Ini hanya kisah fiktif belaka.
Nirmala merasa tidak suka ketika anak majikannya membawa kekasihnya pulang, dia nekat pergi ke dukun agar pria itu mau menjadi suaminya. Dia memuja setan agar anak majikannya, Leo mau memutuskan hubungannya dengan kekasihnya itu.
"Aku bisa membantu kamu demi mendapatkan anak majikan kamu itu, tapi kamu harus memuja setan."
"Aku bersedia," jawab Nirmala dengan yakin.
Akan seperti apa kehidupan Nirmala selanjutnya?
Apakah dia akan mendapatkan Leo?
Yuk kita baca kisahnya, buat yang suka jangan lupa kasih bintang 5 dan komen yang menarik.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cucu@suliani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Terkaan
Nirmala malam ini bisa tertidur dengan begitu lelap, tentu karena hal yang dia inginkan sudah diwujudkan. Erika sudah dipulangkan dan sudah diceraikan, Nia juga sudah dia tumbalkan. Nikmat mana lagi yang tak dia senang.
Selain karena semua yang dia inginkan terpenuhi, malam ini Leo tidak pulang. Itu artinya dia tak ada yang mengganggu dalam tidur lelapnya, karena jika ada pria itu, Nirmala tak akan tidur dengan tenang.
"Jam berapa ini?"
Nirmala membuka matanya yang begitu berat, kalau saja tak ada ibunya yang datang dan membangunkan dirinya, sepertinya Nirmala sampai saat ini masih menikmati tidurnya.
"Ini udah jam sembilan loh, kamu gak bangun? Gak ke pabrik?"
Bi Ratmi menegur putrinya, Nirmala sebenarnya merasa tenang walaupun tidak pergi ke pabrik. Karena tidak ada Leo ataupun juragan Bagus, tetapi dia tak enak juga kalau tak pergi dengan ibunya itu.
"Kerja, Bu. Tadi malem susah tidur, tidurnya udah hampir pagi. Jadi jam segini masih ngantuk," ujar Nirmala beralasan.
"Ya udah, buruan bangun. Ibu sudah buatkan sarapan," ujar Bi Ratmi.
"Ya, Bu."
Nirmala merasa lemas, setiap langkahnya terasa berat. Lantai yang dingin menyentuh telapak kakinya membawa rasa malas lebih besar.
Dia memegang dinding, berusaha menarik diri dari godaan untuk kembali ke kasur yang terasa lebih nyaman untuk ditiduri. Matanya terpejam sejenak, mengingat lelahnya tadi malam bekerja hingga larut.
Bekerja dalam arti berusaha untuk melenyapkan nyawa seseorang, tumbal yang diminta oleh si Cebol untuk kepentingan dirinya di masa depan.
"Mungkin sebentar lagi," gumamnya pada diri sendiri, berharap beberapa menit lagi bisa memberikan kekuatan untuk memulai hari.
Namun, dia takut kalau terlalu lama diam atau bahkan merebahkan tubuh kembali di atas tempat tidurnya, malah akan kebablasan.
"Mandi ajalah," ujar Nirmala pada akhirnya.
Nirmala tiba-tiba saja merasa gelisah, dia takut kalau suami dan juga ayah mertuanya itu akan segera datang. Rona khawatir terpancar dari matanya yang mengingat Leo pasti pagi-pagi sekali akan pulang ke kampung halaman mereka.
"Leo dan ayah Bagus pasti sebentar lagi pulang," gumamnya, hatinya diliputi ketakutan akan penilaian mereka terhadap dirinya.
Nirmala dengan cepat melakukan ritual mandinya, setelah selesai dia langsung memakai baju dan pergi ke ruang makan. Dia menikmati sarapan yang sudah dibuatkan oleh ibunya, setelah itu dia berpamitan untuk bekerja.
"Bu, aku akan pergi untuk bekerja. Kalau suamiku pulang, Jangan bilang aku bangun telat."
"Iya, udah sana kerja. Yang rajin kerjanya, siapa tau digaji besar sama suami kamu."
"Iya, Bu." Nirmala tersenyum, lalu dia pergi bekerja dengan meminta diantarkan oleh sopir menuju pabrik.
Saat Nirmala melangkah ke ruang pembuatan sandal, suara bisikan para buruh seketika membahana di telinganya. Mereka sedang membicarakan Nia, wanita yang tadi sore pergi bersama dirinya ke perbatasan kata.
Wanita yang dia ajak makan bersama, dia bahkan membelikan banyak barang untuk wanita itu. Barang-barang itu dia simpan di kebun karet, tempat di mana Nia dia tinggalkan.
Tentu saja hal itu dia lakukan karena ada niat terselubung di balik itu, Nirmala begitu matang mempertimbangkan kejadian yang nantinya akan dibahas banyak orang itu.
Nirmala kini menatap para buruh dengan hati yang berdebar dan mata yang cermat, berpura-pura lengah dan tidak menyadari apa yang sedang bergulir di balik kata-kata hampa mereka.
