Kenyataan menghempaskan Dion ke jurang kekecewaan terdalam. Baru saja memutuskan untuk merangkak dan bertahan pada harapan hampa, ia justru dihadapkan pada kehadiran sosok wanita misterius yang tiba-tiba menjadi bagian dari hidupnya; mimpi dan realitas.
Akankah ia tetap berpegang pada pengharapan? Apakah kekecewaan akan mengubah persepsi dan membuatnya berlutut pada keangkuhan dunia? Seberapa jauh kenyataan akan mentransformasi Dion? Apakah cintanya yang agung akhirnya akan ternoda?
Apapun pilihannya, hidup pasti terus berjalan. Mengantarkan Dion pada kenyataan baru yang terselubung ketidakniscayaan; tentang dirinya dan keluarga.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gosip Konspirasi
Beberapa hari kemudian, Dion sudah menyiapkan dua draft undangan dengan desain berbeda. Ia berencana menemui Kiki untuk mendiskusikannya. Namun, ia teringat permintaan Amri untuk membahas rencana kerja sama dalam lomba maraton yang diselenggarakan asosiasi pimpinan Kiki.
Mereka baru menyelesaikan rapat antar unit yang rutin diadakan setiap Senin pagi. Dion melirik ke samping, ke arah Meyleen yang duduk di sebelahnya.
“Bagaimana perjalananmu?” tanyanya.
“Melelahkan. Tadinya kupikir bisa punya waktu sedikit bersantai, tapi kantor pusat malah mengadakan rapat maraton sampai tengah malam, tiga hari berturut-turut.”
“Harusnya aku sudah kembali ke Medan hari Jumat lalu, tapi karena ada hal-hal tak terduga, rapat diperpanjang. Baru kemarin siang aku tiba di sini,” tambah Meyleen.
Dion mengangguk paham. Ia tahu Meyleen baru saja menghadiri rapat penting di kantor pusat mereka di Surabaya. Pandangannya tertuju pada cangkir kopi di depan Meyleen yang hampir tak tersentuh.
“Meyleen nggak suka kopi? Ayo diminum, biar punya energi tambahan,” ujar Dion sambil menunjuk cangkir itu.
Meyleen tersenyum tipis, lalu meraih cangkirnya.
“Ngomong-ngomong, Selain mengurusi unit, apa Meyleen punya energi ekstra hari ini?” tanya Dion lagi.
“Energi untuk apa?” tanya Meyleen bersemangat karena ia merasa Dion ingin mengajaknya melakukan sesuatu.
Dion lalu menceritakan rencana lomba maraton yang akan digelar oleh asosiasi pimpinan Kiki.
“Mereka ingin menjadikan kita sebagai media partner utama. Pak Amri sudah menyetujui, dan beliau ingin Meyleen yang mengoordinasikannya,” jelas Dion.
“Bukan begitu, Bang?” tambahnya sambil melirik ke arah Amri yang tengah berbincang dengan dua redaktur, Agus dan Felix.
“Oh, benar,” sahut Amri. “Kupikir ini kesempatan bagus buat unit marketing. Profil asosiasi itu cocok dengan target pasar kita. Itu pun kalau Ibu Mei tidak keberatan,” lanjutnya.
Meyleen tersenyum antusias, lalu bertanya, “Event-nya kapan digelar, Bang?”
Dion memberi isyarat agar Meyleen mendekat ke Amri. Meyleen pun berdiri, membawa cangkir kopinya, lalu memilih duduk di hadapan pemimpin redaksi mereka.
“Kalau tidak salah, Juli. Dion yang lebih tahu detailnya,” sahut Amri. Ia tersenyum puas karena Meyleen akhirnya mulai terbiasa memanggilnya ‘Abang’, tanda gadis itu mulai akrab dengan lingkungan kantor.
“Asosiasi eksekutif muda itu organisasi yang cukup berpengaruh di kota ini. Banyak pengusaha, pemimpin, dan politisi hebat yang merupakan alumninya,” tambah Amri.
