NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17

Di sebuah ruang rapat mewah yang dipenuhi cahaya matahari pagi, Aldric duduk tegak di ujung meja panjang.

Di depannya, empat klien dari perusahaan besar mempresentasikan rencana kerja sama.

“Kami percaya, kerja sama ini akan membawa keuntungan besar bagi kedua belah pihak,” ujar salah satu dari mereka sambil menyerahkan proposal.

Aldric menatap tajam dokumen di hadapannya, sesekali melirik laptopnya yang sudah menampilkan data lengkap.

Ia menanggapi dengan tenang, suara dingin namun tegas.

“Ide kalian tidak buruk. Tapi aku tidak membeli ide aku membeli hasil.”

Ruangan langsung hening. Salah satu klien tertelan ludahnya sendiri. Aldric membuka halaman berikutnya dari proposal.

“Aku akan pertimbangkan jika kalian bisa memberikan progres awal dalam tujuh hari. Jika tidak, pertemuan ini sia-sia.”

Salah satu asisten Aldric menghampiri dengan membawa secarik kertas. Ia membisikkan sesuatu ke telinga Aldric.

Aldric mengangguk singkat, lalu kembali fokus pada para klien.

“Kita sudahi dulu. Kalian bisa kembali dengan revisi minggu depan.”

Para klien berdiri dan mengangguk penuh hormat. Setelah mereka keluar, Aldric bersandar di kursinya dan memijat pelipisnya.

"Arlena... sudahkah dia makan?" batinnya pelan.

Di saat semua sibuk dengan angka dan grafik, pikirannya melayang pada satu sosok yang kini tengah belajar keras di rumah.

Saat suasana kantor Aldric kembali tenang pasca-meeting, pintu depan ruangannya terbuka dengan tiba-tiba.

Seorang wanita berpenampilan glamor melangkah masuk tanpa permisi. High heels-nya berdetak nyaring di lantai marmer.

"Aldric," suara Leona melengking lembut namun penuh maksud, "Kamu sibuk? Aku cuma kangen."

Aldric mengangkat pandangan dari layar laptopnya. Wajahnya datar. Dingin. Tak ada senyum sambutan.

"Leona, aku sedang kerja."

Leona mendekat, mencoba menyentuh pundak Aldric, tapi Aldric langsung bergeser sedikit.

"Aku bilang aku sibuk," ulangnya, nada suaranya lebih tajam.

Leona tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana.

"Jangan galak gitu dong. Aku cuma pengen lihat kamu sebentar. Lagian, katanya kamu sekarang dekat sama pelayan di rumahmu?"

Aldric menatapnya tajam.

"Urus hidupmu sendiri. Dan jangan datang ke kantorku tanpa janji. Ini tempat kerja, bukan tempat untuk drama."

Leona mendesis pelan.

"Kamu berubah, Mas. Sejak wanita kampungan itu datang."

Aldric berdiri dari kursinya.

"Keluar, Leona. Sebelum aku benar-benar marah dan menyuruh security menjemputmu."

Leona mengepalkan tangan, wajahnya memerah karena malu dan marah. Tapi ia tahu Aldric bukan tipe yang bisa ditantang.

Dengan berat hati, Leona membalikkan badan dan keluar dari ruangan dengan suara sepatu yang lebih keras dari sebelumnya.

Aldric menarik napas dalam, matanya menatap jendela tinggi di ruangannya.

"Arlena... seandainya kamu tahu, aku hanya ingin melindungimu dari semua ini."

Arlena berdiri di depan lemari dapur sambil berpikir keras. Ia membuka kulkas, memeriksa bahan-bahan yang tersedia.

"Daging sapi... sayap ayam... udang... hmm." Ia mengangguk kecil.

"Aku tahu! Hari ini aku buat beef teriyaki, udang goreng tepung, tumis sayur baby buncis, dan sup jagung. Untuk penutup, aku bikin puding coklat dengan saus vanila."

Wajahnya berseri-seri.

"Tuan Aldric harus senang!"

Ia mulai memasak dengan cekatan. Wajan panas, aroma bawang putih dan kecap manis tercium ke seluruh rumah.

Dua staf yang biasa membantunya hanya bisa terkagum-kagum dari jauh.

"Aroma dapur berubah sejak Arlena di sini ya," bisik salah satu staf.

Setelah selesai, ia menata meja makan dengan rapi. Menaruh serbet, gelas, dan menghias meja dengan bunga kecil yang ia petik dari taman belakang.

"Semoga Tuan Aldric suka... dan tidak bosan lagi," ucapnya pelan sambil tersenyum, menatap hasil masakannya.

Di dapur, Arlena tampak begitu bersemangat. Ia mengenakan apron berwarna krem dan menyelipkan poni di balik bandana kecil.

Sambil mengiris bawang, ia mulai bersenandung kecil.

"Ku masak dengan cinta, untuk tuan yang kucinta..."

Suara lembutnya mengalun seiring bunyi wajan yang mendesis.

Saat memasukkan daging ke dalam wajan, ia berputar pelan, seolah sedang menari.

