--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 minta maaf
Malam harinya.
Bryan kembali dari kantor dan pulang lebih cepat dari biasanya. Ia memasuki kamar, lalu mendapati istrinya sedang menyisir rambut di atas ranjang. Begitu melihat suaminya masuk, Luna segera menundukkan pandangannya ke arah lantai, enggan berhadapan dengan tatapan Bryan.
Bryan menghela napas pelan ketika melihat pemandangan itu. Ia menutup pintu kamar dengan perlahan, seakan tak ingin mengejutkan Luna. Langkahnya mendekat, namun tetap menjaga jarak agar tidak membuat istrinya semakin tertekan. “Mia Cara…” ucap Bryan dengan suara rendah, setenang mungkin. “Kenapa kamu menunduk begitu?”
Luna menggenggam sisirnya lebih erat. “A-aku… cuma sedang merapikan rambut, Mio Caro.”
“Tapi kenapa tidak melihatku?” Bryan berhenti tepat di sisi ranjang, menundukkan tubuhnya sedikit, mencoba menangkap ekspresi Luna yang justru semakin bersembunyi. Ada rasa cemas yang tersembunyi di balik nada suaranya. “Apa aku menakutkan untukmu sekarang?”
Luna menggeleng cepat. “Bukan begitu…” Bryan duduk di ujung ranjang, menjaga jarak beberapa jengkal. Ia baru pulang lebih cepat dari biasanya, namun sambutan Luna yang menghindar membuat dadanya terasa berat.
“Mia Cara,” lanjutnya pelan, “kalau aku ada salah hari ini… bilang. Jangan diam seperti ini. Aku pulang cepat karena ingin melihatmu.” Luna menelan ludah, bahunya sedikit bergetar. “Aku… cuma takut kamu masih marah soal tadi, soal aku pergi sama Lisa…”
Bryan terdiam. Tatapannya meredup sedikit, rasa jengkel yang ia pendam sejak pagi kembali muncul, tapi kali ini lebih pelan… lebih jujur. “Aku tidak marah,” katanya akhirnya. “Aku hanya… tidak suka. Aku tidak tahu kenapa. Tapi melihat kamu memilih orang lain, meski itu sahabatmu… rasanya tidak enak, Mia Cara.”
Bryan mengusap lembut wajah istrinya, jemarinya menyentuh pipi Luna dengan hati-hati seakan takut menyakitinya. Ia menarik napas perlahan sebelum akhirnya berkata dengan nada yang lebih tenang.
“Mia Cara… maafkan aku,” ucapnya, suara rendah namun penuh ketulusan.
Luna terdiam, sedikit terkejut oleh sikap Bryan yang jarang menunjukkan kerendahan hati seperti itu. Bryan menunduk sedikit, seolah ingin memastikan bahwa Luna memahami kesungguhan yang ia sampaikan.
“Aku tidak seharusnya membuatmu merasa tertekan,” lanjut Bryan, menggeser posisi duduknya agar lebih dekat namun tetap memberi ruang. “Aku hanya… terlalu khawatir, dan itu membuatku bertindak berlebihan.” Luna perlahan mengangkat wajahnya, menatap Bryan dengan ragu namun juga lega. Tatapan mereka akhirnya bertemu, dan suasana kamar terasa lebih hangat.
Luna mengangguk dan tersenyum tulus. “Baiklah… tapi tolong jangan merespon seperti tadi lagi, itu membuatku tidak fokus berkuliah…” suaranya pelan, namun jelas menunjukkan betapa berat hari itu baginya. Bryan terdiam sejenak, mendengarkan setiap kata istrinya. Tatapannya melembut, rasa bersalah kembali muncul di sudut matanya. Ia menggenggam tangan Luna sedikit lebih erat, seakan memberikan jaminan baru.
“Mia Cara,” ucapnya lembut, “aku mengerti. Dan aku berjanji akan menjaga ucapanku… terutama saat kamu sedang sibuk belajar. Aku tidak ingin menjadi alasan kamu merasa tertekan.” Luna menatap Bryan, kali ini tanpa takut, hanya penuh kejujuran. “Aku hanya ingin kita saling mendukung. Aku tahu kamu khawatir, tapi caramu tadi… membuatku gelisah sepanjang hari.”
Bryan menghela napas dalam, lalu menggeser posisi duduknya hingga ia berada tepat di samping Luna. Ia mengangkat tangan istrinya dan mengecup punggungnya perlahan, sebuah tindakan sederhana namun penuh penyesalan. “Maafkan aku,” ulangnya, lebih mantap. “Aku seharusnya bertanya dengan baik, bukan memperlihatkan kecemburuan bodoh itu.”
