Evan dipaksa menikah oleh ayahnya dengan Alya, gadis yang tidak dikenalnya. Dengan sangat terpaksa Evan menjalani pernikahan dengan gadis yang tidak dicintainya.
Evan mulai menjalani kehidupan rumah tangga bersama Alya. Perbedaan karakter dan pola pikir menjadi bumbu dalam pernikahan mereka.
Akankah pernikahan mereka berhasil? Atau mereka menyerah dan memilih untuk berpisah?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichageul, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pengantin Baru
Alya terbangun dari tidurnya ketika sayup-sayup suara adzan dari masjid yang ada di dekat gerbang masuk perumahan tertangkap telinganya. Tak lama ponselnya pun berbunyi. Alya bangun dari tidurnya, kemudian mematikan ponselnya. Dia meregangkan kedua tangannya lalu turun dari ranjang.
Dengan mata masih setengah mengantuk, Alya berjalan menuju kamar mandi. Setelah menggosok gigi dan berwudhu, dia keluar dari sana. Wajahnya sudah sedikit segar terkena air dingin. Pandangannya langsung tertuju pada Evan yang masih nyenyak dalam tidurnya. Alya mendekati suaminya, lalu menepuk pundak pria itu.
“Mas.. bangun.. mas..”
Evan bergeming, pria itu masih menutup matanya. Alya tak menyerah, dia semakin mengguncang tubuh pria itu. Evan hanya melenguh kemudian melanjutkan tidurnya. Alya mendekatkan mulutnya di telinga Evan, kemudian membangunkannya lagi.
“BANGUUUUN MAAAAASS!!”
Mendengar teriakan kencang di telinganya, Evan terlonjak dari tidurnya. Tangannya mengucek-ngucek matanya yang masih setengah terpejam. Sambil memicing, dia melihat pada Alya yang berdiri di depannya.
“Bisa ngga sih banguninnya ngga usah teriak-teriak?!” kesal Evan.
“Aku bangunin pelan, mas malah tambah nyenyak, berasa di nina boboin. Bangun.. udah shubuh!”
Sambil berdecak, Evan turun dari ranjangnya. Sebenarnya dia ingin melanjutkan tidurnya lagi. Namun mengingat sekarang statusnya sudah berubah menjadi suami. Mau tak mau pria itu memaksakan diri ke kamar mandi. Selain harus bertanggung jawab pada istrinya, Evan juga harus memberikan contoh yang baik pada istrinya. Salah satunya adalah melaksanakan shalat lima waktu.
Tak berapa lama Evan selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi. Mulutnya juga sudah beraroma segar setelah menggosok gigi. Pria itu kembali masuk ke kamar, dan langsung menyambar sajadah yang ada di atas kasur. Alya yang hendak memakai mukenanya, menghentikan sejenak aktivitasnya.
“Mas mau shalat di mana?”
“Ya di sini. Mana sarungku?”
“Mas tuh shalatnya di mesjid. Bukannya di rumah.”
“Sama aja, mau di masjid, mau di rumah, sama aja. Yang penting judulnya shalat. Mana sarungku?”
“Nih..”
Bukannya sarung, Alya malah menyerahkan mukena di tangnnya. Karuan saja Evan dibuat bingung. Dia memandangi mukena di tangannya.
“Apaan nih?”
“Mukena. Kalau mas mau shalat di rumah, pake itu. Yang shalat di rumah itu perempuan, laki-laki itu di masjid.”
“Haaiissshh!”
Dengan kesal Evan melempar mukena ke atas kasur. Pria itu membuka lemari, kemudian mengambil sarung dari dalamnya. Evan segera memakai sarungnya, menyambar sajadah yang tadi dibentangkan di lantai, lalu keluar dari kamarnya. Terdengar suara pintu terbuka dan tak lama kemudian pintu pagar yang digeser.
Senyum Alya mengembang mengetahui suaminya yang sudah berangkat ke masjid. Dia membentangkan sajadah lain di lantai, memakai mukenanya lalu segera menjalankan kewajibannya.
☘️☘️☘️
Pukul setengah enam, Evan baru bisa keluar dari masjid. Setelah shalat shubuh dan mendengarkan kuliah shubuh, pak RT mengajaknya berkenalan dengan warga yang datang ke masjid. Pak RT senang melihat Evan, warga baru di tempatnya tinggal sudah mau berbaur. Selain masih muda, berwajah tampan, Evan juga dianggap religius karena mau ke masjid untuk menunaikan shalat shubuh berjamaah. Jaman sekarang tak banyak pria yang mau shalat di masjid, apalagi saat shubuh.
Evan mempercepat langkahnya begitu memasuki blok di mana rumahnya berada. Tak berapa jauh dari rumahnya, dia melihat gerobak tukang sayur keliling sudah dikerubuti beberapa ibu-ibu kompleks, dan salah satunya adalah istrinya. Dengan kepala menuduk Evan melintasi kerumunan ibu-ibu tersebut. Semua mata langsung memandang ke arah Evan, namun pria itu mengabaikannya dan langsung masuk ke rumahnya.
