nre: Fantasi, Aksi, Sekte-Building, Antihero, Overpowered
Sinopsis:
Di benua Elvaria, kehormatan dan kesetiaan adalah dua mata uang paling berharga. Namun, bagi Kael Arvane, seorang jenderal muda yang pernah menyelamatkan kerajaannya dari kehancuran, keduanya hanyalah ilusi yang bisa dibakar oleh kekuasaan.
Dikhianati oleh rajanya sendiri dan difitnah sebagai pengkhianat, Kael diburu, disiksa, lalu dilempar ke lembah kematian yang dikenal sebagai "Jurang Sunyi"—tempat para monster, penjahat, dan kutukan abadi bermuara. Tapi justru di tempat itulah "Sistem Chaos Sovereign" bangkit dari sisa jiwanya yang penuh dendam.
Dengan sistem itu, Kael mampu menciptakan sekte dari nol: Sekte Chaos, sekte tanpa aturan moral, tanpa dogma suci—hanya kekuatan, kebebasan, dan ambisi pribadi. Ia mulai merekrut orang-orang yang dibuang oleh dunia: budak, pembunuh, monster setengah manusia, penyihir terkutuk, bahkan mantan bangsawan pengkhianat.
Dari mereka, ia membentuk Dua Belas Pilar Chaos
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon febri_yeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17: Kota Chaos dan Penjaga Langit
Tiga minggu telah berlalu sejak pertempuran Sunya.
Dataran luas yang dulunya dipenuhi abu dan darah, kini mulai berubah. Para murid Sekte Chaos—yang dulunya pengembara, budak, dan pemberontak—bekerja siang malam mendirikan sesuatu yang lebih dari sekadar markas. Mereka membangun sebuah kota.
Kael berdiri di atas menara batu yang belum selesai. Angin berembus pelan, membawa suara palu, tawa anak-anak, dan nyanyian malam para pengrajin. Di sekelilingnya, bangunan-bangunan mulai tumbuh dari reruntuhan: aula besar untuk pertemuan, menara kristal untuk pelatihan sihir, bahkan pasar bawah tanah yang menyuplai kebutuhan sehari-hari.
Zareth muncul di belakangnya.
“Fondasi istana pusat sudah selesai. Pilar memintamu hadir untuk menamai kota ini.”
Kael tak langsung menjawab. Ia menatap jauh ke cakrawala, di mana cahaya merah matahari terbenam menyentuh pegunungan.
“Aku tak akan beri nama kota ini dengan warisan siapa pun,” katanya pelan.
Zareth mengangguk. “Lalu?”
Kael menoleh. Matanya dingin dan penuh tekad.
“Kota ini akan disebut... Netherion. Tempat di mana kekacauan dan harapan bersatu.”
---
Di aula tengah, dua ribu murid berkumpul.
Dari atas podium batu, Pilar berdiri berjejer—masing-masing dengan pakaian khas dan aura memancar. Ketika Kael naik ke panggung, ruangan sunyi. Bahkan napas pun tertahan.
“Aku tak akan memberi kalian khotbah,” ujar Kael lantang. “Kalian semua tahu kenapa kita ada di sini. Kita yang ditolak, dibuang, dikhianati... kini punya tanah sendiri.”
Sorak-sorai menggema.
“Tapi jangan salah. Dunia di luar sana belum menyerah. Mereka takut pada kita, bukan karena kita jahat... tapi karena kita tak bisa dikendalikan.”
Ia menatap semua orang satu per satu.
“Jadi mulai hari ini, Netherion bukan hanya kota. Ini simbol. Bahwa bahkan abu pun bisa menjadi api. Dan dari kekacauan, muncul takhta.”
---
Beberapa malam kemudian, Pilar berkumpul di ruang bawah tanah rahasia, di bawah aula.
Meja batu besar di tengah ruangan menampilkan peta benua. Di bagian utara, tanda merah muncul: simbol mata terbalik, dikelilingi oleh rantai.
Arwin mengetuk peta itu. “Ini bukan simbol dari Ordo Keabadian. Ini lebih tua. Simbol dari... Penjaga Langit.”
Velra mencibir. “Organisasi bayangan yang bahkan para dewa pun enggan bicara tentangnya?”
Reina mengangguk pelan. “Aku membaca gulungan kuno di reruntuhan Selatan. Mereka bukan sekadar mitos. Mereka ada sebelum kerajaan pertama terbentuk. Menjaga keseimbangan kekuatan... dan menghancurkan siapa pun yang mencoba menciptakan tatanan baru.”
Ryza berdiri. “Dan kita... jelas berada dalam daftar target mereka.”
