Sebuah insiden kecil membuat Yara, sang guru TK kehilangan pekerjaan, karena laporan Barra, sang aktor ternama yang menyekolahkan putrinya di taman kanak-kanak tempat Yara mengajar.
Setelah membuat gadis sederhana itu kehilangan pekerjaan, Barra dibuat pusing dengan permintaan Arum, sang putri yang mengidamkan Yara menjadi ibunya.
Arum yang pandai mengusik ketenangan Barra, berhasil membuat Yara dan Barra saling jatuh cinta. Namun, sebuah kontrak kerja mengharuskan Barra menyembunyikan status pernikahannya dengan Yara kelak, hal ini menyulut emosi Nyonya Sekar, sang nenek yang baru-baru ini menemukan keberadan Yara dan Latif sang paman.
Bagaimana cara Barra dalam menyakinkan Nyonya Sekar? Jika memang Yara dan Barra menikah, akankah Yara lolos dari incaran para pemburu berita?
Ikuti asam dan manis kisah mereka dalam novel ini. Jangan lupa tunjukkan cinta kalian dengan memberikan like, komen juga saran yang membangun, ya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Be___Mei, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hello, Mr. Actor Part 17
...-Aku harus tetap bersinar, meski kamu berusaha menjatuhkanku-...
...***...
Jefrey tak bisa membiarkan Ayara menjadi pengangguran. Hal ini benar-benar mengusik pikirannya. Dia bahkan membicarakan hal ini dengan sang ayah, James Salvador.
"Kita nggak bisa sembarangan merekrut karyawan, Jef."
Ucapan tuan James disetujui sang istri. Tak dipungkiri, dia memang menyukai Yara, gadis baik hati dan sangat sopan itu. Namun, untuk bergabung ke dalam perusahaan mereka, tentu tak semudah membalikkan telapak tangan.
Tak berhenti sampai di situ, Jefrey memutar otak mencari cara agar Ayara tak lagi menjadi pengangguran. Teringat suasana kamar yang berantakan, karena salah seorang pekerja di kediaman mereka ada yang pulang kampung, membuat Jefrey menjentikkan jari dengan senyuman tipis.
"Hah? Abang serius?" Valery tak bisa menahan rasa terkejutnya, saat Jefrey membeberkan keinginan hati.
Nyonya Salvador tak habis pikir, ada apa dengan anak-anaknya. Valery tak berniat sedikitpun untuk bergabung ke dalam perusahaan, hal itu dengan berat hati mereka setujui daripada harus kehilangan sang putri keras kepala itu. Yah, Valery pernah minggat dari rumah saat kecil karena keinginannya tak dipenuhi, hal itu sungguh tak mereka inginkan terjadi lagi.
"Karena aku mencintainya." Sebuah alasan yang membuat rahang tuan James hampir lepas, begitu juga dengan istrinya.
Mendekati sang putra, Nyonya Salvador berusaha memberikan nasihat. "Jef .. kamu tau banget 'kan sama Yara, dia muslimah yang taat."
"Iya, Ma. aku tau, kok. Aku juga sadar kemungkinan kami bersama tu sangat jauh. Makanya, kalau nggak bisa memiliki, setidaknya aku bisa bantu dia." Raut wajah nan sedih, terlihat jelas pada pria berwajah teduh ini. Keinginan hati yang teramat dalam kerap membuatnya tak ingin jatuh cinta pada wanita lain, namun, kesadaran bahwa Yara dan dirinya terpisahkan tembok begitu tinggi, Jefrey mencoba untuk mencari tambatan hati yang cocok dengannya.
"Ck! Terserah kamu, Jef. Kalau dia mau, ya, silakan." Seraya memasukan kedua tangan ke dalam saku, tuan James melangkah meninggalkan sang putra.
Valery melirik sang mama, alih-alih memasang wajah tegang, ia justru tersenyum.
"Kalau ngasih kerjaan di rumah ini, Mama setuju," ujarnya berseru sembari menepuk pundak Jefrey.
Tawa seorang Jefrey pun tak bisa dibendung, dia tertawa begitu lebar.
"Cie ~~~, jangan senang dulu. Abang yakin Yara mau kerja di rumah kita?"
"Bilang aja kerjaan dia cuman beres-beres kamar Abang kamu. Masalah gaji, dikasihnya sama kayak pelayan lain." Alih-alih Jefrey, justru sang mama yang bicara.
"Serius, Ma?" tanya Valery.
"Iya. Bilang aja begini, dia cukup bekerja dari jam 7 pagi sampai jam 4 sore. Kalau pekerjaannya selesai lebih cepat, dia bisa nemenin Mama pergi ke arisan, pergi belanja, pergi kumpul-kumpul sama temen-temen Mama juga. Hemmm, apa lagi, ya?" Nyonya Salvador nampak antusias setelah mendapat izin dari sang suami untuk mempekerjakan Yara.
"Ma, itu artinya Mama merekrut dia jadi pelayan pribadi Mama. Gajinya harus lebih gede," celetuk Jefrey.
"Gampang. Mama tau nggak ada yang gratis di dunia ini, semua ada hitungannya."
Jawaban itu sangat menggelikan bagi Valry. Entah mengapa, baik dirinya, abang juga kedua orang tuanya, mereka sangat menyukai Yara. Kabar ini membuat tangan Vale gatal, dia tak bisa menahan diri untuk tak segera menghubungi Yara.
"Ah, nggak seru kalau mengabarinya lewat hape. Aku harus datang ke rumahnya."
Saat itu Valery langsung beranjak dari sofa, tempatnya bersantai sejak tadi.
