Rania Alesha— gadis biasa yang bercita-cita hidup bebas, bekerja di kedai kopi kecil, punya mimpi sederhana: bahagia tanpa drama.
Tapi semuanya hancur saat Arzandra Adrasta — pewaris keluarga politikus ternama — menyeretnya dalam pernikahan kontrak.
Kenapa? Karena Adrasta menyimpan rahasia tersembunyi jauh sebelum Rania mengenalnya.
Awalnya Rania pikir ini cuma pernikahan transaksi 1 tahun. Tapi ternyata, Adrasta bukan sekedar pria dingin & arogan. Dia manipulatif, licik, kadang menyebalkan — tapi diam-diam protektif, cuek tapi perhatian, keras tapi nggak pernah nyakitin fisik.
Yang bikin susah?
Semakin Rania ingin bebas... semakin Adrasta membuatnya terikat.
"Kamu nggak suka aku, aku ngerti. Tapi jangan pernah lupa, kamu istriku. Milik aku. Sampai aku yang bilang selesai."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sylvia Rosyta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
PCTA 17
Rania mengangkat wajahnya perlahan, menatap mata Adrasta yang penuh determinasi. Hatinya bergejolak, antara ketakutan, kebencian, dan keputusasaan. la tahu bahwa pilihan yang dimilikinya sangat terbatas. Menyelamatkan Rey berarti mengorbankan dirinya, namun menolak Adrasta berarti mengirim Rey ke kematian yang pasti.
Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya, namun ia menahannya agar tidak jatuh. Dengan suara bergetar, ia akhirnya berkata, "Aku... aku akan memenuhi kewajibanku sebagai istrimu." Senyum kemenangan terukir di wajah Adrasta. Tanpa menunggu lebih lama, ia melangkah mendekati Rania, menariknya untuk mendekat kepadanya, dan tanpa peringatan, bibirnya menempel kuat pada bibir Rania.
Ciuman itu intens, penuh gairah yang tertahan, seolah ingin menegaskan kepemilikannya atas wanita di hadapannya. Rania terkejut dengan serangan mendadak itu. Napasnya tersengal, hampir kehilangan udara karena intensitas ciuman Adrasta. la merasakan betapa kuatnya keinginan Adrasta untuk memilikinya sepenuhnya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, berusaha menahan diri dari dorongan untuk mendorong pria itu menjauh.
Adrasta merasakan ketegangan Rania, namun itu tidak menghentikannya. Sebaliknya, ia semakin memperdalam ciumannya, tangannya melingkari pinggang Rania, menariknya lebih dekat hingga tidak ada jarak di antara mereka. la ingin Rania merasakan betapa besar hasrat dan keinginannya.
Setelah beberapa saat yang terasa seperti keabadian bagi Rania, Adrasta akhirnya melepaskan ciumannya. la menatap wajah Rania yang memerah, napasnya yang tersengal, dan matanya yang berkaca-kaca. Dengan lembut, ia menyapu rambut yang menutupi wajah Rania, lalu berbisik, "Mari kita lanjutkan di kamarku, sayang." Tanpa memberikan kesempatan bagi Rania untuk menolak, Adrasta menggenggam tangannya dan membimbingnya keluar dari kamarnya menuju kamar utama mereka yaitu kamar Adrasta.
Setiap langkah yang mereka ambil terasa berat bagi Rania, namun ia tahu bahwa ini adalah harga yang harus dibayarnya untuk menyelamatkan Rey. Sesampainya di kamar utama, Adrasta menutup pintu dengan perlahan, menciptakan batas antara mereka dan dunia luar. la menatap Rania dengan intens, lalu berkata dengan suara lembut namun penuh otoritas, "Malam ini, kau adalah milikku sepenuhnya."
Rania menelan ludah, mencoba mengumpulkan keberanian. la tahu bahwa malam ini akan menjadi ujian terberat dalam hidupnya. Dengan hati yang berat, ia mempersiapkan dirinya untuk menghadapi takdir yang telah ditentukan oleh pilihan yang terpaksa ia ambil.
Langkah kaki Adrasta terdengar perlahan mendekat ke arah Rania. Sorot matanya masih sama gelap, tajam, penuh hasrat kepemilikan, namun juga mengandung sesuatu yang sulit diartikan. Rania menelan ludah pelan, tubuhnya kaku berdiri di tempat, mencoba menahan rasa gugup yang perlahan-lahan mulai menyerangnya tanpa ampun.
Di hadapannya, Adrasta mulai melepaskan kancing kemeja hitam yang membalut tubuhnya. Satu per satu... dengan tempo yang teramat pelan, seolah sengaja ingin memperlihatkan pada Rania bahwa ia bukan hanya akan mengambil keputusan atas hidup Rey, tapi juga atas tubuh dan hati Rania. Kemeja itu akhirnya jatuh ke lantai, memperlihatkan tubuh Adrasta yang tegap, berotot, dan sangat maskulin.
Setiap guratan di badannya, setiap lekukan ototnya - terlihat begitu nyata di bawah remang cahaya kamar vila yang mewah itu. Rania merasakan detak jantungnya semakin berdegup kencang. Ada rasa gugup. Ada takut. Tapi ada pula sesuatu yang sulit ia tolak - entah karena aura Adrasta yang selalu mendominasi, atau karena dirinya memang terlalu rapuh di hadapan laki-laki itu.
Langkah Adrasta terus mendekat... mendekat... hingga akhirnya jarak di antara mereka hampir tak bersisa. "Degup jantungmu cepat sekali," gumam Adrasta rendah di telinganya, suaranya serak menggoda. "Kamu takut... atau mulai menyerah sama aku, hm?"