"Sup jagung, beef teriyaki, udang tepung untukmu hari ini~"

Dua staf yang sedang membereskan meja makan diam-diam berdiri di ambang pintu dapur.

Mereka saling pandang, lalu salah satu dari mereka mengangkat ponselnya dan mulai merekam diam-diam dengan senyum geli.

"Lihat tuh, dia bahagia banget masak buat Tuan Aldric," bisik salah satunya.

"Kirimin ke Tuan, pasti dia senang," sahut yang lain sambil menekan tombol kirim ke nomor Aldric. 

Sementara itu, di ruang kantor yang sunyi, Aldric sedang menatap layar laptopnya dengan ekspresi serius.

Sebuah notifikasi masuk ke ponselnya. Ia sempat mengabaikannya, namun kemudian melirik sekilas.

Saat video diputar, wajahnya yang tegas berubah. Alisnya terangkat, lalu senyum tipis terbentuk di wajahnya.

Dalam video itu, Arlena menari kecil sambil memegang spatula, menyanyikan lagu ciptaannya sendiri, dan wajahnya bersinar penuh semangat.

Aldric menyandarkan tubuhnya ke kursi, masih menatap layar.

"Dasar gadis aneh..." gumamnya. Tapi senyum itu belum juga hilang dari wajahnya.

Aldric menatap video itu beberapa detik lebih lama, lalu tanpa berkata apa-apa, ia menutup laptopnya perlahan.

Ia berdiri dari kursi kerja, mengambil jasnya, dan merapikan dasi dengan gerakan cepat namun rapi.

"Asisten," panggilnya pelan sambil membuka pintu ruang kerjanya.

"Ya, Tuan?"

"Tunda semua rapat sore ini. Saya pulang."

Asistennya menatap heran. "Tapi—"

"Saya bilang tunda." Suara Aldric dingin tapi tak bisa dibantah.

Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah keluar. Sepanjang perjalanan ke parkiran, pikirannya melayang pada Arlena.

Bukan karena masakannya. Bukan karena nyanyiannya.

Tapi karena untuk pertama kalinya, rumah terasa seperti tempat yang ingin ia datangi lebih cepat.

Di dalam mobil, ia menyetir sendiri. Wajahnya tetap datar, tapi ada kehangatan samar di matanya.

"Tunggu aku, Arlena."

Sesampainya di rumah, Aldric mematikan mesin mobilnya tanpa tergesa.

Ia membuka pintu perlahan dan begitu melangkah masuk, suara lembut itu langsung menyambutnya.

Arlena tengah berdiri di dapur, tak menyadari kedatangannya.

Suaranya lembut, mengalun ringan, selaras dengan irama sendok yang ia gunakan untuk menuang adonan puding ke dalam cetakan.

"Sinar mentari di pagi hari... seperti senyummu yang meneduhkan hati..."

Aldric bersandar sejenak di dinding ruang tengah, membiarkan suara itu mengisi dadanya. Untuk sesaat, ia merasa pulang... benar-benar pulang.

Ia berjalan pelan ke arah dapur, suaranya dalam dan tenang, “Kamu suka bernyanyi, ya?”

Arlena tersentak, hampir menjatuhkan wadah puding yang ia pegang.

“T-tuan Aldric! Maaf... saya tidak tahu kalau Anda sudah pulang.”

Aldric tersenyum kecil. “Lanjutkan saja. Suaramu... menyenangkan untuk didengar.”

Arlena menunduk malu, pipinya memerah. “Saya hanya iseng, Tuan...”

Aldric mendekat dan menatap cetakan puding yang sudah tertata rapi.

“Ini untuk makan malam?”

Arlena mengangguk. “Saya ingin mencoba menu penutup yang baru. Takutnya Anda bosan...”

Aldric menatapnya sebentar, lalu berkata singkat, “Aku pulang lebih cepat hari ini karena aku ingin mencicipi hasil nyanyianmu.”

Arlena terpaku. Hatinya berdebar entah karena kata-katanya, atau karena tatapannya yang terasa... berbeda malam itu.

Setelah menyantap makan malam yang hangat dan menyenangkan, Aldric meletakkan sendok garpunya dengan tenang, lalu menatap Arlena yang tampak ragu di ujung meja.

"Ada yang ingin kamu bicarakan?" tanyanya tenang, meski matanya sudah bisa menebak ada sesuatu yang cukup penting.

Arlena menggenggam jemarinya gugup. “Tuan Aldric… setelah ini, apakah saya boleh bicara sebentar? Hanya sebentar saja…”

Aldric menyandarkan punggungnya ke kursi, menatapnya serius tapi tetap lembut.

“Tentu. Kita bicara di ruang kerja. Bawa teh jika kamu mau.”

Arlena mengangguk perlahan. “Baik, Tuan…”

Ia pun lekas membereskan meja sambil berusaha menenangkan jantungnya yang berdetak tak karuan.

Ada sesuatu yang harus ia ungkapkan malam ini… sesuatu yang sudah terlalu lama ia pendam.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!