Satu malam yang tak pernah ia inginkan mengubah seluruh hidup Serene Avila. Terbangun di samping pria asing, ia memilih kabur tanpa menoleh—tak tahu bahwa pria itu adalah Raiden Varendra, konglomerat muda yang bisa mengguncang seluruh kota hanya dengan satu perintah. Dua bulan kemudian, Serene hamil… kembar. Di tengah panik dan putus asa, ia memutuskan mengakhiri kehamilan itu. Hingga pintu rumah sakit terbuka, dan pria yang pernah ia tinggalkan muncul dengan tatapan membelenggu.
“Kau tidak akan menyentuh anak-anakku. Mulai sekarang, kau ikut aku!”
Sejak saat itu, hidup Serene tak lagi sama.
Dan ia sadar, kabur dari seorang konglomerat adalah keputusan terburuk yang pernah ia buat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Indriani_LeeJeeAe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16 > Langkah Tanpa Jejak
Malam ini terasa begitu sunyi. Serene berdiri di depan jendela kamar rawat, menatap lampu-lampu kota yang berkelip seperti bintang palsu. Di balik ketenangan itu, dadanya bergemuruh oleh keputusan yang sudah ia buat. Keputusan yang mungkin akan menghancurkan segalanya.
Ia menoleh ke arah ranjang. Raiden tertidur di sofa kecil di sudut ruangan. Jasnya masih ia kenakan, dasinya longgar, satu tangan menggenggam ponsel seolah takut melewatkan sesuatu bahkan saat tidur.
Pemandangan itu membuat dada Serene terasa perih.
Maafkan aku… ia berjalan perlahan, mengambil tas kecil yang sudah ia siapkan sejak sore. Tidak banyak hanya dokumen identitas, ponsel cadangan, sedikit uang tunai, dan satu foto USG yang ia lipat rapi. Serene berhenti di depan Raiden. Tangannya terangkat, ragu, lalu mengusap lembut rambut pria itu.
Untuk sesaat, ia ingin membatalkan segalanya. Ingin membangunkan Raiden, menangis, dan memintanya melawan dunia bersama-sama. Namun suara di telepon tadi kembali terngiang. “Atau kau akan kehilangan salah satu bayimu.”
Serene menutup mata. Ia tidak boleh mengambil risiko. Dengan langkah senyap, ia meninggalkan kamar itu. Koridor rumah sakit lengang. Lampu malam redup, kamera keamanan berputar perlahan.
Serene menundukkan kepala, jantungnya berdetak tak beraturan setiap kali ia melewati titik penjagaan. Di pintu keluar belakang, seorang perawat muda berdiri seolah menunggu. “Nona Serene?” bisiknya.
Serene menegang. “Siapa yang menyuruhmu?”
“Tenang,” jawab perawat itu cepat. “Saya hanya diminta membantu. Mobil sudah menunggu.”
Serene ragu. “Oleh siapa?”
Perawat itu tersenyum tipis. “Seseorang yang ingin Anda selamat.”
Kata selamat terdengar ironis. Namun Serene tidak punya waktu untuk ragu. Ia melangkah keluar.
Udara malam menyambutnya dengan dingin menusuk.
Sebuah mobil hitam tanpa plat depan menunggu di sisi gelap gedung. Pintu belakang terbuka.
Serene masuk. Mobil melaju tanpa suara. Dan tanpa disadari oleh siapa pun... Serene Avila menghilang.
Pukul dua dini hari. Raiden terbangun dengan perasaan tidak enak yang menghantam dadanya tiba-tiba. Ia langsung berdiri, menatap ranjang. Kosong.
“Serene?” panggilnya.
Tidak ada jawaban. Raiden melangkah cepat ke kamar mandi. Kosong. Lemari? Beberapa pakaian hilang. Jantungnya berdetak keras.
“Tidak…” gumamnya. Ia berlari keluar kamar, memanggil Arlo lewat ponsel.
“Arlo. Aktifkan protokol merah. Sekarang!”
“Ada apa, Tuan?”
“Serene hilang.”
Keheningan di seberang telepon berlangsung sepersekian detik... namun cukup lama untuk terasa seperti hukuman mati. “Apa maksud Anda… hilang?”
