Setelah dua tahun menikah, Laras tidak juga dicintai Erik. Apapun dia lakukan untuk mendapatkan cinta suaminya tapi semua sia-sia. Laras mulai lelah, cinta Erik hanya untuk Diana. Hatinya semakin sakit, saat melihat suaminya bermesraan dengan Dewi, sahabat yang telah dia tolong.
Pengkhianatan itu membuat hatinya hancur, ditambah hinaan ibu mertuanya yang menuduhnya mandul. Laras tidak lagi bersikap manja, dia mulai merencanakan pembalasan. Semua berjalan dengan baik, sikap dinginnya mulai menarik perhatian Erik tapi ketika Diana kembali, Erik kembali menghancurkan hatinya.
Saat itu juga, dia mulai merencanakan perceraian yang Elegan, dibantu oleh Briant, pria yang diam-diam mencintainya. Akankah rencananya berhasil sedangkan Erik tidak mau menceraikannya karena sudah ada perasaan dihatinya untuk Laras?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Reni Juli, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Hanya Penasaran
Restoran itu bernuansa klasik, dengan lampu gantung kristal yang memantulkan cahaya keemasan di setiap meja. Musik piano mengalun lembut, menambah suasana eksklusif. Laras melangkah masuk dengan anggun, mengenakan gaun sederhana namun elegan berwarna hitam. Para tamu seakan menoleh sejenak, lalu kembali ke dunia mereka masing-masing.
Tempat bertemu berubah. Briant menghubunginya secara tiba-tiba dan mengatakan mereka akan membahas proposal itu sambil makan siang.
Laras tidak mungkin menolak, dia menyetujui meski rasanya canggung.
Di salah satu sudut ruangan, Briant Nugraha sudah menunggunya. Pria itu tampak tenang, mengenakan setelan jas abu yang rapi. Matanya yang tajam menyapu sosok Laras begitu ia mendekat.
“Bu Laras.” Briant berdiri, menjabat tangannya dengan hangat. “Senang dapat bertemu denganmu di luar kantor. Silakan duduk.”
“Terima kasih, Pak Nugraha. Maaf membuatmu lama menunggu.” Laras duduk dengan sikap profesional, meletakkan tasnya ke samping.
"Aku harap, pembahasan kita membuahkan hasil."
"Itu sudah pasti. Pesanlah sesuatu terlebih dahulu, kita bisa berbincang sambil menikmati makanan atau minuman."
"Pak Nugraha terlalu baik, aku jadi tidak enak hati."
"Tidak perlu berbicara seperti itu, hubungan yang baik akan membuat bisnis ini berjalan dengan baik pula."
"Anda benar," Laras mengambil buku menu yang diberikan oleh Briant.
Seorang pelayan menghampiri mereka untuk mencatat pesanan. Laras Tidak enak hati memesan terlalu banyak. Dia hanya memesan segelas minuman tapi Briant memesan begitu banyak makanan yang dapat mereka nikmati setelah membahas bisnis.
Setelah pelayanan pergi, mereka membicarakan bisnis—tentang revisi proposal, strategi untuk mendekati investor, dan peluang kerja sama baru. Laras menjelaskan dengan mantap, sesekali mencatat, memperlihatkan keseriusan seorang wanita yang terbiasa berada di garis depan.
Namun, di sela pembahasan, Briant bersandar ke kursinya. Tatapannya tak lagi sekadar rekan bisnis, ada sesuatu yang lebih personal di sana.
“Anda selalu terlihat begitu fokus, Bu Laras,” ujarnya pelan. “Saya kagum. Tidak banyak wanita yang mampu menjaga profesionalitas sekaligus tetap anggun.”
Laras tersenyum tipis, berusaha mengabaikan nada berbeda dalam kalimat itu. “Terima kasih, Pak Nugraha. Kau terlalu memuji, tapi aku memang selalu serius saat bekerja..”
“Memang” Briant mengangguk. Lalu, dengan nada seolah santai, ia menambahkan, “Tapi tidak banyak yang seperti Anda, Apalagi dengan status Anda sebagai istri Pak Erik Wijaya, tidak semua istri seorang direktur mau melibatkan diri dengan pekerjaan apalagi harus mendatangi klien."
"Yang dikatakan Pak Nugraha memang benar. Tapi aku tidak suka berada di rumah aku lebih suka bekerja apalagi dibayar."
"Oh, apa pernikahan tidak menyenangkan?"
Pertanyaan itu terdengar seperti gurauan, tapi sorot matanya jelas, ia sedang menguji, dan mencari celah.
Laras menatapnya sejenak. Wajahnya tetap tenang, meski hatinya bergejolak. Ia tahu, Briant pasti tahu pernikahannya yang seperti sebuah lelucon. Tidak pernah dicintai selama bertahun-tahun, siapapun pasti akan menertawakan dirinya.
"Tidak juga, Pak Nugraha,” jawabnya diplomatis. “Saya kira setiap rumah tangga punya ujiannya masing-masing. Tergantung bagaimana menyelesaikan masalah dan aku rasa pernikahan yang dilandasi dengan cinta akan lebih menyenangkan.”
"Jadi Bu Laras menikah tanpa cinta?"
"Tidak, tidak juga!" Laras menyelipkan rambutnya. Supaya pria itu tidak melihat kebohongannya, "Apa Pak Nugraha hendak menikah?"
"Mungkin, kalau sudah menemukan yang cocok."
"Oh, semoga saja segera menemukan yang cocok."