Percakapan pun berlanjut, membahas bagaimana organisasi yang dipimpin Kiki ini memiliki reputasi prestisius. Amri menjelaskan betapa sulitnya menjadi anggota asosiasi tersebut.
“Mereka punya standar tinggi untuk keanggotaan. Selain jumlah aset yang dikelola, jumlah karyawan, reputasi perusahaan calon anggota juga menjadi pertimbangan penting. Meskipun seseorang sudah memenuhi syarat-syarat itu, mereka masih harus mendapatkan rekomendasi dari dewan keanggotaan,” paparnya.
Felix yang sejak tadi mendengarkan ikut berkomentar. “Banyak isu tentang asosiasi itu. Katanya mereka sangat powerful, punya pengaruh besar, bahkan ada yang bilang mereka berbahaya.”
Dion tertawa kecil. “Seperti organisasi freemasonry, ya Bang?” candanya.
Agus yang sedari tadi diam ikut nimbrung. “Ya, mirip-mirip. Bedanya, skalanya lebih kecil.”
“Di antara abang ada yang kenal dengan pimpinan asosiasi itu?” tanya Meyleen.
Agus dan Felix menggeleng-gelengkan kepala tapi kemudian dengan gestur kepala keduanya menunjuk pada Amri. Memahami gestur itu, Meyleen kemudian mengalihkan pandangannya pada Amri.
Mendapati dirinya dipandangi ketiga lawan bicara, Amri justru menunjukkan jari pada Dion.
“Ricky Rizky itu keponakan Sutan Azhari temanku. Tapi Dion lah yang lebih dekat dengannya,” ujar Amri yang sebenarnya berniat bercanda dengan sedikit berbohong.
Kata-kata Amri tentu saja membuat kaget Agus dan Felix. Tapi Meyleen yah yang lebih heran. Ia semakin merasa Dion adalah pemuda yang misterius.
“Jangan-jangan si Dion ini anggota freemason,” celetuk Felix membuat semua orang di ruangan itu tertawa.
“Iya Bang. Kamilah yang menentukan siapa yang bisa menjadi pemimpin di negeri ini dan siapa-siapa yang boleh sukses dan siapa yang harus disingkirkan,” Dion menimpali dengan candaan, menambah riuhnya suara tawa.
“Kau ajaklah si Mey menemui dia,” usul Amri kemudian pada Dion.
“Iya bang. Itu makanya tadi aku suruh dia minum kopi supaya ada tenaga. Soalnya aku ada janji makan siang dengan Kiki hari ini,” sahut Dion.
Mendengar kata-kata itu, Meyleen pun menyeruput kopi di cangkirnya. “Aku punya energi berlebih hari ini. Tapi tanggung jawab loh kalau aku tidak bisa tidur malam ini,” katanya yang memang tak terbiasa dengan asupan kafein.
Felix tertawa kecil. “Ah gampang lah itu. Kalau sampai tengah malam belum tertidur, telepon kami saja dan ikut nongkrong bersama kami sehabis jam kantor. Malam ini giliran si Dion mentraktir.”
Meyleen sangat senang pagi itu karena merasa akhirnya mulai diterima oleh lingkaran pergaulan kantornya.
...***...
Dion kembali ke ruangannya untuk menyiapkan daftar belanja mingguan unitnya yang harus ia diserahkan ke bagian keuangan. Ingin memeriksa logistik di unitnya, Dion kemudian memasuki ruang produksi yang berada tepat di samping ruangannya.
Ruangan itu cukup luas dengan komputer yang berjejer di sisi kanan dan kiri. Satu meja komputer terpisah, berada di tengah-tengah membelakangi dinding. Meja itu diperuntukkan bagi Dion yang juga otomatis adalah kepala desainer.
Untuk beberapa saat ia menyempatkan diri untuk berbincang dengan dua karyawan produksi yang baru tiba pagi itu. Laras seorang copywriter pemula dan Aaliyah, desainer berpengalaman yang juga rekan sekerja Dion di perusahaan sebelumnya.
