Sekuel dari Bunga dan Trauma.
Jelita Anindya memutuskan pindah ke desa tempat tinggal ayah dari papanya, sebuah desa yang dingin dan hijau yang dipimpin oleh seorang lurah yang masih muda yang bernama Rian Kenzie.
Pak Lurah ini jatuh cinta pada pandangan pertama pada Jelita yang terlihat cantik, anggun dan tegas. Namun ternyata tidak mudah untuk menaklukkan hati wanita yang dijuluki ‘Iced Princess’ ini.
Apakah usaha Rian, si Lurah tampan dan muda ini akan mulus dan berhasil menembus tembok yang dibangun tinggi oleh Jelita? Akankah ada orang ketiga yang akan menyulitkan Rian untuk mendapatkan Jelita?
follow fb author : mumuyaa
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mumu.ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Hentikan Acara Ini!!!
Rumah Sakit Medika berdiri megah dengan desain modern kaca dan marmer putih. Bangunannya lebih besar dari semua rumah sakit yang pernah Rian lihat. Mobil-mobil mewah keluar-masuk, membuat Rian sempat ciut sejenak.
Namun tekadnya tetap menuntun langkah.
Begitu mobil berhenti di area parkir, Rian dan Aldi turun. Udara Jakarta terasa panas, tapi telapak tangan Rian terasa dingin.
Di depan gedung, deretan karangan bunga menyambut. Ada puluhan bunga berjajar memenuhi trotoar.
“SELAMAT & SUKSES PERESMIAN MEDIKA EYE CENTRE”
“SELAMAT ATAS PERESMIAN UNIT BARU – DARI KELUARGA BESAR DIREKSI”
“SELAMAT & BERBAHAGIA ATAS ACARA SYUKURAN KELUARGA”
Rian menelan ludah. Napasnya tercekat.
Aldi menatap salah satu papan bunga lebih dekat. “Wah… gede banget, Mas. Ini pasti acara penting keluarga besar.”
Rian hanya mengangguk pelan, namun dadanya seperti diremas.
Syukuran memang benar… Tapi syukuran apa?
Mereka melangkah masuk ke lobby rumah sakit. Lobby yang biasanya sunyi dan formal kini dipenuhi dekorasi cantik. Balon warna emas dan putih, pita panjang, banner besar, bahkan staf rumah sakit memakai seragam khusus bertuliskan,
GRAND OPENING — EYE CENTRE MEDIKA.
Rian menyapu ruangan dengan pandangan gelisah. Aldi menepuk lengannya pelan, mengingatkan agar ia tetap tenang.
Namun ketenangan itu hancur seketika begitu mereka melewati beberapa perawat yang sedang duduk di dekat meja administrasi. Suara mereka pelan, tapi cukup terdengar.
“Eh, kamu tau nggak? Katanya sekalian acara pertunangan anggota keluarganya hari ini.”
“Iya bener! Tadi Mbak dari HR bilang begitu.”
“Pantesan keluarga pemilik rumah sakit rame banget dari pagi.”
“Calonnya dokter kita juga katanya, ya? Ih, cocok banget pasti.”
Rian berhenti melangkah.
Seakan dunia menahan napas.
Aldi menatapnya khawatir. “Mas…”
Rian memejamkan mata.
Pertunangan.
Kata itu berputar-putar di kepalanya, membuat dada terasa sesak.
Ia tahu Jelita adalah cucu tertua. Ia tahu keluarga Jelita terpandang. Ia tahu wanita baik, pintar, cantik seperti Jelita pasti diperebutkan banyak orang.
Tapi ia tidak tahu apakah ia masih punya waktu.
Aldi mencoba menenangkan. “Mas… belum tentu Mbak Jelita. Keluarga besar gini, bisa siapa aja.”
Namun Rian menggeleng. “Tapi dia cucu tertua, Di…”
Suaranya pecah. Aldi tidak pernah melihat Rian seperti itu.
“Kalo itu bener… dan aku telat…”
Rian menelan ludah, suaranya bergetar tanpa ia bisa cegah.
“…apa gunanya aku ke sini?”
Aldi langsung berdiri di depan Rian, menatapnya tegas. “Mas. Kita udah sejauh ini. Maupun hasilnya gimana… Mas harus lihat sendiri.”
Rian mengangguk kecil. Hal ini lebih untuk memaksa dirinya tetap berdiri daripada karena yakin.
Aldi bertanya pada petugas keamanan resepsionis. “Pak, kalau acara syukuran dan peresmian Eye Centre, di lantai berapa ya?”
Satpam itu menjawab ramah, “Acara utama di lantai delapan, aula besar, Pak.”
Rian menatap lift. Kaki-kakinya terasa berat, seperti sedang menyeret beban sebesar dunia. Tapi ia melangkah juga, satu langkah… dua langkah… masuk ke lift.
