Leon, pria yang ku cintai selama 7 tahun tega mengkhianati Yola demi sekertaris bernama Erlin, Yola merasa terpukul melihat tingkah laku suamiku, aku merasa betapa jahatnya suamiku padaku, sampai akhirnya ku memilih untuk mengiklaskan pernikahan kita, tetapi suamiku tidak ingin berpisah bagaimana pilihanku.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ScarletWrittes, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 17
Sesampai di kantor, Yola sangat kaget saat melihat ternyata benar Leon yang menjemputnya. Awalnya ia mengira Leon tidak akan menjemputnya, tetapi kenyataannya Leon datang sendiri tanpa sopir.
“Masuklah, tuan putri,” ucap Leon sambil membuka pintu mobil untuk Yola.
Secara teknis, Yola merasa tidak nyaman dengan perlakuan Leon kepadanya. Namun, karena itu suaminya sendiri, ia mencoba membiasakan diri dan menganggap mungkin niat Leon memang baik.
“Oke, makasih,” jawab Yola akhirnya.
Yola pun naik ke dalam mobil Leon, meski tetap tidak merasa nyaman dengan sikapnya. Ia berusaha menghargai Leon agar tidak membuat suaminya sakit hati.
Dalam perjalanan menuju restoran, Leon terus menatap Yola, sementara Yola bersikap biasa saja menghadapi pandangan suaminya.
“Kamu kenapa sih dari tadi ngelihatin aku terus? Muka aku ada yang aneh, ya, sampai kamu ngeliatin begitu?” tanya Yola.
“Nggak ada yang aneh kok. Cuma aku ngerasa, hari ini kamu agak berbeda, ya. Kayak lebih cantik gitu,” jawab Leon.
“Emang menurut kamu, aku nggak cantik sebelumnya? Jadi kamu ngerasa aku biasa aja gitu?”
“Enggak sih. Maksud aku, kamu beda aja. Pas kamu kerja, penampilannya memang berbeda. Aku lebih suka penampilan kamu yang kayak gini dibanding penampilan kamu di rumah.”
Yola hanya diam mendengar perkataan Leon. Rasanya seperti ditolak tanpa sadar. Namun, ia tidak terlalu kecewa karena sudah sering merasa dikecewakan oleh Leon.
“Kamu nggak marah, kan, aku bicara kayak gitu? Aku cuma niatnya jujur aja. Tapi kalau misalkan kamu marah sama aku, ya nggak apa-apa sih. Aku cuma pengen kamu tahu aja dan memberi masukan ke kamu,” jelas Leon.
“Ya, makasih. Masukannya sangat membantu kok. Aku juga senang karena masukannya bisa terpakai. Makasih banget, loh,” jawab Yola singkat.
Leon sadar ucapannya sudah menyakiti hati Yola, tapi ia tidak berhenti sampai di situ saja.
Sesampainya di restoran, Leon tidak membukakan pintu untuk Yola. Namun Yola tidak masalah, karena ia merasa bisa sendiri tanpa bantuan Leon.
Leon hanya diam saja dan tidak berkata apa-apa. Mungkin tanpa sadar, ia sudah menyakiti hati istrinya.
Di restoran, mereka hanya diam. Setelah duduk, Yola lebih memilih memandangi pemandangan dari kaca besar di sana.
“Kamu kenapa terus lihat pemandangan? Apa lihat aku nggak cukup jadi pemandangan indah buat kamu, sayang?” ucap Leon menggoda.
“Yah, pemandangan lebih indah dibanding kamu. Jadi jangan salahkan pemandangan kalau aku lebih milih dia dibanding kamu,” jawab Yola dingin.
Yola merasa lelah dengan sikap Leon yang selalu mengajak ribut, seolah tidak mau disalahkan. Ia mencoba menahan diri agar tidak bertengkar, meski hatinya lelah dengan sifat Leon yang selalu mau menang sendiri.
“Pak, Bu, ini makanannya. Dan ada spesial hari pernikahan untuk Bapak dan Ibu dari restoran kami,” ucap pelayan.
Leon menerima dengan lapang dada, sementara Yola hanya merasa kesal. Namun Leon tetap bersikap seolah tidak ada salah di matanya.
Yola memilih diam. Setelah selesai makan, ia mencoba pulang ke rumah tanpa memperpanjang argumen dengan Leon.
Sesampainya di rumah, Yola langsung masuk ke kamar pribadinya tanpa ditemani Leon. Sementara itu, Leon merasa aneh. Ia bertanya-tanya, apakah Yola marah karena sikapnya yang kurang mengenakkan di restoran?