Dion memang hanya menempatkan staf wanita untuk bekerja pada shift siang yang utamanya mengerjakan halaman yang tidak terlalu aktual seperti rubrik opini, berita daerah, hiburan dan pendidikan.
“Bagaimana kabar abang, Kak? Sudah lama tidak bertemu dia,” Dion menanyakan kabar suami Aaliyah.
“Sehat-sehat saja. Iya. Soalnya suamiku sekarang pulangnya lebih telat. Jadi setiap sore aku pulang sendiri tidak dijemput, makanya Dion tak pernah lagi bertemu dia,” jawab Aaliyah.
“Titip salam sama Bang Salim, ya. Bilang padanya untuk menyiapkan lagu buat acara ulang tahun perusahaan Agustus nanti. Aku sudah rindu menyanyi duet sama abang,” ujar Dion disambut senyum Aaliyah.
“Iya! Nanti kusuruh abangmu itu memilih lagu patah hati yang paling sedih,” sahutnya dengan nada meledek.
“Jangan dong, nanti aku nggak kuat. Lagipula nggak cocok Bang Salim nyanyi lagu patah hati. Memangnya kakak pernah bikin dia patah hati?” tanya Dion membuat Laras juga ikutan tertawa.
Sedikit banyak, Aaliyah memang mengetahui riwayat percintaan Dion yang sudah berakhir sejak setahun lalu. Aaliyah merasa bersimpati pada pemuda yang dahulu merupakan juniornya itu, apalagi hingga kini Dion masih belum menemukan pacar baru.
Beberapa kali Aaliyah menasihatinya untuk mencari pacar baru, tapi Dion selalu menghindari topik pembicaraan itu. Sama seperti pagi itu. Mendengar Aaliyah mulai menyinggung soal patah hati, Dion segera mencari alasan untuk meninggalkan ruang produksi.
“Kak, aku ke bagian keuangan dulu mau menyampaikan daftar belanjaan unit kita,” Dion ingin pamit.
“Kabur!” seru Aaliyah meledek.
Dion hanya tersenyum tipis mendengar ledekan Aaliyah. “Kalau nggak ada urusan di bawah, nanti aku kembali ke sini,” ujarnya sesaat sebelum melangkahkan kakinya meninggalkan ruangan itu.
“Kasihan dia. Sepertinya belum bisa melupakan mantannya,” kata Aaliyah pada Laras yang duduk di sampingnya.
“Pacar Bang Dion dulu kerja di mana, Kak?” tanya Laras.
“Waktu itu masih mahasiswa. Tapi mantan pacar si Dion itu cantik sekali, seperti artis-artis sinetron gitu. Udah itu baik dan ramah. Dion pernah membawanya beberapa kali ke acara kantor. Mereka kelihatan cocok sekali dan lucu,” Aaliyah terkenang pada Wina.
“Kenapa mereka putus?” tanya Laras lagi.
“Masalah itu aku tak tahu pasti. Yang aku tahu, pacarnya itu dipindah kuliah ke Jakarta oleh keluarganya karena tidak setuju memiliki hubungan dengan Dion. Sehabis itu tahu-tahu sudah putus,” tutur Aaliyah.
“Kenapa tidak setuju, Kak? Bukannya bang Dion itu tampan, baik, pintar dan rajin bekerja,” Laras penasaran dengan sejarah percintaan atasannya.
Aaliyah menyahut pertanyaan itu dengan menggesekkan jempol dan telunjuknya berulang kali.
“Masalah ekonomi?” tanya Laras menebak gestur Aaliyah.
“Perekonomian dan strata sosial. Dan…” Aaliyah memutus kalimat dan mendekat pada Laras. Ia ingin melanjutkan dengan nada lebih rendah.
“Karena si Dion itu sebenarnya anak yatim piatu. Keluarga pacarnya yang konon berasal dari keluarga terhormat dan kaya raya tak bisa menerima status Dion itu,” gosip Aaliyah setengah berbisik.