“Itu suami kami, Alya?” tanya bu Tuti, ibu paling kepo di kompleks ini.
“Iya, bu.”
“Ya ampun ganteng banget, mana mukanya setengah bule gitu. Jadi gemes-gemes gimana gitu,” bu Tuti mesam-mesem sendiri.
“Alya teh pengantin baru ya?”
“Iya.”
“Udah belah duren belum?” tanya Wati, masih anggota gank kepo, tapi kadarnya masih di bawah Tuti.
Tak ada jawaban dari Alya, hanya wajahnya saja yang merona mendapat pertanyaan frontal seperti itu. Ibu RT, alias bu Salma, langsung melerai pembicaraan, melihat Alya yang terlihat tidak nyaman.
“Sudah.. sudah.. jangan digodain terus Alyanya. Belanja.. belanja.. inget suami sama anak-anak lagi nunggu di rumah.”
Alya mengambil sebungkus sayur lodeh, satu bungkus pindang tongkol, cabe merah, bawang merah, bawang putih, tomat, kemiri, santan instan dan bumbu dapur. Tak lupa dia menambahkan sawi hijau, baso dan sosis ke dalam belanjaannya. Gadis itu akan membuat nasi goreng untuk sarapannya.
“Ini semua berapa, mang?”
Dengan cepat penjual sayur bernama Maman itu menghitung belanjaan Alya. Gadis itu mengeluarkan selembar lima puluh ribuan. Setelah mendapatkan kembalian, Alya berpamitan pada semuanya dan bergegas kembali ke rumah. Evan sudah duduk di ruang tamu sambil menonton tayangan kartun.
“Mas.. mau aku buatkan kopi atau teh?”
“Emangnya ada kopi giling?”
“Ngga ada, paling kopi sachet. Tapi aku beli dulu di warung.”
“Ngga usah, aku ngga minum kopi sachet. Bikin teh aja.”
Alya menaruh belanjaanya di meja dapur, baru membuatkan teh untuk suaminya. Setelah menaruh cangkir teh di atas meja, Alya kembali ke dapur. Dia akan membuat nasi goreng untuk sarapan mereka. Dengan cepat Alya membuat bumbu nasi goreng, memotong sawi hijau, bakso dan sosis sebagai pelengkap, dan tak lupa menyiapkan telur.
Hidung Evan mengendus wangi masakan yang dibuat istrinya. Matanya melirik ke arah dapur. Pria itu kembali melayangkan pandangannya ke televisi ketika melihat Alya datang dengan dua piring di tangannya. Dia menaruh piring berisi nasi goreng di atas meja.
“Udah aku bilang, aku ngga makan nasi.”
“Aku ngga bisa bikin sarapan lain. Aku juga ngga nemu roti tawar di warung, apalagi tukang sayur. Jadi makan aja dulu yang ada. Aku udah tambahin bakso sama sosis.”
“Ngga.”
“Cobain dulu, dikit aja. Kalau ngga enak, ngga usah dimakan.”
Alya mengangkat piring berisi nasi goreng lalu mengasongkannya pada Evan. Namun suaminya itu bergeming, dia tetap tidak mau menerima piring dari Alya.
“Udah kubilang, a…”
Evan tak bisa menyelesaikan kalimatnya ketika Alya menyuapkan sendok berisi nasi goreng ke dalam mulutnya. Pria itu menatap istrinya tajam, namun Alya sama sekali tidak mempedulikannya. Dia menaruh piring Evan, lalu mengambil piringnya dan memakan nasi gorengnya.
Perlahan Evan mengunyah nasi goreng yang tadi disuapkan Alya. Tak bisa dipungkiri kalau rasa nasi goreng buatan gadis itu sangat enak. Sebenarnya Evan sangat suka nasi goreng, namun sejak sang mama meninggalkannya untuk selamanya, dia tak lagi menyukai nasi goreng. Tapi harus diakui kalau rasa nasi goreng yang dimakannya sekarang sama lezatnya seperti buatan sang mama.
Pelan-pelan Evan mengambil piring miliknya, lalu menikmati nasi goreng tersebut. Alya melirik dari sudut matanya, namun tak bereaksi apapun. Dalam hatinya cukup senang melihat Evan mau memakan masakannya.
“Mas.. mas udah ada ide mau kerja apa?”
“Belum.”
“Ingat loh, kebutuhan kita banyak. Buat makan, beli token, beli kebutuhan bulanan, gas, beras.”
“Aku ngga makan nasi.”
“Itu yang mas makan apa? Emang itu pasir?”
Evan hanya berdehem saja. Dia meneruskan makannya dan mengabaikan pertanyaan Alya tadi. Apa yang dikatakan Alya memang benar, dia harus segera mencari pekerjaan. Dia yakin sekali kalau sang ayah tidak akan memberikan uang secara cuma-cuma. Dia harus berhemat dengan uang di rekeningnya sekarang.
“Kamu hari ini kerja?” tanya Evan.
“Ngga, masih libur. Besok aku baru kerja. Kegiatan mas hari ini apa?”
“Belum tau. Aku mau ketemu temanku, siapa tau ada info lowongan kerja.”
