Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tekad Getot
Keesokan harinya, mentari pagi menyapa dengan sinarnya yang lembut. Getot, dengan tekad membara, bangkit dari tidurnya. "Baiklah," gumamnya penuh keyakinan, "Hari ini pasti bisa. Aku tak sudi lagi diejek si Ulet Badak itu. Lihat saja nanti, Udhet... hmmm!"
Setelah sarapan dan mandi, tanpa menunda, Getot bergegas menuju lorong bambu yang menjadi arena latihannya. Dipandanginya lagi barisan tonggak bambu itu, dan dalam hatinya ia memantapkan diri, "Aku akan berhasil!"
"Hei, Udhet! Dengar ini!" seru Getot lantang, menantang dirinya sendiri sekaligus menyindir sang sahabat yang mungkin mengawasinya. "Beratus kali pun aku jatuh, beratus kali pun tulangku patah, aku tak akan menyerah! Heyaaaaaaa...!!"
Wusss
Slappp
Seperti hari sebelumnya, Getot dengan mudah melompat tinggi, mencapai ujung tonggak bambu. Namun, keseimbangannya kembali goyah karena hanya satu kaki yang menapak. Tapi kali ini Getot punya siasat. Ketika tubuhnya mulai limbung, ia segera melompat ke tonggak bambu yang lain.
"Grokk grokkk," suara Udhet terdengar dari bawah, menyemangati Getot yang tengah berjuang keras untuk mengendalikan diri. Namun, kenyataannya memang tidak mudah. Meskipun tenaga dalamnya telah bangkit, latihan keseimbangan ini terasa seperti tantangan yang sama sekali berbeda.
Berkali-kali Getot jatuh dan terjerembab ke tanah. Entah sudah berapa banyak lebam dan tulang yang mungkin retak di tubuhnya. Namun, rasa sakit itu seolah tak mampu menghentikan semangatnya. Getot terus mencoba dan mencoba lagi, tak kenal lelah.
Hari ketiga latihan tiba, namun hasilnya masih sama. Getot terus saja jatuh, membuat Udhet mulai merasa bosan menyaksikan pemandangan yang berulang-ulang itu.
"Grokk grokk grokkk," Udhet kembali bersuara, kali ini nadanya terdengar lebih datar.
"Silakan kau pergi jika kau bosan melihatku jatuh, Udhet," balas Getot tanpa mengalihkan pandangannya dari barisan bambu. "Aku akan tetap di sini sampai berhasil."
Sebenarnya, Udhet bukan hanya bosan. Ada rasa iba yang mendalam melihat Getot terus menerus mencium tanah. Ia ingat betul, dulu saat Ki Amuraka berlatih, hanya dibutuhkan waktu dua hari saja untuk menguasai gerakan ini.
Namun, ada satu hal lain yang diam-diam membuat Udhet takjub: kemampuan penyembuhan Getot yang luar biasa cepat. Padahal sudah tak terhitung lagi berapa tulang yang patah atau retak. Ajaibnya, keesokan harinya Getot selalu bangun dan berlatih dengan tubuh yang segar bugar. Lebam dan luka di tubuhnya pun menghilang dalam semalam, seolah tak pernah ada.
Seminggu sudah Getot menghabiskan waktunya di lorong bambu. Namun kenyataannya, ia belum juga berhasil menaklukkan tantangan keseimbangan itu. Udhet bahkan tak lagi terlihat memantau perkembangan Getot. Ia sungguh tak tega melihat sahabatnya itu terus-menerus merasakan sakit akibat jatuh dan terluka setiap harinya.
"Achh... ternyata memang sulit sekali," keluh Getot seorang diri sambil terduduk lesu. Tubuhnya dipenuhi luka dan lebam yang terasa perih. Keringat bercampur darah mengotori tubuhnya. "Apakah aku sudah gagal? Bahkan Udhet tak mau lagi melihatku. Menyedihkan sekali diriku ini. Latihan yang terlihat mudah seperti ini ternyata jauh lebih susah ketimbang melumat batu yang bisa kulakukan dalam sehari saja."