“Kau tau? Ini isu… Laras tidak usah bercerita ke orang lain. Ini rahasia!” bisik Aaliyah lagi membuat Laras yang semakin penasaran menganggukkan kepala.
“Dion itu pernah hampir mati dibunuh oleh keluarga pacarnya itu. Mereka berkonspirasi dengan begundal. Kau tahu? Luka di wajahnya itu akibat pisau orang-orang suruhan. Selain itu, kepala, rusuk, dan kakinya dihajar dengan balok. Wajah dan sekujur badannya juga biru-biru karena dipukuli,” sambung Aaliyah membuat Laras membelalakkan mata hampir tak percaya.
“Wah, segitunya Kak? Untung Bang Dion masih bisa selamat, ya” kata Laras kemudian.
“Iya. Sepertinya Tuhan masih melindunginya. Tiga hari dia tak sadarkan diri akibat pendarahan di otak. Kami bergantian menjaganya di rumah sakit. Dua bulan lebih dia harus mengenakan tongkat karena kakinya patah dibalok,” Aaliyah melanjutkan gosipnya.
“Astaga! Setelah semua itu, Bang Dion masih mengharapkan mantan pacarnya itu?” tanya Laras lagi.
“Soal apa dia masih berharap aku tak tahu. Yang pasti Dion belum bisa melupakannya. Aku sih maklum, soalnya perempuan itu, Wina namanya, cantik luar biasa seperti bidadari,” jelas Aaliyah.
“Bagaimana dengan Ibu Meyleen? Isunya dia dan Dion semakin dekat belakangan hari ini,” tanya Laras.
Sejenak Aaliyah menggelengkan kepala. “Aku tidak terlalu menyukai si Meyleen itu. Agak sombong begitu. Tapi masih lebih baik dari pada terus mengharap pada mantannya itu. Meyleen sih cantik tapi masih kalah dibanding mantannya si Dion. Bukan hanya dari segi wajah, Wina lebih jangkung, lebih putih, body-nya lebih hot. Ramah pula.”
“Wah, aku gak bisa membayangkan secantik apa mantan Bang Dion. Pasti cantik sekali,” ujar Laras.
Acara gosip itu akhirnya terhenti karena seorang office boy memasuki ruangan itu membawakan minuman untuk pekerja shift siang.
...***...
Sudah hampir jam sebelas siang ketika Meyleen menemui Dion di ruangannya. “Aku sudah siap!” serunya rendah sambil merentangkan tangan.
“Masih sedikit terlalu cepat kalau kita berangkat sekarang. Soalnya janji makan siangnya pukul 12.30. Tapi tak apa-apa kalau Meyleen rela menunggu bersamaku,” jawab Dion.
“Janji ketemuan di mana?” tanya Meyleen.
“Di restoran gedung yang sama dengan kantor Bang Kiki. Sekira 30 menit dari sini,” jawab Dion sembari mempersiapkan tas sandangnya.
“Yuk!” ajak Dion sembari mengenakan baju panas abu-abu yang dari tadi ia letakkan sandaran kursinya.
“Soalnya AC di mobil Meyleen dingin sekali. Begitu pula pendingin di gedung kantor Bang Kiki, jauh lebih dingin daripada AC di mall,” kata Dion yang mendapati Meyleen memperhatikannya.
“Keren sekali, Dion!” puji Meyleen sambil tersenyum kagum. “Apa aku nggak salah kostum?” tanya Meyleen. Ia khawatir karena Dion tampil kasual.
“Ha? Meyleen sangat office-look. Terlihat sangat profesional. Jangan tiru aku yang kasual dong. Aku kan desainer,” sahut Dion yang merasa geli dengan kekhawatiran gadis itu.
“Meyleen malah kelihatan cantik dengan celana panjang dan kemeja putih. Tak hanya terlihat profesional, tapi juga berkesan gesit dan pekerja keras,” lanjut Dion.
Hati Meyleen senang mendapat pujian Dion. “Benar yah? Oh ya, aku suka sweater-mu.”
