Shanaira Monard tumbuh dalam keluarga kaya raya, namun cintanya tak pernah benar-benar tumbuh di sana. Dicintai oleh neneknya, tapi dibenci oleh ayah kandungnya, ia menjalani hidup dalam sepi dan tekanan. Ditengah itu ada Ethan, kekasih masa kecil yang menjadi penyemangatnya yang membuatnya tetap tersenyum. Saat calon suaminya, Ethan Renault malah menikahi adik tirinya di hari pernikahan mereka, dunia Shanaira runtuh. Lebih menyakitkan lagi, ia harus menghadapi kenyataan bahwa dirinya tengah mengandung anak dari malam satu-satunya yang tidak pernah ia rencanakan, bersama pria asing yang bahkan ia tak tahu siapa.
Pernikahannya dengan Ethan batal. Namanya tercoreng. Keluarganya murka. Tapi ketika Karenin, pria malam itu muncul dan menunjukkan tanggung jawab, Shanaira diberi pilihan untuk memulai kembali hidupnya. Bukan sebagai gadis yang dikasihani, tapi sebagai istri dari pria asing yang justru memberinya rasa aman.
Yuk ikuti kisah Shanaira memulai hidup baru ditengah luka lama!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Volis, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17. Tak Sengaja Bertemu Ethan
Setelah menyantap makan siangnya hingga habis, Shanaira berjalan keluar restoran lewat pintu samping yang mengarah ke taman kecil hotel. Udara siang itu sejuk, dibelai semilir angin yang membawa aroma bunga segar dan rerumputan. Taman itu ditata dengan apik—ada jalur setapak dari batu-batu alam, bangku-bangku kayu bercat putih, dan air mancur kecil di tengahnya yang memercik pelan.
Shanaira menarik napas panjang, membiarkan udara segar membersihkan pikirannya. Perutnya terasa nyaman, tidak mual seperti pagi tadi. Ia menyentuh perutnya yang masih rata, perlahan. Lima minggu… Sulit dipercaya ada kehidupan yang tumbuh di dalam sana. Bayi yang mengubah segalanya—termasuk hidupnya.
Langkahnya pelan menyusuri setapak taman. Sesekali, ia melihat pasangan paruh baya duduk di bangku sambil bercengkerama, atau seorang ibu muda yang menggandeng balita mungil berjalan perlahan. Adegan-adegan kecil yang sederhana, tapi menenangkan.
Sementara itu di dalam dapur restoran, Karenin sibuk di antara kesibukan pesanan yang datang bertubi-tubi. Tamu-tamu hotel yang ramai makan siang membuat suasana dapur penuh dengan aroma daging panggang, saus kental, dan roti hangat yang baru keluar dari oven.
“Ivan, plating untuk meja tujuh!” seru Karenin sambil mengangkat wajan berisi stroganoff sapi yang baru matang.
Ivan sigap menyodorkan piring dan menerima wajan itu. “Tamu makin banyak, Chef. Mau saya bantu urus bagian sup juga?”
Karenin mengangguk cepat. Keringat mulai membasahi pelipisnya. Tapi pikirannya tidak sepenuhnya di dapur. Sesekali, ia mencuri pandang ke arah jendela dapur yang menghadap ke taman. Di kejauhan, ia bisa melihat sosok Shanaira yang sedang duduk di bangku taman, menyandarkan punggung, menatap langit.
Karenin kembali menunduk, memasak, namun wajah tenang istrinya yang baru saja ia lihat tadi terpatri jelas di kepalanya. Hatinya terasa sedikit lebih berat… dan lebih hangat.
*****
Shanaira berdiri dari bangku taman setelah beberapa saat duduk, lalu mulai berjalan lagi menyusuri jalur setapak. Taman itu cukup luas, membentang ke sisi lain hotel yang menghadap ke area parkir dan pintu belakang ballroom. Saat melewati deretan bunga lavender, langkahnya terhenti.
Seseorang berdiri di sana. Mengenakan kemeja biru tua dengan lengan tergulung sampai siku, dan jam tangan yang masih sama seperti dulu.
Ethan.
Shanaira terpaku di tempatnya. Matanya membesar, dadanya seketika sesak. Ethan juga melihatnya, sama-sama terkejut. Untuk sesaat, waktu seperti berhenti.
“Shana…” suara Ethan nyaris tak terdengar, tapi jelas bagi Shanaira.
Shanaira tak menjawab. Matanya menatap pria yang dulu ia impikan sebagai suami. Pria yang pernah ia cintai sepenuh hati, yang pernah berjanji akan menikahinya—di hotel ini, di tempat ini. Tapi semua itu pupus.
“Kenapa kamu di sini?” tanya Ethan, melangkah pelan ke arahnya.
Shanaira ingin bicara, tapi tenggorokannya tercekat. Ia tidak ingin menjelaskan apapun. Tidak sekarang. Tidak setelah semuanya berakhir. Ia membuang muka, berusaha mengatur napas.
“Aku hanya lewat,” jawabnya pendek, suaranya datar.
“Aku dengar kamu menikah,” kata Ethan. “Dengan pria yang katanya ayah dari bayimu. Seorang... koki kecil?”
Nada suara Ethan terdengar tajam, penuh penekanan. Shanaira mengangkat alis, menatapnya dengan pandangan datar.
“Dan kamu sudah menikah dengan Claira,” balasnya cepat, tegas. “Jadi kenapa kamu masih peduli siapa yang jadi ayah dari bayiku?”
Ethan menggigit bibirnya, rahangnya mengeras. “Karena… kamu pernah jadi segalanya buatku.”