Tombol lantai 8 ditekan.
Pintu lift tertutup perlahan, memenjarakan Rian dalam ruangan kecil bersama ketakutan terbesarnya.
Detik demi detik terasa lama.
Dengan suara pelan, hampir seperti bisikan, Rian berkata:
“Ya Allah… jangan biarkan aku datang terlambat…”
*
*
*
Rian dan Aldi akhirnya tiba di lantai yang dituju. Begitu pintu lift terbuka, keduanya langsung disambut oleh suasana megah yang tidak pernah Rian bayangkan sebelumnya.
Dekorasi bunga merah dan putih tertata indah di sepanjang koridor menuju aula besar. Lampu-lampu kristal memantulkan cahaya hangat, membuat seluruh ruangan tampak mewah dan meriah. Musik lembut mengalun dari dalam, menandakan bahwa acara besar sedang atau akan berlangsung.
Rian merasa tubuhnya mendadak berat. Setiap langkah seperti menambah kegelisahan yang menghimpit dadanya. Aldi melirik ke arah Rian dan berbisik, “Kayaknya beneran ada acara tunangan di sini, Mas… Lihat dekorasinya.”
Rian tidak menjawab. Ia hanya menelan ludah, telapak tangannya dingin, kakinya gemetar. Sejak tadi ia mendengar bisik-bisik pegawai rumah sakit yang kebetulan lewat.
“Katanya ini untuk pertunangan cucunya pendiri rumah sakit ini…”
“Cucu tertua, kan? Yang cantik itu…”
Semua desas-desus itu seperti menendang dada Rian. Cucu tertua.
Jelita.
Semakin dia melangkah maju, semakin kuat perasaannya bahwa sesuatu yang buruk akan terjadi.
Dan firasat itu seperti langsung terbukti ketika dari balik kerumunan tamu, berdirilah sosok perempuan yang membuat dunia Rian berhenti berputar.
Jelita.
Ia terlihat… memukau. Gaun merah anggur membalut tubuhnya dengan anggun, rambutnya disanggul rapi, riasannya lembut namun sempurna. Rian sampai terpana dan terdiam sesaat. Dirinya juga bahkan lupa bernapas.
Jelita juga melihatnya.
Mata mereka saling bertemu. Wajah Jelita berubah kaget, seolah tak percaya Rian muncul di situ, di tengah kemeriahan acara keluarganya. Ia berjalan mendekat dengan langkah cepat.
“Mas Rian? Kok… Mas bisa di sini?” tanyanya, benar-benar terkejut.
Rian ingin bertanya banyak hal, seperti apa yang sedang terjadi? Kenapa dia berdandan seperti pengantin? Kenapa ada dekorasi pertunangan? Namun… lidahnya seperti terkunci.
Baru saja ia hendak membuka mulut, seseorang memanggil dari arah depan panggung.
“Mbak! Acaranya sudah mau dimulai. Ayo ke depan.”
Pria muda itu tersenyum hangat pada Jelita, lalu memberi isyarat agar ia segera ikut.
Jelita menoleh ke Rian sejenak, tatapannya seperti menyimpan sesuatu, seperti bingung, enggan, dan seakan ingin menjelaskan. Namun ia tetap menunduk sopan.
“Mas, nanti kita bicara lagi, ya. Aku… permisi dulu.”
Ia berbalik meninggalkan mereka. Gaunnya berayun pelan, dan semakin jauh dari Rian.
Rian membeku.
Aldi menatap Rian tidak yakin. “Mas… ini beneran tunangannya Mbak Jelita…?”
Rian menggeleng, tapi itu lebih seperti penolakan daripada jawaban. “Nggak… Nggak mungkin, Di. Jelita nggak cerita apa-apa. Dia nggak mungkin—”
Kalimatnya terputus saat dari pengeras suara terdengar MC mulai membuka acara pertunangan.
Deg.
“Berarti benar… ini pertunangannya Jelita…?” suara Rian pecah, hampir tak terdengar.
Dan entah apa yang mendorongnya. Bisa jadi mungkin panik, mungkin cinta, mungkin ketakutan kehilangan, Rian tiba-tiba berlari.
Dia menembus kerumunan tamu, tidak peduli tatapan mereka. Aldi memanggilnya, namun Rian tidak berhenti. Ia terus melangkah, semakin cepat, hingga tiba di depan aula utama, tepat ketika musik pertunangan mulai dimainkan.
Dengan dada naik turun dan suara penuh kepanikan, Rian berteriak sekuat tenaga:
“Hentikan acara ini!!!”
cabe setan 1 kg 90
rawit 1 kg 70.... ya allah.....😭😭😭😭😭 bawang merah 1 kg 50
Rian harus siapkan mental menghadapi papa Fadi dan kakek Doni
😁