Saat Getot tengah meratapi nasibnya, tiba-tiba dari kejauhan telinganya menangkap suara hewan yang paling ia jijik dan takuti.
"Kampret," gumamnya dengan wajah berkerut jijik. "Aku mendengar suara kampret. Suaranya semakin mendekat ke arah sini. Apakah mereka juga mau datang dan menertawakan kegagalanku?"
Dan benar saja, suara ratusan kampret itu semakin jelas, menuju tepat ke tempat Getot berlatih.
Getot mulai gemetaran hebat ketika melihat kawanan kampret dalam jumlah yang sangat banyak beterbangan ke arahnya.
"Huaaaaa.... mau apa kalian? Anjaayy, banyak betul...!!"
Merasa terpojok dan panik, tanpa berpikir panjang Getot melompat ke atas tonggak bambu.
"Pergi kalian... pergi... jangan mendekat...!!!" teriaknya histeris.
Namun, ratusan kampret itu seolah tak peduli dengan teriakan ketakutan Getot dan terus menyerbu dirinya.
"Siall...!!" umpat Getot dalam hati.
Karena rasa jijik dan takut yang luar biasa, akhirnya Getot mulai menghindar dengan melompat kesana kemari di atas barisan tonggak bambu.
"Pergii.... pergii.... bangsat... ehhhh kampret kalian... pergiii...!!!"
Entah sudah berapa lama Getot terus menghindar dengan melompat lincah dari satu tonggak ke tonggak lainnya. Tanpa ia sadari, selama menghindar dari kejaran para kampret itu, ia sudah bergerak dengan sangat lincah di atas bambu.
Dan sama sekali tidak jatuh. Bahkan kini gerakannya terlihat ringan dan cepat, seolah melayang-layang menghindari serbuan para kampret yang menjijikkan itu.
"Kampret sialan... pergi...!! Eh, mana Udhet ya...? Udhett......!!! Di mana kau..!! Tolong aku...!!!"
Mendengar teriakan panik Getot, Udhet segera bergerak cepat, merayap dengan sigap menuju lorong bambu. Instingnya sebagai pelindung Getot dan amanat yang diemban membuatnya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk pada sahabatnya itu.
Setiba di sana, Udhet terkejut melihat pemandangan yang tak biasa. Ratusan kelelawar hitam legam tengah mengejar Getot, memaksa pemuda itu melompat kesana kemari dengan lincah di atas ujung-ujung tonggak bambu yang sempit.
Namun, di balik keterkejutannya, Udhet merasakan kelegaan yang besar. Ia menyaksikan sendiri bagaimana Getot telah berhasil menemukan keseimbangannya. Tanpa ragu, Udhet mengeluarkan suara geraman keras yang mengintimidasi, berusaha mengusir kawanan kelelawar itu.
"Hoarghhh grok grokk!"
Mendengar suara Udhet yang menyeramkan, ratusan kelelawar itu pun kocar-kacir, terbang tunggang langgang meninggalkan Getot yang masih terlihat gelagapan dan kebingungan.
"Huuaahh... terima kasih, Udhet... untung saja kau datang. Kalau tidak, mungkin aku sudah mati ketakutan," ucap Getot dengan napas tersengal-sengal, tubuhnya terasa lemas.
Karena kelelahan yang luar biasa dan napas yang masih tersengal-sengal, Getot tanpa sadar terduduk bersila.
Namun, ia sama sekali tidak menyadari bahwa ia masih berada di atas sebuah tonggak bambu yang ujungnya hanya cukup untuk menapak satu kaki. Ajaibnya, ia duduk bersila dengan tenang di ujung bambu tersebut tanpa sedikit pun kehilangan keseimbangan.
"Huaaah, lelah sekali... kampret sialan," gumam Getot sambil menghela napas panjang.
"Grokkk grokk," sahut Udhet.
"Ya, Udhet, aku telah gagal," jawab Getot lesu. "Aku tak bisa mengimbangi diriku. Lebih baik biarkan aku keluar dari goa ini dan berguru pada orang lain. Aku tak sanggup lagi di sini."
Saking lelahnya, konsentrasi Getot benar-benar hilang. Ia bahkan menjawab perkataan Udhet tanpa benar-benar memahaminya.
