Maura seorang asisten pribadi, mendapati dirinya terperangkap dalam hubungan rumit dengan atasannya, Marvel-seorang CEO muda yang ambisius dan obsesif. Ketika Marvel menunjukkan obsesi terhadap dirinya, Maura terperangkap dalam hubungan terlarang yang membuatnya dihadapkan pada dilema besar.
Masalah semakin pelik ketika Marvel, yang berencana bertunangan dengan kekasihnya, tetap enggan melepaskan Maura dari hidupnya. Di tengah tekanan ini, Maura harus berjuang mempertahankan batas antara pekerjaan dan perasaan, sekaligus meyakinkan keluarganya bahwa hubungannya dengan Marvel hanyalah sebatas atasan dan bawahan.
Namun, seberapa lama Maura mampu bertahan di tengah hasrat, penyesalan, dan rahasia yang membayangi hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Oveleaa_, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 14
Hadi yang baru saja membuang sampah di samping rumah dikejutkan dengan suara keributan di halaman rumahnya. Saat ia datang, ternyata itu Maura dan Rio atasannya. "Maura, Pak Rio?" ucapnya, terkejut.
Mendengar suara itu Maura langsung menoleh. "Ayah," gumamnya, lalu melihat Rio dan Hadi bergantian. Di dalam hatinya bertanya-tanya, apakah Rio juga tahu kalau Hadi ayahnya?
Ia berdeham dua kali sebelum mengambil inisiatif untuk mengenalkan mereka. "Pak Rio, kenalkan ini ayahku."
Rio menampilkan senyum ramah, sedikit membungkuk sebagai tanda hormat. "Selamat malam, Pak. Saya ingin mengantarkan Maura pulang," ucapnya.
Diam-diam Maura mendengus melihat sikapnya itu. Ia rasa semua anak buah Marvel memang seperti ini, bermuka dua.
"Ah, iya-iya terima kasih .... Silakan masuk dulu." Dengan sedikit canggung Hadi mempersilakan Rio untuk masuk.
Maura melihat Rio dengan sebelah alis terangkat, menunggu apa yang akan dia lakukan. Ia cukup terkejut pria itu menyetujui ajakan ayahnya untuk masuk, berjalan melewatinya dengan sikap santainya. Maura masih terpaku di halaman, bibirnya sedikit ternganga, sementara punggung pria itu sudah lenyap dari pandangan.
Ia langsung berjalan cepat menyusul pria itu dengan kepala bersungut-sungut marah. Di depan pintu, ia melirik Rio yang sudah duduk di kursi. "Kenapa kamu malah masuk! Tunggu di mobil saja!" protesnya dengan suara pelan, tertahan.
"Sekalian ingin berkenalan dengan ayahmu," jawab Rio seolah tanpa beban.
"Tidak, tidak perlu!" Maura akan menarik lengan pria itu keluar, tetapi ayahnya tiba-tiba muncul dengan nampan berisi camilan dan minuman. Tanpa kata ia langsung duduk di kursi singel tidak jauh dari posisi Rio, matanya menatap lekat pria angkuh itu.
"Silakan, Pak. Seadanya." Hadi meletakkan satu gelas teh hangat di hadapan Rio.
Pria itu lagi-lagi menampilkan senyum ramah yang membuat Maura nyaris muntah. "Tidak apa-apa, ini saja sudah cukup," balasnya. "Setelah ini saya akan membawa anak bapak lagi. Besok kami ada kunjungan kerja, menggantikan Pak Marvel yang sedang cuti."
Hadi tidak langsung menjawab, melainkan melirik Maura selama beberapa saat. Wanita itu tahu ayahnya meminta penjelasan lebih, tetapi ia pura-pura biasa saja. "A-ah ... tidak apa-apa selagi masih ada kaitannya dengan pekerjaan," ucap Hadi kemudian.
"Gimana kalau besok aku langsung ke lokasi saja?" Maura berusaha mengikuti permainan kebohongan itu dengan niat terselubung.
Kontan Rio yang sedang menyeruput tehnya pun mendongak. Sorot matanya tajam dengan kening mengerut. "Tidak bisa. Kita harus berangkat pagi-pagi sekali. Kalau terlambat, bukan hanya kamu dan saya yang celaka, tapi kita semua," jawabnya penuh arti.
"Kalau begitu, kamu ikut sekarang saja daripada Pak Marvel marah!" sahut Hadi sebelum Maura menjawab. Ia tahu seperti apa kalau atasannya itu marah—dalam sekejap satu departemen bisa hancur lebur karena teriakannya.
Maura mendesis sebal. Ia melihat ayahnya, memberi kode melalui lirikan mata agar ikut dengannya, lalu bangkit dan berjalan terlebih dahulu.
"Tunggu sebentar ya, Pak," ucap Hadi, mengikuti langkah Maura yang berjalan menuju dapur.