“Kenapa ngga kerja di resto papa atau bang Fariz?”
“Ngga.”
“Ya aku sih terserah mas mau kerja apa aja, yang penting halal dan semua kebutuhan kita terpenuhi. Buat sekarang, aku masih punya uang dari gajiku. Tapi untuk bulan depan, aku harap mas udah punya penghasilan.”
“Iya”
“Sebelum ketemu teman mas, bisa ngga antar aku ke supermarket? Aku mau beli sabun, juga barang lain. Aku juga mau beli buat makanan mas, kaya roti, pasta atau yang lain. Tapi aku ngga bisa beli yang mahal. Yang terjangkau aja sama dompetku.”
“Hem..”
Alya mengambil piring dan gelas kotor lalu membawanya ke dapur. Setelah mencuci bersih semua peralatan yang digunakannya untuk sarapan. Alya mulai memasak sayur dan lauk yang tadi dibelinya di tukang sayur. Evan masuk ke dalam kamar untuk mengambil ponselnya, lalu menghubungi kedua temannya. Dia akan membuat janji lebih dulu dengan Edward dan Gelar.
☘️☘️☘️
Tangan Gelar melambai ketika melihat Evan memasuki café yang dipilih untuk mereka bertemu. Bergegas Evan menghampiri kedua sahabatnya itu. Dia menarik kursi di dekat Gelar. Di depannya sudah tersaji cappuccino latte untuknya.
“Gimana kabarnya pengantin baru? Udah belah duren belum? Hahaha,” seru Edward.
“Apaan sih.”
“Curiga gue, dia belum jebol gawang Alya.”
Evan memilih menyeruput minumannya daripada menanggapi ucapan kedua sahabatnya. Sherly yang mengetahui kalau Evan sedang bertemu dengan Edward dan Gelar juga ikut datang ke café. Tapi wanita itu tidak bergabung dengan ketiganya. Dia memilih duduk di dekat meja yang mereka tempati sambil menyamarkan penampilannya dengan masker.
“Lo ada info kerjaan ngga buat gue?” Evan langsung mengatakan tujuannya untuk bertemu.
“Lo kenapa ngga kerja sama bokap atau abang lo?”
“Ngga lah. Gue pengen usaha sendiri. Ed.. di café lo ada lowongan, ngga?”
“Sorry, Van. Gue emang disuruh ngelola café, tapi soal perekrutan pegawai masih di bawah bokap gue. Lagian sekarang kondisi café lagi ngga stabil, masih untung karyawan yang sekarang ngga dipecat.”
“Kalau lo mau, lo ngajar aja di kampus gue,” usul Gelar.
“Ngga ah, mana ada bakat ngajar gue.”
“Ngajar mahasiswa ngga seribet ngajar anak SMA. Kebetulan ada lowongan, tapi cuma dosen luar biasa saja sih. Kalau lo mau sabar, enam bulan lagi ada posisi kosong, dosen senior ada yang mau pensiun.”
Evan tak langsung menjawab, dia masih menimbang tawaran Gelar. Mengajar bukanlah passionnya. Tapi kalau dia belum menemukan pekerjaan tetap, rasanya tawaran mengajar tidak ada salahnya. Yang penting dia bisa tetap berpenghasilan untuk memenuhi kebutuhan rumah tangganya.
“Mending lo pikirin dulu. Nanti gue bantu deh bikin silabus dan yang lainnya,” Gelar menepuk pundak sahabatnya.
“Ya udah, nanti gue pikiran dulu deh.”
Evan menyambar gelas berisi kopi kemudian menyesapnya lagi. Sepertinya dia harus mempertimbangkan penawaran Gelar. Apalagi setelah dia melihat isi rekening bank-nya yang ternyata sudah dipangkas oleh ayahnya dan hanya menyisakan satu juta lima ratus rupiah saja.
“Ok, deh. Gue cabut dulu, ya,” putus Evan.
“Oke deh. Kabarin aja kalau lo mau ngajar. Jangan kelamaan, nanti keburu diambil orang.”
“Oke.”
Sebelum pergi, Evan bertos ria dulu dengan kedua sahabatnya, baru kemudian keluar dari café. Melihat Evan yang sudah pergi, Sherly bergegas menyusul keluar. Dia segera naik ke dalam mobilnya kemudian mengikuti motor yang Evan kendarai. Wanita itu ingin tahu di mana pria itu tinggal sekarang.
☘️☘️☘️
Alya melihat jam yang tergantung di dinding saat mendengar suara ketukan di pintu. Waktu hampir jam setengah sembilan malam. Keningnya berkerut, siapa yang bertamu ke rumahnya malam-malam begini. Gadis itu bergegas menuju ruang depan, lalu membuka pintu. Alya terkejut melihat Sherly berdiri di depan pintu.
“Evan mana?” tanya Sherly tanpa basa-basi.
☘️☘️☘️
Weh ngapain tuh upil tyrex nongol😂
Alya tidak tahu itu - jadi bikin Alya merasa diabaikan - tak di sayang ayahnya.
Gak jadi kabur Bro - jadi menikah nih /Facepalm/