"Grokk," balas Udhet singkat.
"Hah??" Getot mengerutkan kening.
"Grokk grokk," ulang Udhet.
"Apa? Aku berhasil? Dari mananya? Kau tidak lihat aku sudah babak belur begini?" tanya Getot dengan nada frustrasi.
"Grokk grokk grokk," Udhet mencoba meyakinkan.
"Hah? Aku masih di atas bambu, kau bilang?" Getot semakin bingung.
"Grokk..." jawab Udhet.
Getot pun celingukan, melihat ke bawah, ke sekeliling dirinya, dan kembali menatap tonggak bambu yang menopangnya.
"Huaaahhh... weyy weyy... aku masih di atas ternyata hahaha! Bahkan aku bisa bersila di ujung tonggak bambu!!" serunya tak percaya, menyadari keajaiban yang baru saja terjadi. Betapa senangnya ia.
"Hei, mengapa aku merasa duduk di bidang yang datar, Udhet? Padahal ujung bambu ini seharusnya bisa menembus pantatku," tanya Getot heran.
"Grokk grokk," jawab Udhet seolah membenarkan.
"Hah? Jadi tenaga dalamku sudah bangkit untuk mengimbangi tubuhku begitu?" Getot mencoba menyimpulkan.
"Grokk grookk," Udhet mengiyakan dengan antusias.
"Luar biasa... hahaha! Kau lihat, Udhet? Sepertinya ratusan kampret itu telah membantuku!" seru Getot dengan wajah berseri-seri.
"Grokkk..." balas Udhet.
"Baiklah, aku akan mencoba melompat-lompat di bambu-bambu ini. Hup... Hiyaa...!!" Dengan semangat baru, Getot mulai melompat dengan lincah dari satu ujung tonggak bambu ke ujung tonggak lainnya. Saking ringannya gerakannya, ia tampak seperti melayang-layang tanpa beban.
"Hahaha... lihat, Udhet, aku bisa! Gila... tubuhku ringan sekali...!!" pekik Getot kegirangan.
Namun, saat ia tengah larut dalam kebahagiaan, tiba-tiba tonggak-tonggak bambu itu mulai berputar pada porosnya.
"Weyy, apalagi ini... weyy, kenapa bambu ini berputar???" seru Getot panik.
Sambil terus berusaha menjaga keseimbangan, ia menoleh ke arah Udhet yang ternyata sedang memutar sebuah tuas kayu yang menempel di dinding goa dengan lidahnya.
"Dasar ulat laknat... hentikan, heyyy...!!" teriak Getot kesal.
Namun, Udhet tidak mengindahkan teriakan Getot. Ia terus memutar tuas itu, membuat Getot berputar-putar tak karuan di atas bambu.
Ini adalah bagian dari pelatihan keseimbangan dan untuk membangkitkan ilmu meringankan tubuh Getot.
"Hentikan, Udhet... aku pusinggg...!!" keluh Getot.
"Grokk grokkk," balas Udhet seolah mengejek.
"Lompatlah terus, katamu? Dasar ulat laknat! Kau hanya bisa menyiksaku saja..." gerutu Getot.
Meskipun pusing, Getot kembali memaksakan diri untuk melompat-lompat. Kali ini, setiap kali ia melompat, tubuhnya ikut berputar tak menentu mengikuti putaran bambu. Namun, dengan sekuat tenaga, Getot berusaha untuk tidak jatuh dan mengikuti "permainan" Udhet.
Beberapa jam berlalu. Kini Getot memaksakan dirinya untuk melompat lebih cepat lagi agar tubuhnya tidak terbawa oleh putaran bambu yang semakin kencang.
Dan usahanya berhasil. Gerakannya kini dua kali lebih cepat dari sebelumnya. Ia bahkan tidak lagi ikut berputar bersama bambu. Udhet hanya bisa terpana melihat Getot bergerak secepat bayangan.
Namun, kejadian seperti hari sebelumnya kembali terulang. Tubuh Getot mulai terasa panas membara dan tiba-tiba diliputi oleh kobaran api.