Terjerat Cinta Si Culun

Menghentikan tawanya seketika, dan kembali berbicara dengan Araa, yang tengah menatapnya dengan tatapan kesal.

"Kau tau culun?! clara selalu mengatakan padaku, kalau dia anak tunggal, bagaimana dia bisa mempunyai adik. Dan kau pasti mengadakan-ngadakan, dengan mengaku, sebagai adiknya Clara?"

"Aku memang bukan adiknya, karena aku hanya anak angkat. Dan dia tidak pernah menganggapku, sebagai saudarinya." Dengan raut wajah, terlihat begitu sendu.

"Kau serius culun?!" Tanya Rani memastikan ,seolah tidak percaya denaga apa yang dia dengar.

Membingkai senyuman kecil diwajahnya, berusaha menutupi luka yang selama ini dia rasakan.

"Apa meenurutmu, aku seperti orang yang sedang berbohong?"

Rani hanya tersenyum, saat mendapat jawaban dari Araa. Dan dalam dirinya timbul keyakinan dalam dirinya, bahwa Ariana menyimpan banyak luka dalam hidupnya, hingga membuat rasa iba dalam dirinya.

"Apakah kau, sudah makan siang?"

"Belum,memangnya kenapa?" Bertanya balik, dengan tatapan yang begitu intens.

"Tapi aku tidak mau, makan ditempat semewah ini. Karena aku tidak punya uang untuk membayarnya." Dengan berusaha melepaskan tangannnya, dari genggaman tangan Rani.

"Tentu aku yang akan mentraktirmu, culun? kan, aku yang mengajakmu?"

"Baiklah, jika kau memaksa." Dengan mengikuti langkah kaki rani, masuk kedalam restorant mewah tersebut.

*******

Kini mereka tengah menikmati makan siang, seraya berbincang-bincang. Dengan tatapan Rani, terus menatap Araa.

"Kenapa kau berpernampilan seperti ini, apakah kau tidak takut kalau suamimu berselingkuh,"

"Aku tidak perduli, sekalipun dia tidur dengan wanita lain."

Rani yang sedang mengunyah makanan langsung tersedak makanan, dan batuk-batuk, seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

" Apa kau bilang? kau tidak perduli? asal kau tau culun, dia itu sangat tampan, dan banyak wanita diluar sana, yang begitu tergila-gila dengannya, dan seandainya saja, dia bukan sahabatku, mungkin aku sudah memacarinya."

Menyunggingkan senyuman disudut bibirnya, saat mendengar ucapan Rani yang membuatnya, muak.

"Karena wanita diluar sana sangatlah bodoh, dan kau, salahsatu wanita bodoh itu." Jawabnya, dengan raut wajah yang terlihat begitu kesal.

Siena menyandarkan pundaknya, pada sandaran kursi seolah, seraya menggelengkan kepalanya seolah tidak percaya dengan apa yang dia dengar.

"culun.., culun.., sebenarnya kau harus bersyukur, karena pria seperti Zain Pratama mau menikahimu, yang berwajah pas-pasan, dan berkacamata tebal pula. Karena sampai sekarang saja, aku belum percaya kalau wanita yang ada didepanku ini, adalah istri seorang Zain Pratama."

Araa mendecak kesal, saat mendengar perkataan disainer itu.

"Dan bisakah, kau tidak memanggilku culun? dan sekali lagi kutegaskan namaku Ariana, biasa akrab disapa Araa." Jawabmya, tegas.

"Baiklah kalau begitu, aku akan memanggimu dengan Araa berkacamata saja. Bagaimana?"

"Baiklah, setidaknya itu jauh lebih baik Nona Rani?" Dengan mengerucutkan, bibirnya.

"Zain adalah sahabatku, karena kau adalah istrinya, berarti kau adalah sahabatku juga."

"Istri..?" Dengan menyunggingkan senyuman disudut bibirnya, saat mendengar kata istri.

"Ia, kaukan istrinya, apakah aku salah bicara?" Dengan tatapan yang begitu intens, menatap Araa.

"Tidak, kau tidak salah bicara Nona Rani? aku memang istrinya, istri rasa Pem.." Dengan tidak melanjutkan lagi, kata-katanya.

Tatapan matanya menerawang, menatap keluar.

"(Apa yang akan mereka katakan, jika bagaimana tahu kehidupan yang kujalani. Aku istri yang tidur dilantai, beralas tkar, aku istri yang diperlakukan sebagai pembantu, yang orang menyebut suamiku.)" Bathinya, dengan senyuman yang nyaris tak terlihat.

"Hei.. Araa?! kenapa kau melamun? kau baik-baik sajakan?!"

"Tidak, aku baik-baik saja." Jawabnya, berusaha meyakinkan Rani.

Araa, dan Rani terus berbincang-bincang hingga tidak menyadari waktu, yang terus berjalan.

********

Sebuah mobil melaju dengan kecepatan sedang, memasuki kediaman mewah milik Zain Pratama.

Pintu monil terbuka, dan menampakan sosok laki-laki tampan yang menuruni kedua kakinya.

Wajah wanita paruhbaya itu, terlihat begitu bahagia, saat melihat kedatangan keponakannya, menghampiri, dan menggandengnya.

"Kapan kau datang, Bibi? kenapa tidak mengabariku?" Tanya Zain, yang sedikit terkejut saat melihat keberadaan, Celine.

"Baru tadi siang, Bibi tiba diJakarta. Kau tau, Bibi begitu merindukanmu, Zain?!"

"Aku juga, sangat merindukanmu. Karena kau pergi sangat lama, aku mengirah kau sudah melupakan aku." Jawabnya, dengan berpura-pura kesal.

"Sampai kapanpun, Bibi tidak akan melupakanmu. Karena kau, adalah keponakan kesayanganku." Jawabnya tersenyum, dengan terus menggandeng lengan Zain, berjalan kedalam rumah.

Saat tiba didalam rumah, para pelayan sudah menyambut kedatangan, Tuan mereka.

Tatapannya mengedar, mencari keberadaan Ariana, diantara barisan para pelayan.

"Selamat malam, Tuan?" Sapa Ani sang kepala pelayan, menghanpiri lelaki dingin itu.

"Dimana dia, kenapa dia tidak ada?!" Bertanya, dengan tatapan intens menatap Ani.

"Nona, belum pulang Tuan?" Jawab Ani, menjawab pertanyaan lelaki tampan itu, dengan suara yang terdengar berat.

Menyutkan kedua alisnya, saat mendengar jawaban kepala pelayannya. Dan terlihat jelas, kemarahan disana.

"Dia belum, pulang?!" Dengan tatapan intens menatap Ani, hingga membuat wanita paruhbaya itu menunduk takut.

"I..iya Tuan?" Jawabnya dengan menunduk, karena rasa takut yang teramat sangat.

Celine hanya tersenyum, dan dia mengetahui kalau keponakannya itu, tengah menahan amarah yang teramat sangat. Dan itu terlihat jelas dari raut wajahnya yang memerah, dan kepalan tangannya, hingga menampakan urat-uratnya.

"Kau lihat Zain?! wanita seperti apa dia? ini yang kau bilang namakan istri?! istri yang baik bukan seperti ini Zain? suaminya pulang bekerja, dia tidak berada dirumah. Dan kau tau, dia keluar dari tadi pagi. Bisa saja, dia masih bertemu dengan pria lain."