Leon mencoba mengetuk pintu kamar Yola, tapi tidak ada jawaban. Yola memang membiarkannya. Ia tahu, biasanya jam segini Leon pergi. Jadi ia menunggu waktu yang pas hingga Leon benar-benar keluar agar bisa bebas.
Sepuluh menit kemudian, Yola memberanikan diri keluar kamar. Namun, tiba-tiba ia melihat Leon sedang minum minuman keras.
Yola kaget, lalu menghampiri Leon. Saat melihat Yola, pandangan Leon berubah, dan tiba-tiba ia menarik Yola ke dalam pelukannya.
Yola tidak menyangka Leon akan melakukan hal itu.
“Kamu marah sama aku karena aku kasar hari ini? Emang apa kekasaran aku yang bikin kamu marah? Kan kamu bisa jelasin. Apa benar kata-kata aku yang salah?” tanya Leon.
Yola enggan menjawab. Ia merasa berbicara lebih lama dengan Leon hanya akan membuang waktu bersama pria yang tidak pernah menganggap dirinya ada.
Namun, Leon tetap tidak melepaskan pelukan. Ia justru merasa sikap Yola yang berani menolak membuatnya senang, seakan ingin terus mengganggunya.
“Sayang, kamu kenapa sih masih nggak mau jujur sama aku? Kalau marah, ya marah aja. Aku kasih kamu kesempatan kok. Daripada diam, aku jadi nggak tahu apa isi hati kamu. Benar nggak kata aku? Apa aku salah?”
Mendengar rayuan Leon, Yola semakin jijik. Ia akhirnya melepaskan pelukannya.
“Loh, kamu mau ke mana?” tanya Leon.
“Yah, ke kamar lah. Mau ambil minum sama ciki. Bye. Lagian, kamu ngapain di sini sampai malam? Biasanya pergi. Kenapa sekarang nggak ada acara, makanya nggak pergi? Benar begitu?” balas Yola ketus.
Leon hanya tersenyum. Yola pun pergi, dan dalam hatinya menganggap Leon seperti orang gila yang terus tersenyum padanya.
Sesampai di kamar, Yola menghela napas panjang. Ia merasa hubungannya dengan Leon seperti pasangan baru. Entah kenapa, sikap berani Leon terkadang membuatnya berharap banyak pada sisi dingin suaminya itu.
Tok, tok, tok.
Terdengar suara ketukan pintu kamar Yola. Ia kaget. Ternyata Leon. Padahal biasanya Leon tidak pernah bersikap seperti ini.
“Kamu mau ngapain sih sebenarnya? Aku bingung sama maunya kamu apa,” tanya Yola.
“Aku cuma mau bersama kamu aja. Apa itu aneh?”
“Gak aneh, tapi aku merasa risih lihat sikap kamu sendiri. Sampai aku bingung harus gimana ke kamu.”
“Ya, nggak usah ngapa-ngapain. Emang kamu mau ngapain? Aku juga nggak pernah harap kamu ngapain,” jawab Leon santai.
Yola merasa enggan berkata banyak. Baginya, sikap Leon aneh. Ia pun bingung harus berbuat apa, karena hasrat terhadap Leon sudah hilang.
Namun Leon mencoba mendekapnya erat, berharap sekali saja Yola bisa melihatnya sebagai orang penting dalam hidup, bukan sekadar orang lewat.
Keesokan paginya, di meja makan, mereka terlihat asing. Seperti orang yang tidak saling kenal. Namun tetap, sopan santun masih terjaga.
Leon ingin menyapa, tapi Yola jelas tidak mengharapkan itu. Baginya, lebih baik cepat pergi daripada harus bertemu dengan Leon yang tidak jelas.
Leon merasakan ada hal yang aneh dengan Yola, tetapi ia tidak bisa mengatakannya. Yola pun merasa mungkin ada kesalahan dari dirinya sendiri, meski kadang kesalahan itu juga datang dari Leon.
Setelah dalam perjalanan ke kantor, Yola merasa tidak enak kepada Leon. Bagaimanapun juga, Leon adalah suaminya dan tidak seharusnya Yola bersikap demikian. Namun, mungkin saja dengan sikap itu akan memperjelas bagaimana hubungan mereka ke depannya.
Setelah itu, Yola langsung menuju kantornya. Sesampainya di sana, ia kaget dan tidak menyangka ada seseorang yang datang sepagi itu. Siapa lagi kalau bukan…