"Terima kasih," Briant tersenyum tipis, “Tapi, menurut saya, seorang wanita seperti Anda… pantas mendapatkan kebahagiaan yang lebih dari sekadar ‘ujian’.”
Laras menegakkan punggungnya, sorot matanya tegas. “Saya datang untuk membicarakan proposal, Pak Briant. Bukan untuk mendiskusikan rumah tangga saya.”
Pria itu terkekeh kecil, tidak terlihat tersinggung. “Baiklah, Saya hanya penasaran. Tapi percayalah, saya menghormati Anda. Dan mengenai proposal ini…” ia menepuk map di meja, “Saya yakin kita bisa membuatnya jauh lebih baik. Saya akan membantu.”
“Terima kasih.” Laras mengangguk, tetap menjaga wibawanya.
Meski begitu, ia tidak bisa mengabaikan tatapan Briant yang tak pernah lepas darinya sepanjang percakapan. Tatapan yang bukan sekadar rekan bisnis, melainkan seorang pria yang sedang menimbang peluang lain di luar kontrak kerja sama.
Laras merasa tidak nyaman. Sebaiknya dia berhati-hati. Jangan sampai di balik bantuan itu, Briant Nugraha menyimpan niat yang tidak sepenuhnya murni. Dia tidak boleh menghancurkan nama baiknya, dan memberikan peluang pada Erik serta ibunya.
Dia berusaha mengabaikan tatapan pria itu, dan berkonsentrasi dengan proposalnya. Tapi semakin lama semakin terasa tidak nyaman.
"Hm... Tuan Nugraha, apakah ini tidak berlebihan?" Tanya Laras saat pelayan mulai menghidangkan makanan yang dipesan oleh Briant.
"Tidak. Sebaiknya kita makan terlebih dahulu, barulah kita melanjutkannya."
"Aku benar-benar tidak enak hati. Dan sepertinya aku harus membalas kebaikanmu ini."
"Seperti makan malam, misalnya?" Sahut Briant.
"Makan malam?" Laras menatap pria itu.
"Yeah, aku akan sangat senang jika Bu Laras mau mengundangku makan malam," Briant menyesap minumannya perlahan, matanya tetap melekat pada Laras. Ia mencondongkan tubuh sedikit ke depan, suaranya lebih rendah, nyaris berbisik meski suasana restoran ramai dengan percakapan lain.
"Jangan salah paham, kita bisa melakukannya dengan suamimu. Anggap undangan untuk menjalin kebersamaan agar kerja sama kita berjalan dengan baik."
Laras tetap tenang. Senyumnya sopan, tapi dingin—sikap seorang wanita yang tahu ia sedang dinilai sekaligus diuji.
“Baiklah, hal itu memang harus dilakukan,” balasnya ringan. “Aku akan menyampaikan hal ini pada suamiku nanti, dan kami akan mengundangmu makan.”
“Aku menantikannya” jawab Briant sambil mengangguk, meski sorot matanya menunjukkan ia tidak sepenuhnya sepakat. Karena sesungguhnya, dia tidak mau melibatkan suami Laras. Dia ingin makan malam santai... Hanya mereka berdua.
"Tapi apakah suamimu yang sibuk bersedia mengundangku untuk makan malam? Bisa saja dia sedang?" Briant menghentikan perkataannya.
Laras memandanginya, tatapan mereka bertemu untuk sesaat. Laras tahu sepertinya Briant ingin berkata jika suaminya mungkin akan sibuk dengan para gundiknya.
"Tidak perlu khawatir, Pak Nugraha. Aku akan berbicara dengannya dan memintanya untuk mengabaikan hal yang tidak penting agar dapat menjamu Pak Nugraha dengan baik."
"Senang mendengarnya. Pak Wijaya pasti beruntung memiliki istri seperti Anda."
Laras tersenyum, sinis. Beruntung? Rasanya ingin tertawa mendengar ucapan itu Sebab Dia tahu Erik tidak pernah merasa beruntung karena telah menikah dengannya.
“Pak Briant, saya menghargai perhatian Anda. Namun, sekali lagi, saya datang ke sini dalam kapasitas profesional. Jika ada hal di luar itu, saya rasa tidak tepat untuk kita bahas.”
"Oh, aku mengulanginya lagi. Aku benar-benar minta maaf, Bu Laras. Tapi ketahuilah, aku mengagumi Anda dan tidak dipungkiri aku sedikit penasaran dengan Anda."
Sesaat, keheningan menggantung. Musik piano dari sudut ruangan seakan mengisi celah di antara mereka.
Kemudian Briant meletakkan gelas minumannya, jari-jarinya mengetuk pelan permukaan meja.
“Tolong jangan tersinggung, aku menantikan pertemuan selanjutnya."
Senyum samar muncul di wajahnya. “Kita lihat nanti, Pak Briant. Untuk saat ini, mari kita fokus menyelesaikan apa yang ada di depan kita.”
Briant tertawa kecil, matanya tak lepas darinya. “Baiklah. Saya akan menunggu kabar baik dari Anda. Mari kita makan.”
Laras mengangguk. Mereka kembali membahas proposal sambil makan. Briant tersenyum, dia semakin penasaran.
Apakah ini yang dinamakan istri orang lebih menggoda? Sungguh, wanita itu sangat menarik.
hayuu Erik n Ratna cemuuuunguut utk tujuan kalian yg bersebrangan 🤣🤣
semangat utk mendapat luka Erik 🤣
hayuuu Briant gaskeun 😁
buat Erik kebakaran jenggot 🤣🤣