Luna tersipu kecil, meski hatinya masih terasa hangat karena sikap Bryan. “Kamu bukan bodoh… hanya terlalu sayang.” Bryan tertawa pendek, suara rendah yang hanya muncul ketika ia benar-benar merasa ditenangkan. “Kalau itu alasannya, aku harus belajar mengekspresikannya dengan cara yang tidak menyulitkanmu.”
Ia kemudian menarik Luna mendekat sedikit, cukup agar Luna bersandar pada bahunya tanpa merasa terpaksa. Luna pun diam-diam menyandarkan kepala, merasakan ketenangan dari detak jantung suaminya. “Kamu sudah makan?” tanya Bryan tiba-tiba, suaranya lembut. Luna menggeleng. “Belum… aku menunggu kamu.”
Bryan menatapnya dengan campuran sayang dan sesal. “Kalau begitu… aku akan buatkan sesuatu untukmu. Tapi tetap di sini dulu, menyandar seperti ini. Aku suka.” Luna tersenyum kecil, memejamkan mata. “iya, Mio Caro.”
Bryan menatapnya dengan campuran sayang dan penyesalan yang halus. “Kalau begitu… biar aku yang membuatkan sesuatu untukmu. Tapi tetap di sini dulu.”
Ia mengusap lembut lengan Luna. “Menyandarlah seperti ini. Aku suka.”
Luna tersenyum kecil dan memejamkan mata. Bryan membiarkan momen itu berjalan sejenak sebelum akhirnya berkata, suaranya tenang namun penuh perhatian, "Besok acaranya dimulai. Aku sudah meminta Jhon membelikanmu sebuah dress.” Luna membuka mata perlahan, senyumnya langsung muncul. “baiklah"
Bryan mengangguk ringan, tatapannya melembut. “Itu workshop menggambar fashion, Tantangan mendesain satu gaun dalam enam puluh menit.”
“Iya,” jawab Luna, duduk sedikit lebih tegak. “Setelah sesi sketsa, semua hasilnya akan dipamerkan. Lalu ada mini runway untuk presentasi desain.” jelas Bryan.
Bryan memperhatikan wajah cantik istrinya, wajah yang selalu membuatnya bangga. “Pastikan kamu menikmati prosesnya, Mia Cara” ucapnya pelan. "aku pasti akan menikmatinya, ini adalah acara yang ku nanti nanti" ucap Luna senang.
“Mm.” Bryan mencondongkan tubuh sedikit, menyentuh ujung dagunya dengan lembut. “Kalau dress itu tiba nanti malam, cobalah. Aku ingin melihat apakah itu cocok untukmu.” Luna mengangguk pelan. “Aku yakin kamu akan tampil memukau.” Bryan mengusap lembut rambut istrinya.
“Aku akan buat sesuatu untuk kamu makan,” ujar Bryan sambil perlahan melepaskan pelukannya. Luna spontan menahan lengannya ringan. “Biar aku saja yang membuat makanan,” ucapnya pelan, sedikit malu namun tulus.
Bryan menatapnya, ekspresinya tenang namun jelas tidak setuju. “Tidak, Mia Cara,” katanya lembut. “Kamu sudah terlihat lelah sejak sore. Biarkan aku yang mengurusnya kali ini.” Luna terdiam, tatapannya sedikit menurun. “Aku tidak ingin merepotkanmu…”
Bryan menyentuh pipinya dengan jemari hangat. “Kamu tidak pernah merepotkan. Aku hanya ingin kamu beristirahat.”
Nada suaranya berubah sedikit lebih lembut, bahkan hampir manja. “Lagipula… sesekali aku ingin merasa berguna untukmu.” Luna tertawa kecil, akhirnya mengalah. “Baik, Mio Caro. Tapi jangan membuat sesuatu yang terlalu rumit.”
“Aku tahu batasanku,” jawab Bryan santai, lalu menambahkan dengan senyum tipis, “Tapi aku tetap akan membuat yang terbaik untukmu.” Luna mengangguk. “Aku menunggu di sini.”
Bryan menatapnya sejenak sebelum berbalik menuju dapur. “Jangan pergi ke mana-mana. Kalau kamu menghilang, aku akan mencarimu.” Luna tersenyum lembut melihat punggung suaminya. “Aku tetap di sini,” jawabnya lirih.
Bryan hanya mengangkat tangan seolah membenarkan, lalu melangkah keluar kamar dengan tenang. Suasana kamar kembali hening, namun hangat—karena aroma perhatian Bryan masih tertinggal di sekitar Luna, membuatnya tersenyum tanpa sebab.
.
.
.
🌻🌻🌻