Shanaira menahan napas sejenak, sebelum akhirnya tertawa pelan, getir. “Pernah, Ethan. Dan itu sudah berlalu. Sekarang kamu punya istri. Urus saja hidupmu. Aku juga sedang mencoba mengurus hidupku.”
Ethan menatapnya lama, seolah ingin membaca pikiran Shanaira. Tapi Shanaira tidak memberinya kesempatan.
“Kita punya hidup masing-masing. Jangan ikut campur,” katanya pelan tapi mantap, sebelum berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh lagi.
Di balik punggungnya, Ethan hanya bisa berdiri diam, menatap wanita yang dulu ingin ia nikahi tapi sekarang tampak semakin jauh.
*****
Langkah Shanaira terasa berat saat ia kembali memasuki area hotel. Udara sejuk dari pendingin ruangan menyambutnya begitu ia melewati pintu kaca besar menuju lobi. Sesekali ia menyentuh perutnya yang masih datar, seperti mencari kekuatan dari kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya.
Ia menuruni beberapa anak tangga dan tiba di lantai satu, tempat restoran bergaya Rusia milik Karenin berada. Aroma rempah-rempah dan roti panggang memenuhi udara, membuat perutnya yang sempat mual tadi justru terasa lapar lagi.
Shanaira melangkah masuk dan langsung disambut oleh salah satu pelayan yang mengenalinya sejak pagi tadi.
“Ibu Shanaira, ingin duduk di meja yang tadi lagi?” tanya pelayan itu sopan.
Shanaira hanya mengangguk pelan dan mengikuti pelayan itu menuju sudut ruangan yang agak tenang. Ia duduk, membenamkan diri di sofa empuk berlapis kain beludru merah, lalu menarik napas dalam-dalam.
Beberapa menit berlalu sebelum Karenin muncul dari balik pintu dapur, wajahnya sedikit berkeringat, celemeknya masih menempel di tubuhnya.
“Kamu udah balik?” tanyanya sambil menghampiri. “Maaf, aku belum bisa keluar lama, dapur lagi padat banget.”
“Gak apa-apa,” jawab Shanaira singkat, suaranya agak lelah.
Karenin memperhatikan wajah istrinya. “Kamu baik-baik aja?”
Shanaira mengangguk, meski dalam hatinya masih bergemuruh karena pertemuan tak terduga dengan Ethan. Ia tidak berniat membahasnya. Tidak sekarang.
“Aku buatkan jus jeruk, ya?” tanya Karenin, mencoba mencairkan suasana.
“Boleh,” sahut Shanaira pelan.
Karenin mengangguk dan kembali ke dapur, sementara Shanaira menatap ke luar jendela besar restoran, membiarkan pikirannya melayang. Meski ia masih berada di awal dari pernikahan yang terasa asing ini, ia tahu satu hal—tak ada jalan untuk kembali. Dan mungkin, perlahan, ia akan belajar berdamai dengan itu.
Sore mulai menjingga saat langkah kaki Karenin dan Shanaira menyusuri trotoar depan hotel. Karenin membawa tas kain berisi beberapa roti hangat dari dapur restoran, sementara Shanaira berjalan di sisinya dengan langkah pelan. Mereka tidak banyak bicara selama perjalanan—masing-masing tenggelam dalam pikiran sendiri.
Mereka memutuskan tidak naik taksi kali ini. Karenin merasa berjalan kaki sebentar ke arah apartemen akan baik untuk Shanaira, dan gadis itu pun tidak keberatan. Langit senja membentang indah di atas mereka, menghangatkan udara dengan cahaya keemasan yang lembut.
"Kalau kamu capek, bilang ya. Kita bisa berhenti," ucap Karenin sambil sesekali melirik ke arah Shanaira.
"Aku baik-baik saja," jawabnya singkat.
Beberapa menit berjalan dalam diam, akhirnya mereka sampai di gedung apartemen. Saat masuk ke dalam lift, suasana kembali sunyi. Shanaira berdiri di pojok, memeluk tas kecilnya, sementara Karenin menatap angka lantai yang terus bertambah.
Ketika pintu lift terbuka dan mereka melangkah ke unit apartemen mereka, Karenin langsung menuju dapur dan menyalakan teko air panas.
"Mau teh hangat? Aku ada teh herbal yang aman untuk ibu hamil," tawarnya.
Shanaira mengangguk. "Boleh."
Ia lalu duduk di sofa, melepas sepatunya dan menyandarkan tubuh ke bantal. Hari itu terasa panjang. Rumah sakit, pertemuan dengan Ethan, suasana restoran, dan sekarang... rumah. Meskipun apartemen itu masih terasa asing, dingin, dan terlalu rapi, setidaknya tempat itu lebih tenang daripada dunia luar.
Karenin meletakkan secangkir teh hangat di meja di depannya. Ia duduk di kursi seberang, tidak langsung bicara, hanya menatap Shanaira.
"Aku tahu ini semua mendadak buat kamu," ucapnya perlahan. "Tapi... kamu tidak sendiri."
Shanaira menunduk, menatap cangkir di tangannya. "Aku tahu."
Tak ada senyum. Tak ada sentuhan. Hanya dua orang asing yang terikat oleh satu kehidupan kecil yang belum lahir. Tapi di tengah keheningan itu, ada sedikit rasa saling mengerti yang mulai tumbuh.
shanaria biar ketemu bapak dari adek bayi yang ada diperutnya 😌
baca pelan2 ya sambil rebahan 🤭
salam kenal dari 'aku akan mencintaimu suamiku,' jangan lupa mampir 🤗
jangan lupa mampir jg di Menaklukan hati mertua mksh