Di sana Maura langsung menarik tangan Hadi agar mendekat. "Dia berbohong, Ayah! Selama ini Maura diculik, di-cu-lik!" ucapnya menggebu dengan suara pelan. Ia menyingsingkan lengan baju dan menggulung celana panjangnya, memperlihatkan luka-luka yang ia dapatkan saat terserempet motor. "Ini semua gara-gara mereka!"
Hadi terdiam sejenak, menatap prihatin luka-luka itu. "Terus sekarang Ayah harus bagaimana?" tanyanya, sedikit terselip rasa panik karena yang sedang ia hadapi sekarang bukan orang sembarangan.
"Ya, Ayah usir dia atau apa pun yang penting aku tidak jadi ikut dengannya!" Maura mengerucutkan bibirnya.
"Tidak bisa begitu, Maura, nanti ayah bisa dipecat!"
"Tidak apa-apa dipecat. Maura sudah memikirkan rencana untuk kita." Maura mengangkat tas yang dari tadi ia tenteng dan memperlihatkan isinya. Ada beberapa kotak perhiasan berukuran besar, uang yang tidak bisa Hadi hitung ada berapa gepok dan mini bag merk ternama.
Pria itu nyaris pingsan jika saja tidak ada meja kompor di belakangnya. "Astaga, Maura, kamu dapat itu dari mana, Nak!"
Bola mata Maura berkeliaran ke sembarang arah dan tanpa sadar membasahi bibir bawahnya. "Em .... Ini tabungan Maura selama enam tahun kerja!" jawabnya sambil menganggukkan kepala selah yakin memang itu yang ia lakukan, bukan hal lain. Tidak mungkin kan, ia mengaku semua itu didapatkan dari hasil menjalang? Selain takut ayahnya marah, ia juga tidak mau ayahnya malu.
"Bukannya gajimu setiap bulan rutin untuk membayar hutang hutang Ayah?" Jujur saja Hadi masih tidak percaya Maura bisa menyisikan uang sebanyak itu.
"Hutang itu sudah Luna dua tahun lalu." Maura merotasikan bola matanya. "Please, Ayah, Maura tidak mencuri!" Ia benar-benar akan merasa sakit hati kalau ayahnya mengira demikian.
"Bukan begitu, hanya saja ayah masih tidak—" Hadi mendadak diam, matanya memicing menatap Maura lekat. "Jangan-jangan semua itu dari Pak Marvel?" tebaknya.
Maura langsung gelagapan, dan detik itu Hadi tahu apa yang ia katakan itu benar. Tubuhnya nyaris limbung, sambil mendesah pelan ia memijit keningnya. "Sedekat apa pun hubungan kalian, ayah tidak pernah menyarankan untuk mengambil semua barang pemberiannya. Apalagi meminta sesuatu. Kamu tidak tahu bagaimana orang itu, Maura," ucap Hadi tanpa tenaga.
"Maaf, tapi aku—"
"Sebaiknya sekarang kamu ikut dengannya dan selesaikan masalah kalian baik-baik, jangan sampai Pak Marvel marah." Dengan tubuh lemas, Hadi meninggalkan Maura dan masuk ke kamarnya.
Menarik napas panjang dan mengembuskan perlahan, Maura melakukannya beberapa kali. "Argh, sial!" umpatnya, tetap tidak bisa tenang. Bagaiman bisa tenang kalau harus kembali ke neraka itu lagi!
Ia membawa wajah kusutnya ke ruang tamu. Di sana Rio tampak kebosanan, kakinya bergoyang-goyang di bawah meja dengan tangan terlipat di depan dada. Pria itu menatapnya begitu ia kembali duduk.
"Bagaimana?" tanya pria itu.
Maura menghela napas panjang dan mengembuskan perlahan. "Bagaimana apanya?" balasnya ketus, melirik pria itu sinis.
"Cepat lakukan apa yang ingin kamu lakuan, kita harus bergegas." Rio melihat jam di pergelangan tangannya. Sudah jam sembilan lebih, dan ia sudah terlambat beberapa menit dari waktu yang ia janjikan.
"Beri tahu dulu kita akan ke mana." Maura tidak mau apa yang dilakukan Dave diulang Rio—menjanjikan keamanan, tetapi berakhir babak-belur bahkan nyaris mati.
"Apartemen baru. Pak Marvel membelikanmu apartemen baru beberapa bulan yang lalu dan sekarang dia menyuruhku untuk membawamu ke sana sebelum jam sembilan, dan sekarang sudah jam sembilan lebih. Kita tidak punya waktu lagi." Rio sudah berdiri. Ia menurunkan pandangan ke arah Maura yang tidak bergeming. "Dia akan menghukummu kalau terlambat. Kamu sendiri tahu hukuman seperti apa yang akan dia lakukan," ucapnya dengan nada datar.
Maura berdecak kesal, lalu berdiri sambil menghentakkan kakinya.
"Ya sudah, tunggu sebentar!" Ia berjalan ke arah pintu yang ada di dekat ruang tamu. Melemparkan tas ranselnya ke dalam dengan asal, lalu mengunci pintu itu. Ia berjalan keluar terlebih dahulu. "Tutup lagi pintanya!" perintahnya dengan nada galak.