Berawal dari ganti rugi, pertengkaran demi pertengkaran terus terjadi. Seiring waktu, tanpa sadar menghadirkan rindu. Hingga harus terlibat dalam sebuah hubungan pura-pura. Hanya saling mencari keuntungan. Namun, mereka lupa bahwa rasa cinta bisa muncul karena terbiasa.
Status sosial yang berbeda. Cinta segitiga. Juga masalah yang terus datang, akankah mampu membuat mereka bertahan? Atau pada akhirnya hubungan itu hanyalah sebatas kekasih pura-pura yang akan berakhir saat mereka sudah tidak saling mendapatkan keuntungan lagi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rita Tatha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 17
"Pak Rama beneran enggak cemburu?" Lily melangkah mendekat untuk melihat raut wajah Rama. Lelaki itu semakin berpaling dan gugup. Apalagi jaraknya dengan Lily sedekat itu.
"Untuk apa aku cemburu?" gumam Rama lirih. Namun, masih bisa didengar oleh Lily.
"Ya, barangkali aja. Antara Pak Rama dan Om Tampan itu ...." Lily diam. Menggantungkan ucapannya. Sementara Rama langsung menoleh ke arah Lily hingga keduanya saling bertatapan dalam. Ditatap sedalam itu, membuat Lily salah tingkah sendiri.
"Antara aku dan Brian apa?"
"Emmm ... Gimana cara ngomongnya ya, Pak. Gini aja deh, Pak Rama tenang saja. Saya enggak akan merebut Om Tampan dari Bapak. Saya dan Om Tampan itu hanya menjadi kekasih sementara. Jadi, setelah urusan saya dan Om Tampan selesai, saya akan kembalikan Om Tampan kepada Bapak. Aduh!"
Lily mengusap kening yang disentil keras oleh Rama. Lelaki itu menunjukkan kekesalan. Membuat Lily semakin bingung.
"Kenapa wajah Pak Rama jelek sekali. Apa saya salah bicara?"
"Kamu bilang apa? Lily ... dari perkataan yang kamu ucapkan tadi, apakah kamu berpikir bahwa aku cemburu melihat Brian dekat denganmu. Kamu pikir aku dan Brian punya hubungan?" tanya Rama. Lily mengangguk cepat.
"Seperti ini." Lily mengetukkan jari seperti burung yang sedang berciuman. Sambil memajukan bibir seperti sedang mengecup.
"Astaga ...." Rama mengusap wajah. Seperti frustrasi. Menghadapi Lily memang membutuhkan kesabaran ekstra. "Bagaimana bisa kamu berpikir bahwa aku dan Brian itu memiliki hubungan. Apa otakmu benar-benar bermasalah?!" Nada bicara Rama meninggi.
Ah, rasanya gemas sekali sampai ingin merem*s-rem*s gadis itu.
"Pak, sekarang itu banyak pria tampan yang melenceng. Mereka hanya menjadikan seorang wanita untuk menutupi hubungan mereka. Apalagi waktu itu Pak Rama memberi bunga spesial untuk Om Tampan."
"Astaga, dia yang memesan itu. Aku tidak tahu untuk siapa. Lagi pula, dengan itu bukan berarti aku dan Brian adalah salah satu di antara mereka, para hom*seks! Aku ini pria normal. Apa kamu mau membuktikan bahwa aku ini pria normal." Rama tersenyum licik sambil melangkah maju, tetapi Lily langsung mundur dan melindungi aset berharga miliknya.
"Bapak jangan macam-macam. Saya ini masih anak di bawah umur."
Rama melongo, lalu terkekeh setelahnya. "Mana ada gadis berumur dua puluh lima tahun itu termasuk anak di bawah umur. Apalagi sudah tahu tentang pacaran."
"Ish, Pak Rama. Nyenengin aku dikit kenapa sih, Pak." Lily merajuk. Membuat Rama tersenyum simpul. "Saya mau kembali kerja aja, Pak."
"Tunggu dulu." Rama menahan tangan Lily saat gadis itu hendak pergi dari sana. "Aku belum mengatakan apa tujuanku memanggilmu ke sini."
"Oh iya." Lily menepuk kening lalu berdiri berhadapan dengan bosnya lagi. "Lepasin tangan saya, Pak. Nanti Bapak jatuh cinta."
Celotehan Lily seketika membuat Rama segera menurunkan tangannya.
"Jadi, gini. Nanti malam aku ada pertemuan dengan beberapa pemilik toko bunga ternama. Kami memiliki komunitas. Setiap yang datang wajib membawa pasangan. Jadi, apakah kamu mau menemaniku?" pinta Rama hati-hati.