Dion sedikit kaget mendengar komentar gadis itu. Ia teringat baju panas abu-abu yang ia kenakan merupakan pemberian Wina sebagai hadiah natal dua tahun lalu.
“Cuma beli di pasar, kok. Harganya murah, pasti imitasi,” Dion berbohong seraya mengajak Meyleen meninggalkan ruangannya.
Meyleen yang sekilas melihat perubahan mimik wajah Dion tak tahu harus berkomentar apa-apa kecuali mengikuti langkah pemuda itu.
“Beri aku waktu beberapa menit untuk membicarakan hal pribadi dengan Bang Kiki sebelum membicarakan soal partnership itu,” ujar Dion pada Meyleen yang sedang mengendarai mobilnya. Keduanya sedang di perjalanan menuju gedung tempat janji pertemuan itu.
“Oke. Tapi Dion harus janji menjembatani aku dengannya. Aku takut malah salah bersikap karena perbedaan kultur,” pinta Meyleen.
“Siap! Aku punya firasat Meyleen bisa memanfaatkan event itu untuk keuntungan perusahaan kita,” sahut Dion.
Meyleen merasa senang mendengar kalimat optimis Dion. Apalagi ia merasa Dion punya kemampuan untuk membantunya kali ini.
Tak lama kemudian mereka tiba di sebuah gedung pencakar langit yang menyewakan space untuk perkantoran. Dion mengajak Meyleen menuju restoran yang berada di lantai 10 gedung itu.
“Aku sering mendengar nama gedung ini. Beberapa rekan bisnis perusahaan induk juga berada di gedung ini,” ujar Meyleen ketika keduanya memasuki lift.
“Oh. Tentu saja. Banyak perusahaan yang memilih menyewa tempat ini untuk kantor. Tempat ini menawarkan layanan terpadu seperti petugas front desk, petugas keamanan, bahkan office boy,” jelas Dion sambil menekan tombol untuk menutup pintu lift.
“Sangat efisien dan cocok bagi perusahaan yang sudah profit. Tapi bagi perusahaan pemula, tempat ini tergolong mahal, lho,” tambah Dion disambut anggukkan kepala Meyleen.
Di depan restoran, seorang petugas penerima tamu menanyakan apakah Dion sudah melakukan reservasi.
“Kami tamu Bapak Ricky Rizky. Kami mungkin tiba sedikit lebih cepat dari waktu pemesanan,” jelas Dion.
“Oh tidak apa. Mari Bapak dan Ibu, saya antarkan ke mejanya,” ujar wanita itu buru-buru menutup buku reservasinya.
Dion dan Meyleen mengikuti petugas itu dan duduk di sebuah meja yang berada di sudut ruangan dan dekat dengan jendela kaca besar yang menawarkan pemandangan kota Medan.
“Masih ada 30 menitan. Meyleen mau pesan sesuatu untuk menunggu?” tanya Dion pada Meyleen.
“Saya minta air putih saja boleh ya, Mbak?” kata Meyleen pada petugas resepsi yang mengantarkan mereka ke meja itu.
“Pemandangan dari sini sangat bagus. Lihat keramaian itu!” seru Dion sembari memandangi kemacetan jalan Kota Medan di tengah hari.
“Wah, kalau dari sini kelihatan lalu lintas semrawut sekali,” Meyleen mengomentari pemandangan itu.
“Namanya juga orang Medan. Susah sekali diatur dan tak mau tertib. Maunya menang sendiri dan kurang menghargai sesama pengguna jalan,” jawab Dion prihatin.
“Orang di sini bisa sangat tidak bersahabat pada orang yang tidak dikenal. Sebaliknya…” tambahnya lagi, tapi kalimatnya ditimpali oleh Meyleen.
“Tak kenal maka tak sayang, kan?”
Dion pun tertawa. “Benar. Meyleen perlu mencamkan itu dalam hati.”
“Perlahan aku mulai memahami karakter kota ini,” ujar Meyleen.