Raiden mengepalkan tangan. “Dia pergi sendiri. Dan itu berarti seseorang berhasil menjangkaunya.”
Satu jam kemudian, ruang kontrol keamanan Varendra berubah menjadi sarang perang. Layar-layar menampilkan rekaman CCTV rumah sakit. Raiden berdiri di tengah ruangan, aura gelapnya menekan semua orang. “Putar ulang dari jam sebelas!” perintahnya dingin.
Rekaman menunjukkan Serene keluar kamar... sendirian. Raiden menatap layar tanpa berkedip. “Zoom wajahnya.” Wajah Serene tampak tegang… namun tekadnya jelas.
“Dia tidak diculik,” gumam Arlo. “Dia pergi dengan sadar.”
Raiden tertawa pendek, tanpa humor. “Itu yang paling berbahaya.”
“Kami kehilangan jejak di pintu keluar belakang,” lapor staf keamanan. “Mobil tidak terdaftar.”
Raiden menoleh perlahan. “Cari siapa pun yang berbicara dengannya dalam dua belas jam terakhir.”
“Termasuk panggilan pribadi?”
“Terutama itu,” jawab Raiden tajam.
Di tempat lain, mobil berhenti di sebuah gedung tua yang tersembunyi di balik deretan bangunan kosong.
Serene dituntun masuk ke sebuah ruangan kecil dengan lampu redup. Seorang perempuan berdiri membelakanginya. Rambut panjang terurai rapi. Posturnya anggun.
“Kau datang,” ucap perempuan itu tanpa menoleh.
Serene menelan ludah. “Apa yang Anda inginkan?”
Perempuan itu berbalik. Wajah yang terlalu cantik untuk niat sekejam itu. “Aku ingin kau pergi,” jawabnya santai. “Jauh dari Raiden.”
Serene menatapnya tajam. “Jika aku menolak?”
Perempuan itu melangkah mendekat. “Maka aku akan memastikan salah satu bayimu tidak pernah melihat dunia.”
Serene terisak. “Kenapa kau melakukan ini?”
Perempuan itu tersenyum dingin. “Karena Raiden memilihmu.”
“Siapa kau sebenarnya?” tanya Serene dengan suara bergetar.
Perempuan itu mendekat ke telinganya dan berbisik,
“Perempuan yang seharusnya berada di posisimu.”
Sementara itu, Raiden berdiri di depan layar lain. Satu rekaman baru muncul. Wajah seseorang terlihat jelas.
Raiden membeku.
“Tidak mungkin…” gumamnya.
Arlo ikut menatap layar. “Tuan… itu-”
“Ya,” potong Raiden pelan, penuh amarah. “Orang yang paling kupercaya.”
Raiden meraih jaketnya. “Siapkan mobil.”
“Ke mana?” tanya Arlo.
Raiden menatap layar, ke arah wajah perempuan yang tersenyum dingin. “Ke neraka,” jawabnya.
Di ruangan gelap itu, Serene duduk sendirian. Pintu terkunci dari luar. Tangannya gemetar saat mengusap perutnya. “Maafkan Ibu…” bisiknya.
Tiba-tiba, ponsel yang ia sembunyikan bergetar.
Satu pesan masuk. Dan itu RAIDEN: Di mana kau, Serene?
Air matanya jatuh. Ia mengetik balasan… lalu menghapusnya. Di luar ruangan, langkah kaki mendekat. Pintu terbuka. Perempuan itu kembali.
“Waktumu hampir habis,” katanya dingin. “Putuskan sekarang.”
Serene mengangkat wajahnya, air mata membasahi pipinya. “Apa pun pilihanku,” katanya pelan, “Raiden tidak akan membiarkanmu menang.”
Perempuan itu tersenyum. “Kita lihat saja.”
Di saat yang sama, Raiden melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan gelap, matanya menyala oleh satu tujuan, yaitu menemukan Serene. Sebelum ia benar-benar kehilangannya. Namun Raiden tidak tahu... keputusan yang akan diambil Serene malam ini
akan memisahkan mereka… atau menenggelamkan mereka berdua.
***
To be continued