"Sepertinya enggak bisa, Pak. Kenapa Pak Rama enggak ngajak pacar Pak Rama aja?"
"Aku tidak punya pacar!"
"Eh, Pak Rama jomblo?" tanya Lily. Rama mengangguk. "Jadi, apakah benar kalau Pak Rama dan Om Tampan itu anu ya." Lily bergumam lirih.
"Kamu bicara apa?" Rama menatap tajam. Lily menunjukkan dua jari tanda damai. "Sudahlah. Aku harap kamu tidak menolak. Kamu tenang saja, kalau kamu bersedia menemaniku malam ini, aku akan memberi gaji dobel bulan ini."
"Yang bener, Pak?" Wajah Lily nampak semringah. Rama mengangguk cepat. Sepertinya ia bakal bisa menaklukan Lily. "Baiklah, nanti Bapak jemput saya di rumah sekalian izin sama Ayah. Saya kerja dulu, Pak."
"Astaga anak ini." Rama menggeleng saat melihat Lily sudah pergi dari ruangannya. Gadis itu benar-benar membuatnya salah tingkah. Ada saja kelakuannya. Jujur, dalam hati Rama merasa bahagia dan tidak sabar untuk pergi bersama Lily nanti malam.
***
Saat istirahat makan siang bersama Ines, ponsel Lily berdering. Gadis itu pun segera mengambilnya dari saku. Ines yang melihat ponsel baru Lily pun melongo. Ia tidak tahu kalau Lily punya ponsel baru.
"Hallo, Om."
"Nanti malam aku akan mengajakmu makan malam."
"Gue enggak bisa, Om."
"Kenapa?" tanya Brian. Lily diam. Bingung harus berkata jujur atau tidak. "Jangan menyembunyikan apa pun dariku!"
"Em ... jadi gini, Om. Nanti malam gue udah janji mau nemenin Pak Rama."
"Ke mana?"
"Ada pertemuan komunitas pemilik toko bunga, dan gue disuruh nemenin Pak Rama. Gue udah janji. Mana mungkin gue ingkar janji, Om."
"Kenapa Rama sialan itu mengajakmu, bukan karyawan lain saja."
"Mana gue tahu, Om. Mungkin karena gue cantik dan menggemaskan," sahut Lily menggoda.
"Cih! Percaya diri sekali." Brian berdecih keras. "Ya sudah, terserah kamu saja. Tapi, jangan macam-macam. Ingat, kamu adalah wanitaku. Jangan berani macam-macam dengan pria lain!"
"Hmmm."
"Hmmm? Aku bicara padamu dan kamu hanya membalas hmm saja?"
"Lalu gue harus jawab apa?"
Tut tut Tut.
Panggilan itu justru terputus begitu saja. Lily ikutan kesal. Sementara Ines hanya menggeleng melihat sahabatnya.
"Ly, ponsel elu baru? Mahal banget kayaknya."
"Dibeliin Om Tampan. Elu tahu, ponsel gue dibanting si Yasmin. Sampai hancur berantakan dan sekarang gue kehilangan kenangan ibu gue. Semua foto dan video ibu ada di hp itu."
"Elu enggak nyimpen di kartu memori?"
"Apesnya gue itu, belum ada satu pun yang gue pindah." Lily menghela napas panjang. Hanya foto di rumah yang masih dimiliki oleh Lily.
"Yang sabar ya, Ly. Oh iya, elu nanti malam jadi nemenin Pak Rama?"
"Jadilah, kapan lagi gue dapat gaji dua kali lipat, Nes. Gue bisa ngasih uang Bibi Imah saat gajian nanti."
"Pak Rama baik banget sama elu, jangan-jangan dia suka sama elu, Ly," ujar Ines asal.
"Jangan ngawur! Elu enggak lihat, galaknya Pak Rama sama gue? Entah, dia lagi kesambet setan apa, bisa baik sama gue. Biasanya gue telat aja langsung potong gaji, gue ketahuan tidur, potong gaji. Pokoknya dia itu nyebelin banget," cerocos Lily sambi mengunyah makanan.
Ines terkekeh. "Habisnya, elu emang nyebelin banget. Gue aja kadang gedeg sama elu."
"Nes, elu jangan mulai. Gue lagi PMS dan pengen makan orang!"
"Ih, takut." Ines tergelak sambil terus menggoda sahabatnya.
"Ehemm. Kalian mengobrol asik sekali. Boleh gue gabung?"
Lily dan Ines mendongak bersamaan.
"Arvel?"
kenapa Lily begitu syok melihat Om tampan datang yang ikut hadir dimalam itu 🤦