Namun, di dalam dadanya, ada kecemasan mulai memuncak seperti gelombang yang siap pecah. Karena walau bagaimanapun juga Nirmala sudah mengantarkan Nia untuk menjadi tumbal.
"Ada apa sih? Kok kayaknya pada serius banget?"
Nirmala mulai menghampiri para buruh yang sedang bekerja, lalu tangannya juga mulai ikut sibuk mengerjakan apa pun yang bisa dikerjakan di sana.
"Nia, Nir. Nia hilang, dari malem gak pulang."
Salah satu buruh wanita menjawab pertanyaan Nirmala dengan kencang, karena suara mesin pembuat sendal terdengar begitu berisik sekali.
Di tengah hiruk pikuk suara mesin pembuat sendal yang menggema, Nirmala terpaksa mendekatkan telinganya untuk menangkap jawaban sang buruh wanita.
"Apa bisa diulang? Aku tidak dengar!" teriak Nirmala, berusaha menembus kebisingan yang memekakkan telinga itu.
Sambil menganggukkan kepalanya, buruh itu menjawab lebih keras, wajahnya menunjukkan kekesalan karena harus bersaing dengan suara bising mesin.
"Nia gak pulang dari malem, dari bubaran pabrik dia pergi entah ke mana!"
Seorang buruh lainnya menimpali ucapan sahabatnya, Nirmala pura-pura merasa kasihan dan juga sedih. Dia menampilkan wajah sedihnya sambil berkata.
"Kok bisa ya, gak pulang? Kira-kira ke mana dia?"
"Entahlah," jawabnya.
Mereka lalu diam dan melakukan pekerjaan seperti biasanya, hingga jam istirahat tiba Mereka pergi ke kantin. Tentunya mereka di sana makan siang dan juga masih saja membicarakan tentang niat yang tak kunjung pulang.
"Dia selama ini nggak pernah macam-macam loh, kok bisa ya dia pergi dari sore sampai sekarang nggak pulang-pulang?"
Salah satu buruh pabrik sambil mengunyah mengatakan hal seperti itu, tentunya karena dia masih merasa penasaran dengan apa yang terjadi terhadap Nia.
"Mungkin dia bosen kali sama kehidupan dia yang sekarang, makanya pergi begitu aja."
"Hooh, emaknya Nia kan' miskin banget."
"Hush! Kalian itu suka aneh aja ngomongnya, udah jangan ngomongin Nia. Makan aja yang banyak," ujar Nirmala.
"Kita kepo aja, heran juga. Menurut kamu gimana?"
Salah satu buruh pabrik nampak bertanya kepada Nirmala, wanita itu tersenyum dengan penuh kelicikan dan berkata.
"Aku kayaknya beberapa kali lihat dia chattingan sama cowok deh, mungkin dia ketemuan sama cowok."
"Serius?" tanya para burung wanita yang sedang berkumpul itu.
"Iya, kalau nggak salah dengar dia mau ketemuan ama cowok gitu. Sore sih aku dengar dia lagi teleponan, katanya mau belanja dan makan di kota."
"Info penting ini, aku bilang dulu sama emaknya. Siapa tau ada petunjuk nantinya, kasian emaknya nangis terus."
Wanita itu izin untuk pergi ke rumah Nia, dia ingin mengatakan apa yang sudah dia dengar dari Nirmala. Nirmala tersenyum penuh arti, lalu dia kembali melanjutkan makan siangnya.
'Harus cuci tangan dengan bersih, lagian aku tidak meninggalkan jejak. Akan sangat aman,' ujar Nirmala dalam hati.
Selesai makan Nirmala langsung pergi untuk bekerja kembali, karena waktu istirahatnya sudah habis dipakai untuk mengobrol dengan para buruh tadi.
Saat baru mau mulai bekerja, dia dipanggil oleh mandor pabrik dan diminta untuk masuk ke dalam ruangan Leo. Nirmala menurut, walaupun dia tidak tahu kenapa harus datang ke tempat suaminya itu.
"Mas!" pekik Nirmala saat dia membuka pintu ruangan Leo.
Ternyata Leo sudah pulang, pria itu langsung datang ke pabrik karena begitu merindukan istrinya. Dia sengaja meminta mandor pabrik untuk memanggil Nirmala, karena dia ingin berdua-duaan bersama dengan istrinya tersebut.
"Mas kangen," ujar Leo yang langsung menggendong Nirmala dan merebahkan tubuh wanita itu di atas sofa yang ada di ruangan itu.
"Jangan di sini, nanti ada orang denger."
"Semua karyawan lagi pada kerja, suara mesin juga begitu berisik. Gak akan ada orang yang denger," ujar Leo yang nampak mengunci pintu ruangan tersebut.
Lalu, pria itu pun mengajak istrinya untuk enak enak. Nirmala tentu saja dengan siap melayani suaminya, karena dia juga haus akan kenikmatan itu.