelan, lalu mengangkat alisnya nakal. “Oh ya? Wajahmu bilang lain, Bro.”
Faizan mengabaikannya. Matanya menatap Nadia yang sedang menjelaskan strategi kerja sama. Perempuan itu tak sekalipun menatap Faizan lama-lama, tapi setiap senyum profesional yang ia lontarkan terasa seperti sengaja dilemparkan ke arahnya.
“Jadi,” suara Nadia sedikit meninggi, memecah lamunannya, “kami berharap kerja sama ini bisa berjalan lancar. Saya yakin dengan tim yang solid, semua target bisa tercapai.”
Faizan mengangguk singkat. “Baik. Kita akan pertimbangkan proposal ini,” suaranya tetap dingin, nyaris tanpa intonasi.
Fandi menutup mulutnya, menahan tawa. Ia bisa merasakan ketegangan yang bahkan tidak disadari oleh sebagian besar orang di ruangan itu. “Bro,” bisiknya sekali lagi, “kalau kau terus bersikap seperti robot begini, Nadia bisa-bisa mengira kau masih sakit hati.”
Faizan melirik Fandi dengan tatapan yang bisa membekukan udara. “Diam, Fandi.”
Namun di balik wajah datarnya, Faizan bisa merasakan sesuatu yang tak ia suka: Nadia memang masih mampu mengguncang ketenangannya, meski ia mati-matian menyangkalnya.
Rapat akhirnya berakhir menjelang siang. Semua peserta mulai membereskan berkas dan laptop mereka. Faizan berdiri tenang, merapikan jasnya tanpa tergesa-gesa. Di wajahnya tak ada ekspresi yang bisa dibaca—dingin, profesional, seperti biasanya.
Namun dari sudut matanya, ia bisa melihat Nadia mendekat, senyumnya tetap sopan tapi matanya menyimpan sesuatu yang tak bisa ditebak.
“Faizan,” sapa Nadia, suaranya lembut tapi terdengar jelas di tengah keramaian. “Boleh kita bicara sebentar? Hanya sebentar saja.”
Fandi yang sejak tadi berdiri di samping Faizan langsung menyeringai lebar, matanya berkilat penuh keusilan. Ia bahkan sempat berbisik lirih, “Waduh… mantan minta waktu empat mata. Seru nih.”
Faizan melirik Fandi dengan tatapan setajam pisau. “Jaga sikapmu.”
Namun Fandi hanya mengangkat kedua tangannya pura-pura tak bersalah, tapi senyum jahilnya tak pernah pudar. “Tenang, Bro. Gue cuma penonton setia.”
Faizan menarik napas pelan, lalu menatap Nadia. “Baik. Di lounge saja,” ucapnya pendek.
Mereka bertiga berjalan menuju lounge kantor. Fandi tentu saja ikut, meski Faizan berkali-kali meliriknya dengan tatapan jangan ikut campur. Tapi Fandi pura-pura sibuk memainkan ponselnya, padahal kupingnya jelas-jelas siap menyimak drama yang bakal terjadi.
Di lounge, Nadia duduk berhadapan dengan Faizan. Senyumnya tetap terjaga, tapi ada ketegangan tipis di antara mereka.
“Sudah lama sekali, ya,” ucap Nadia membuka percakapan. “Aku tidak menyangka bisa bertemu lagi… di situasi seperti ini.”
Faizan bersedekap, wajahnya tetap datar. “Dunia kerja memang sempit.”
Nadia menatapnya beberapa detik, lalu menghela napas kecil. “Kau masih sama seperti dulu… selalu dingin, selalu menjaga jarak.”
Sebelum Faizan sempat menjawab, Fandi yang duduk agak jauh tiba-tiba menyelutuk, “Iya, dia begitu dari dulu. Tapi dalam hati… siapa tahu lumer.”
“Fandi.” Suara Faizan rendah tapi sarat peringatan.
Fandi hanya terkekeh. “Oke, oke. Gue diam. Lanjutkan saja,” katanya pura-pura serius, tapi wajahnya jelas-jelas menahan tawa.