"Sebentar, bawain puding buatan Mama tadi siang buat Yara," titah sang mama.
"Siap, Mamaku yang cantik." Sebuah kecupan mendarat sempurna di pipi nyonya Salvador. Setelah itu Valery bergegas meninggalkan Jefrey dan ibunda.
Kini, ibu dan anak ini saling bertatapan, sekian detik kemudian mereka saling melempar senyuman.
"Kamu senang?" tanya nyonya Salvador.
"Mama lebih senang, iya 'kan?" balas Jefrey.
"Iya, dong," jawab sang mama. "Gimana sama kamu?"
"Mama, jangan nanya yang udah tau jawabannya deh."
Sang mama tertawa kecil, dia melihat rona merah pada wajah sang putra.
"Ingat! jangan digoda, ya!"
"Mama! Ayolah. Aku nggak akan ngelakuin hal itu!" Kentara sekali pria ini salah tingkah. Baru saja dia mengambil duduk di sofa, namun, sekarang dia sudah beranjak dari sana.
"Jef ke kamar dulu."
"Mau apa?"
"Ada kerjaan," sahut sang putra.
"Kamu mau menelepon Yara?" Nyonya Salvador begitu senang menggoda sang putra, yang jarang tertawa ini.
"Enggak! Mama jangan mengada-ada!"
Wanita paruh baya ini terkekeh geli, tawanya tak jua reda meski Jefrey sudah pergi meninggalkannya.
***
"Arum mau Bunda Yara!"
"Arum! Ayah nggak bisa mempekerjakan orang yang pernah membahayakan nyawamu! Lebih baik kita cari suster lain aja, oke?" Rambut Barra nampak berantakan. Ayah dan anak ini habis adu jotos, akh! Lebih tepatnya Barra habis dihajar habis-habisan oleh Arum, dan dia tak melawan sedikitpun.
Bocah itu begitu senang mendengar sang ayah akan mencarikan suster untuknya. Dia meminta Yara saja yang menjadi pengasuhnya, sebab sang ayah sudah membuat bunda kesayangannya itu kehilangan pekerjaan.
Keinginan hanya tinggal keinginan, Barra menolak mentah-mentah keinginan Arum. Menarik rambut ayahnya sekuat tenaga, juga memukulinya dengan tangan kecilnya, begitulah cara Arum yang kesal meluapkan kekesalannya.
"Begini, putriku yang cantik sedunia." Berjongkok di depan Arum, Barra mencoba membujuk sang putri lagi.
"Ayah mau nyari uster paling baik dari rumah binaan, yang pastinya terlatih dan dijamin bisa jagain kamu."
Belum selesai Barra bicara, Arum melarikan diri dengan masuk ke dalam lemari pakaian.
"Arum!"
"Ayah jahat!" Bocah itu berteriak.
"Arum! Ayah belum selesai bicara!"
"Enggak! Ayah jahat, Ayah nggak sayang Arum" Tangan kecilnya menahan sekuat tenaga tarikan dari luar, Barra yang berusaha membuka pintu lemari itu.
Entah mendapatkan kekuatan dari mana, Barra kewalahan membuka lemari tersebut. "Arum, justru karena Ayah sayang sama kamu, makanya Ayah nggak mempekerjakan Nona Yara. Dia udah gagal menjaga kamu!"
"Bunda Yara nggak salah! Arum sendiri yang minta rotinya, Ayah. Arum yang mau. Lagipula, Bunda Yara 'kan nggak tau kalau Arum alergi kacang. Ayah juga pernah pernah bilang sama Arum kalau nggak boleh makan kacang!"
Ash! Arum kesal setengah mati, usahanya gagal, Barra berhasil membuka pintu lemari itu.
"Sayang ... tolong jangan bilang ayah jahat. Ayah cuman punya kamu, Nak. Tolong ngertiin Ayah." Lemah sekali suaranya, Barra merasa sedih sebab Arum tak sudi sekadar menatap dirinya. Tangan yang akan menyentuh kepala sang putri pun mendapat penolakan, Arum menghindari belaian Barra.
Membiarkan Arum yang tak mau keluar dari dalam lemari meski sudah terbuka, Barra duduk bersandar diri pada pintu lemari tersebut. Kali ini tak ada nada tinggi ketika ia bicara, dia berkata dengan penuh kelembutan.
"Apa sih bagusnya Nona Yara itu?" tanya Barra.
"Semua tentang Bunda Yara tu baik," jawab Arum, dengan nada lembut juga.
"Tapi kamu hampir celaka karena dia."
"Ih, Ayah. Kan tadi Arum sudah bilang!."
"Kamu, yakin banget sama dia."
Arum nampak mengangguk, tanpa bicara.
"Arum ... gimana sama tante Enzi?" Tak ada angin tak ada hujan, Barra yang terlihat biasa-biasa saja terhadap Enzi, tiba-tiba menanyakan pendapat Arum.
"Kenapa, Ayah mau jadiin Tante Enzi Mama?" Barra mendapat tatapan setajam belati dari Arum.
"Anu ..., bukannya kamu ---"
Melihat sikap sang ayah, Arum keluar dari dalam lemari sambil berkata. "Nggak boleh!"
"Arum ..." Bocah itu seolah tuli. Dia mengabaikan panggilan Barra seraya pergi dari kamarnya.
...To be continued ......
...Terima kasih sudah berkunjung. Jangan lupa like, komen dan kasih saran yang membangun, ya....
Kamu seorang laki-laki ... maka bertempurlah sehancur-hancurnya!
Yakin tuh ga panas Barra 😄
Gitu dong, lindungin Yara..
Masa iya Yara bener mamanya Arum