Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17.Formulir.
Malam itu, Oliv duduk di tepi ranjang kamarnya dengan wajah penuh kebimbangan. Di tangannya, surat beasiswa Red High masih tergenggam erat, berulang kali ia baca meski sudah hafal isinya di luar kepala. Hatinya terombang-ambing.
Jika ia menerima beasiswa itu…
Artinya ia harus kembali ke sekolah lamanya. Tempat di mana kenangan pahit dan tawa palsu bersatu. Tempat di mana status sosial adalah segalanya, dan sekarang ia selalu berada di dasar rantai makanan. Ia tahu, menerima beasiswa itu berarti membuka lagi pintu untuk perundungan yang mungkin lebih kejam dari sebelumnya. Apalagi sekarang, semua orang tahu keluarganya sudah jatuh miskin dan ia pasti akan mengalami perundungan karena status nya.
Namun jika ia menolaknya…
Ia akan tetap di sekolah ini, sekolah biasa yang tidak menawarkan alur cerita menarik, tanpa konflik mencolok, tanpa karakter-karakter webtoon terkenal dan kehidupan yang membosankan.
Hidupnya akan berjalan tenang, tapi terlalu datar. Tidak ada petualangan. Tidak ada babak baru. Hanya rutinitas dan rasa penasaran yang tak pernah terjawab.
Oliv mendesah pelan.
"Apa gunanya hidup di dunia webtoon… kalau aku tidak berani menjadi bagian dari ceritanya?" gumamnya lirih.
"Tapi jika aku kesana, mereka akan memangsaku. Bagaimana nih? " Lanjutnya.
Di luar jendela, bulan menggantung pucat. Seolah ikut mengawasi pilihan yang akan mengubah jalan hidupnya.
Dengan tangan gemetar namun mata yang mulai mantap, Oliv menatap surat beasiswa itu sekali lagi.
Dan malam itu, ia tahu ia tak ingin jadi karakter sampingan dalam hidupnya sendiri.
Tak beberapa kemudian,tiba-tiba perut Oliv mules hebat.
"Aduh, kenapa lagi ini?" gerutunya sambil memegangi perutnya. Ia buru-buru bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Langkahnya tergesa, pikirannya hanya terfokus pada rasa nyeri yang mendesak. Tanpa sadar, pintu kamar tertinggal terbuka.
Sementara di luar, sang mama yang baru saja pulang dari warung kecil milik tetangga membuka pintu rumah dengan langkah ringan. Ia memanggil pelan,
"Oliv? Kamu di rumah, Nak?"
Tak ada jawaban.
Dengan penasaran, ia menuju kamar Oliv dan melihat pintu yang terbuka lebar. Kepalanya menengok masuk, dan tak sengaja pandangannya jatuh pada meja belajar yang agak berantakan.
Namun ada satu hal yang mencuri perhatiannya.
Formulir beasiswa Red High.
Mata mama Oliv membelalak senang. Ia cepat-cepat masuk dan mengambil kertas itu, lalu membaca cepat dengan kacamata tuanya.
"Ya Tuhan… Red High? Ini sekolah elite tempat Oliv sekolah dulu!"
Ia menatap kertas itu seolah menemukan tiket emas menuju masa depan gemilang anaknya.
"Kalau Oliv benar-benar keterima di sini… dia nggak akan susah-susah lagi. Siapa tahu… ketemu jodoh anak konglomerat?"
Senyum penuh harap terbit di wajahnya.
Tanpa pikir panjang, ia melipat formulir itu hati-hati, memasukkannya ke dalam tas belanja kain miliknya, dan pergi meninggalkan kamar Oliv,semua dilakukan diam-diam, dengan langkah pelan seperti pencuri.
Sementara itu, di kamar mandi…
Oliv masih sibuk berjuang dengan perutnya yang tak bersahabat.
"Aduh… semoga ini bukan karena mi instan semalam…" erangnya tanpa tahu kalau nasibnya barusan diambil alih oleh sang ibu.
Setelah dari kamar mandi Oliv tidak menghiraukan lagi surat pendaftaran itu, ia langsung tertidur setelah minum obat sakit perut.
Malam itu masa depan Oliv sudah ditentukan oleh mamanya, saat Oliv yang sedang tidur pulas mama Oliv dengan cermat mengisi formulir pendaftaran itu dan akan memberikan nya ke sekolah Red high besok pagi.
Pagi itu, Oliv keluar dari kamarnya dengan penampilan berantakan dengan rambutnya awut-awutan, mata masih setengah tertutup, dan bajunya pun kusut karena tidur dalam keadaan gelisah. Ia menguap lebar sambil menggaruk kepala, masih belum sadar sepenuhnya dari mimpi buruk dan mules semalam.
Namun langkahnya terhenti mendadak saat melihat pemandangan di ruang tamu.
Di atas meja…
Terhampar rapi seragam Red High yang mewah dan elegan, lengkap dengan logo khas berlapis emas di dada kiri dan dasi merah marun yang jadi simbol status. Sepatu kulit hitam baru masih dalam kotaknya. Bahkan tas sekolahnya pun bermerek mahal miliknya dulu,di kehidupan sekarang bukan tipe yang pernah bisa ia beli.