Faizan kembali menatap Nadia. “Apa yang ingin kau bicarakan?” tanyanya, nadanya tetap dingin, seolah tak terpengaruh.
Nadia menautkan jemarinya di atas meja. “Tentang kita. Tentang apa yang dulu belum sempat kita selesaikan.”
Kali ini Faizan benar-benar terdiam. Bahkan Fandi pun mendongak penasaran, matanya berbinar seperti penonton film yang menunggu adegan penting berikutnya.
Nadia menatap Faizan lekat-lekat. Tatapannya tenang, tapi ada getir yang tersimpan di balik senyum profesionalnya. “Kita berpisah tanpa penjelasan yang layak, Faizan. Maaf aku sudah pergi begitu saja….”
Faizan tetap bersedekap, ekspresinya sama sekali tak berubah. “Semua sudah berlalu, Nadia. Tidak ada gunanya mengungkit masa lalu.”
Setelah ucapan terakhirnya, Nadia sempat terdiam, memandangi Faizan yang duduk tegak dengan wajah tanpa ekspresi. Ada sesuatu di matanya—campuran penyesalan dan rasa bersalah yang berusaha ia sembunyikan di balik senyum profesionalnya.
“Nadia,” suara Faizan akhirnya memecah keheningan, “kau sudah dapat penutup yang kau inginkan. Tak perlu menyesali apa pun lagi.”
Nadia tersenyum miris. “Kau salah, Faizan. Aku memang menyesal… bukan karena ucapanmu hari ini, tapi karena semua yang terjadi sejak hari itu.”
Faizan menoleh sekilas, alisnya terangkat sedikit. “Maksudmu?”
Nadia menarik napas panjang, seolah kalimat yang akan ia ucapkan begitu berat. “Setelah kita berpisah… orang tuaku mengenalkanku dengan seseorang. Katanya, dia pasangan yang sempurna. Semua serba ideal. Dan aku… memilih menurut.” Ia berhenti sebentar, bibirnya bergetar samar. “Tapi pernikahan itu… bahkan tidak pernah terjadi.”
Faizan tetap diam, ekspresinya tak berubah.
“Dia membatalkan semuanya seminggu sebelum hari H,” lanjut Nadia lirih, suara getirnya terdengar jelas. “Katanya, dia tidak siap menikah. Aku ditinggalkan begitu saja… di saat semua orang sudah tahu aku akan menikah.”
Fandi yang sejak tadi menyimak diam-diam, memandang Nadia dengan tatapan campuran simpati dan keterkejutan. “Waduh… ini plot twist, Bro,” gumamnya pelan tapi cukup keras untuk membuat Faizan menatapnya tajam.
Nadia tersenyum pahit. “Waktu itu… aku berpikir mungkin ini balasan karena aku meninggalkanmu tanpa bicara baik-baik. Aku terlalu percaya pada pilihan orang tua… dan mengabaikan perasaanku sendiri.”
Untuk sesaat, ruangan itu terasa sunyi. Faizan tidak merespons apa pun. Hanya ketukan jarinya di meja yang terdengar pelan.
Nadia menatapnya lekat-lekat, kali ini tanpa senyum. “Aku tidak datang untuk meminta kesempatan kedua, Faizan. Aku hanya ingin kau tahu… aku menyesal telah meninggalkanmu begitu saja. Dan aku menyesal karena tidak berani memilihmu waktu itu.”
Fandi, tentu saja, tidak tahan untuk tidak berkomentar. Ia menyenggol lengan Faizan pelan. “Bro… kalau gue jadi lo, ini udah kayak adegan klimaks drama Korea. Harusnya lo nanggepin, gitu.”
“Fandi,” suara Faizan terdengar tajam, memotong kalimat usil itu.
Tapi meski wajahnya tetap dingin, di dada Faizan ada sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—campuran antara perasaan lama, luka yang sudah lama ia kubur, dan sesuatu yang mendesak ingin keluar tapi ia paksa diam di tempatnya.
...----------------...
Bersambung...