Kael menyilangkan tangan. “Apa yang kita tahu tentang mereka?”
Arwin mengusap permukaan meja, menampilkan simbol-simbol lain.
“Ada dua belas Penjaga. Masing-masing menguasai satu aspek langit: waktu, kehendak, ilusi, ruang, kematian, kehidupan, dan lainnya. Mereka tak muncul ke publik, tapi mengendalikan banyak kerajaan dari balik tirai.”
Zareth bergumam. “Jika mereka datang, maka Ordo Keabadian hanya awal.”
Kael menatap peta itu lama, lalu menyentuh simbol mata terbalik. “Aku ingin satu dari mereka. Hidup.”
---
Tiga hari kemudian, Pilar dikirim secara terpisah.
Shinzo dan Reina ke Timur, menyusup ke kerajaan suci Tyros. Ryza dan Velra ke pegunungan utara yang dipenuhi penyihir pengembara. Arwin dan Zareth menuju reruntuhan Astral, tempat konon Penjaga Kehendak pernah bangkit.
Kael sendiri berangkat ke wilayah terlarang—Lembah Nyx, tempat sihir waktu mengalir liar.
Ia berjalan seorang diri, hanya membawa tombak dan jubah.
Di dalam lembah itu, waktu membengkok. Burung-burung terbang mundur. Sungai mengalir ke atas. Dan suara-suara masa lalu berbisik di telinganya.
Kael berlutut di atas batu hitam, memejamkan mata. “Jika kau memang ada, Penjaga Waktu... muncullah.”
Tak ada jawaban.
Tapi waktu di sekelilingnya berhenti.
Semua diam.
Lalu... bayangan muncul. Sosok lelaki berjubah jam pasir, wajahnya tak terlihat, berdiri di antara realita dan mimpi.
“Kau memanggil sesuatu yang tak bisa kau kendalikan,” suara itu berkata.
Kael berdiri. “Aku memanggil karena aku ingin tahu: apa yang membuat kalian berpikir bisa menghakimi dunia dari balik tirai?”
Penjaga Waktu tidak bergerak. “Kami menjaga agar waktu tidak pecah. Dan kau... adalah titik retakan.”
Kael menyeringai. “Lalu lihatlah retakan ini membelah langit.”
Ia melompat, tombaknya menusuk dimensi.
Pertarungan pun terjadi.
Waktu pecah.
Serangan yang harusnya terjadi lima menit ke depan, diluncurkan sekarang. Kael menahan pedang masa depan dengan teknik Chaos, menghancurkan prediksi.
Penjaga Waktu melemparkan serpihan ingatan yang menyakitkan, membuat Kael kembali ke saat ibunya dibakar hidup-hidup di depan rakyat. Tapi Kael telah hidup di antara trauma—ia mengubahnya menjadi bahan bakar.
Dengan raungan, ia menghantam dada Penjaga Waktu. Tubuh entitas itu pecah menjadi debu waktu... tapi tak sepenuhnya hilang.
Suara terakhir terdengar: “Kau telah menarik perhatian... seluruh Langit.”
Kael terengah, berdiri di tengah lembah waktu yang retak.
“Biar mereka datang.”
---
Sementara itu, di Netherion...
Salah satu Pilar kembali lebih cepat dari yang lain. Velra membawa satu sosok dalam rantai hitam. Seorang perempuan muda bermata ungu, tubuhnya dikelilingi kabut.
“Dia salah satu Utusan Penjaga,” ujar Velra.
Kael turun langsung ke ruang bawah tanah.
Perempuan itu menatapnya, wajahnya pucat namun tidak takut.
“Kau pikir Chaos bisa bertahan lama? Kalian membangun istana di atas lubang jurang.”
Kael menunduk, lalu menatap lurus. “Justru dari lubang itu, kita akan naik ke bintang.”
Ia membungkuk.
“Namamu?”
Perempuan itu menatapnya tajam. “Iara. Utusan Penjaga Duka. Dan aku akan menjadi awal kehancuranmu.”
Kael tertawa kecil. “Kau salah. Kau akan menjadi saksi... kebangkitan kita.”
---
Di malam hari, Kael berdiri sendirian di atas menara Netherion.
Langit gelap, tapi bintang-bintang tampak lebih terang dari sebelumnya. Di tangannya, sebuah jimat yang ia ambil dari Penjaga Waktu—jimat berbentuk serpihan jam yang terus bergerak.
Ia menggenggamnya erat.
“Langit... dunia... masa lalu... siapa pun yang menghalangi kami…”
Api ungu berkobar di belakangnya.
“...akan menjadi batu pijakan menuju takhta.”
---