Dan yang lebih mengejutkan…
Mama dan kedua kakaknya berdiri di sana, menyambutnya dengan senyum penuh kemenangan.
"Selamat ya, Oliv!" seru Erik sambil bertepuk tangan.
"Mulai besok kamu resmi jadi anak Red High!" timpal Mark sambil memegang ponsel, siap merekam momen langka itu.
"Ini langkah awal masa depanmu yang cemerlang, Nak," ucap mamanya dengan mata berbinar, nyaris berkaca-kaca.
Oliv yang masih setengah sadar hanya bisa berdiri mematung.
"Hah? Apa? Red High? Seragam ini… dari mana?"
Mamanya mendekat dan mencubit pipi Oliv sayang.
"Itu dari sekolah, dong! Mama kirim formulirmu semalam, dan subuh-subuh mama ditelepon langsung oleh pihak sekolah. Katanya kamu langsung diterima karena nilai akademikmu luar biasa! Lihat deh, mereka langsung kirim semuanya pagi ini! Hebat ya anak mama!"
"Tapi Liv, bagaimana kamu bisa memiliki formulir pendaftaran ini?, tidak sembarangan formulir pendaftaran ini di keluarkan" Tanya Mark.
"Tidak perduli dari mana, sekarang Oliv sudah menjadi murid disana! " Ucap bahagia Erik.
Oliv membelalak.
"A-apa?! Mama ngirim formulirku?!"
Kedua kakaknya tertawa.
"Jangan bilang kamu malah nggak niat daftar kemarin?"
"Kalau iya, syukurin deh! Sekarang kamu nggak bisa mundur!"
Oliv menganga tanpa bisa berkata-kata. Otaknya berputar cepat antara panik, bingung, malu karena tampilannya masih seperti zombie, dan… mungkin, sedikit tidak bahagia.
Tapi satu hal pasti dunia Red High yang berkilau dan penuh intrik kini telah resmi menyambutnya kembali.
Dan kali ini, tidak ada jalan mundur.
Di tempat lain, jauh dari rumah sederhana Oliv…
Sebuah villa megah berdiri angkuh di tengah perbukitan elit. Di sisi belakangnya, kolam renang seluas lapangan basket berkilau memantulkan sinar matahari pagi. Di salah satu kursi santai, seorang remaja laki-laki duduk dengan santai, mengenakan kacamata hitam dan bathrobe mahal dari merek luar negeri.
Owen.
Anak tunggal keluarga pemilik Red High yang kaya, berkuasa, dan nyaris tak tersentuh.
Di sebelahnya berdiri dua pelayan muda, masing-masing memegang nampan berisi minuman segar dan kipas elektrik untuk memastikan Owen tetap nyaman selama berjemur. Musik lembut terdengar dari speaker bluetooth yang tertata rapi di sisi kolam.
Tiba-tiba, langkah cepat terdengar dari arah rumah utama.
Tio, kepala pelayan yang sudah seperti tangan kanan ayah Owen, menghampiri dengan tergesa.
"Maaf mengganggu waktumu, Tuan Muda Owen," ucap Tio dengan membungkuk sedikit, sambil menyodorkan ponsel. "Panggilan dari kepala sekolah Red High. Katanya penting."
Owen mengangkat alisnya sedikit, lalu mengambil ponsel itu dengan malas.
"Ya, bicara."
Suara di seberang terdengar formal dan gugup.
"Selamat pagi, Tuan Owen. Kami hanya ingin mengabarkan bahwa siswa bernama Oliv telah menerima tawaran beasiswa penuh dari Red High. Ia akan mulai sekolah lusa."
Owen tersenyum kecil, menyipitkan matanya di balik kacamata hitamnya.
"Begitu ya…" gumamnya pelan, lalu duduk tegak.
"Satu permintaan," lanjutnya, dengan nada tenang namun tak terbantahkan.
"Pastikan Oliv satu kelas denganku. Aku ingin memantaunya langsung."
Terdengar keheningan sesaat di telepon sebelum kepala sekolah menjawab dengan tergagap,
"Te…tentu, Tuan Owen. Kami akan segera mengatur ulang penempatan kelas. Maafkan kelambanan kami."
Owen tersenyum puas dan menyerahkan kembali ponsel ke Tio.
"Terima kasih. Sekarang, bawakan smoothie alpukat tanpa gula. Dan kasih tahu bagian administrasi, aku ingin semua informasi akademik dan kehidupan pribadi Olivia Morgan dikirim ke mejaku sebelum malam."
"Segera, Tuan Muda," ucap Tio sambil membungkuk.
Sambil meregangkan tubuhnya kembali di kursi santai, Owen menatap langit biru.
"Hm.Aku tidak bersabar menyambut bakpao kembali."
Senyumnya tak bisa ditebak antara rasa tertarik, rencana yang belum terungkap, atau hanya… keinginan untuk bermain-main dengan takdir seseorang.
Tapi yang jelas Oliv membuat hati Owen terusik karena ketidakhadirannya disekolah dan ia merasa bosan tanpa Oliv.