Renkarnasi Letnan Wanita

Max semakin meningkatkan jadwal keamanannya. Setiap pagi, sebelum Max berangkat ke kantor, ia akan berbicara dengan kepala pengawal yang berjaga di apartemen, memastikan semuanya terkendali. Leticia sering ikut mendengarkan, meskipun Max selalu berusaha menyederhanakan bahasanya agar Leticia "tidak terlalu khawatir."

Leticia mengerti setiap kata, setiap detail strategi keamanan yang Max terapkan. Ia tahu persis bagaimana cara Max berpikir, bagaimana Max berencana untuk melindunginya. Hal itu membuatnya merasa aman, namun juga sedikit cemas. Ia tahu Max tidak punya pengalaman tempur seperti dirinya, dan itu adalah kelemahan yang bisa dieksploitasi.

Sementara itu, Petricia sedang dalam fase kegilaan yang semakin parah. Setelah mendapatkan konfirmasi dari dalang misterius, ia merasa punya legitimasi untuk bertindak brutal. Ia mulai mencari informasi detail tentang rutinitas Max dan Leticia di apartemen. Dengan bantuan koneksinya di berbagai instansi, ia berhasil mendapatkan denah apartemen Max, jadwal harian mereka yang dimata-matai oleh anak buah Reza, dan bahkan informasi tentang titik buta di sistem keamanan apartemen yang selama ini dianggap paling canggih.

"Kau yakin ini bisa berhasil?" tanya Petricia pada Reza melalui panggilan telepon terenkripsi. Dia tidak lagi ragu-ragu, tapi masih ada sedikit kecemasan.

"Jika kau memberikan informasi yang akurat, dan kau tidak melakukan kesalahan, kemungkinan berhasilnya 90%," jawab Reza datar. "Tapi target utama adalah Leticia. Max... jika dia menghalangi, itu risikonya."

"Aku tidak peduli Max terluka atau tidak," sahut Petricia dingin, nadanya menunjukkan betapa gelap hatinya. "Yang penting Leticia lenyap. Selamanya."

Reza tertawa sinis. "Baik. Rencana sudah final. Malam ini. Saat mereka tidur."

Petricia menggigil mendengar kata-kata "saat mereka tidur". Itu berarti serangan akan sangat brutal dan mengejutkan, ia mengakhiri panggilan.

Hatinya berdebar kencang, antara rasa takut, antisipasi, dan kepuasan yang mengerikan. Ia telah melewati batas.

Malam itu di apartemen Max, Leticia merasa gelisah. Perasaan aneh menyelimutinya, sebuah intuisi tajam yang biasa ia rasakan sebelum pertempuran besar. Ia mencoba mengabaikannya, mengatakan pada dirinya sendiri bahwa itu hanya efek dari kecemasan yang Max rasakan.

Namun, perasaan itu tak mau pergi. Ia bangun dari ranjang, Max sudah terlelap di sampingnya, memeluk guling. Leticia berjalan ke jendela, menatap kerlip lampu kota yang membentang di bawah.

Max adalah pria yang baik, sangat baik. Terlalu baik untuk dunia penuh intrik ini. Ia mencintai Max, sungguh. Perasaan itu tumbuh begitu kuat hingga kadang mengejutkannya sendiri. Ia telah berjanji untuk melindungi Max. Sekarang, bagaimana caranya?

Tiba-tiba, ia mendengar suara samar. Sebuah bunyi 'klik' yang sangat halus, hampir tak terdengar. Itu datang dari arah pintu utama apartemen. Naluri jenderalnya langsung berteriak. Itu bukan suara normal. Itu adalah suara kunci yang dibuka secara paksa, atau mungkin sistem keamanan yang berhasil dinonaktifkan.

Jantung Leticia berdegup kencang. Ia segera berbalik, menuju kamar tidur, membangunkan Max.

"Max! Max, bangun!" bisiknya, mengguncang tubuh Max dengan tergesa.

Max mengerang, perlahan membuka matanya yang masih mengantuk. "Ada apa, sayang? Ini masih malam."

"Bangun! Ada yang masuk ke apartemen!" Leticia tahu Max tidak akan langsung percaya. "Aku mendengarnya. Suara dari pintu depan. Itu bukan pengawalmu."

Max langsung terbangun, insting protektifnya menyala. Ia meraih pistol yang selalu ia simpan di laci nakas samping ranjang. "Kau yakin, Tia?" tanyanya, suaranya tegang.

"Aku yakin!" Leticia menariknya dari ranjang.

"Cepat, pakai baju. Kita harus bersiap."

Max dengan cepat memakai celananya, mengambil kaus. "Tetap di belakangku, Tia. Aku akan periksa."

"Tidak! Kau di belakangku!" Leticia menukas tegas, meraih lampu tidur yang berat dari meja. Ia tahu Max punya pistol, tapi ia juga tahu kemampuan Max dalam situasi seperti ini tidak sebanding dengan dirinya. Ia adalah seorang jenderal. Ini adalah medan perang baginya.

Suara langkah kaki mulai terdengar di koridor apartemen. Lebih dari satu orang. Mereka bergerak cepat, terorganisir. Petricia ternyata tidak main-main malam ini serangannya bergitu berbahaya dan tersusun rapi.