Di malam ulang tahun suaminya yang ke tiga puluh lima, Zhea datang ke kantor Zavier untuk memberikan kejutan.
Kue di tangan. Senyum di bibir. Cinta memenuhi dadanya.
Tapi saat pintu ruangan itu terbuka perlahan, semua runtuh dalam sekejap mata.
Suaminya ... lelaki yang ia percaya dan ia cintai selama ini, sedang meniduri sekretarisnya sendiri di atas meja kerja.
Kue itu jatuh. Hati Zhea porak-poranda.
Malam itu, Zhea tak hanya kehilangan suami. Tapi kehilangan separuh dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ama Apr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29
Lampu neon di lorong tahanan menyala redup, menciptakan bayangan dingin di dinding-dinding lembap.
Setelah Elara pergi, petugas menutup pintu ruang kunjungan dengan suara logam yang menggema.
Zavier berdiri kaku di dalam selnya.
Beberapa detik kemudian, lututnya melemah, dan ia jatuh duduk di lantai sel, menunduk dalam.
Begitu pintu sel terkunci di belakangnya, semua pertahanan di wajahnya runtuh.
Tangisnya pecah.
Tanpa bisa menahan lagi, Zavier memukul-mukul dinding.
"Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kenapa aku sebodoh ini?!"
Ia bersimpuh, air matanya mengalir deras. Suara tangisnya bergema, namun tak ada yang peduli. Dia melirih sendiri.
Sambil terisak, ia menarik rambutnya sendiri, menyalahkan diri. "Aku menghancurkan rumah tanggaku demi Elara. Aku menyakiti Zhea dan meninggalkan anakku demi Elara juga. Dan aku, sampai menghilangkan nyawa Papa karena Elara juga ... tapi kini, di saat aku terpuruk dan hancur ... dia pergi begitu saja. Meninggalkanku jatuh dan menderita sendirian ..." Ia menangis lebih keras, suaranya parau.
"Kenapa aku buta? Kenapa aku bodoh sekali? Aku membuang istri yang selalu ada, demi untuk bisa bersama dengan Elara ..." Ucapannya tersendat di sela tangis yang memecah dadanya. "Kini aku kehilangan semuanya. Kekayaan, jabatan dan keluarga ... semua itu karena Elara ..." Zavier terus memukul-mukul dinding, lalu berpindah memukul-mukul kepalanya.
Zavier memeluk lututnya, menutup wajah. Ingatan itu datang bertubi-tubi seperti pukulan.
Momen ketika ia pertama kali mengkhianati Zhea. Pertama kalinya ia melakukan zina dengan Elara.
Flashback
Jam sudah melewati angka sebelas malam. Kantor sudah sunyi, hanya lampu-lampu temaram yang tersisa, menemani Zavier yang masih tenggelam dalam tumpukan berkas.
Elara, sekretarisnya, tetap di sana meski sudah beberapa kali ia suruh pulang. "Pak, saya buatkan kopi lagi ya?" tanya Elara, suara lembutnya memecah keheningan.
Zavier hanya mengangguk lelah, matanya tetap terarah pada laporan di depannya. Satu bulan terakhir ia begitu sibuk dengan proyek besar perusahaan, bahkan pulang larut sudah menjadi rutinitas. Dan, tanpa ia sadari, jarak fisik dengan Zhea pun makin melebar.
Saat Elara kembali dengan segelas kopi, ia meletakkannya sedikit terlalu cepat, membuat kakinya tersandung kabel printer di lantai.
"A-astaga, Elara!"
Tubuh Elara kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh ... tepat ke pangkuan Zavier.
Momen itu membuat waktu seperti berhenti.
Tubuh mereka begitu dekat. Napas Elara mengenai leher Zavier. Aroma parfum vanila yang selama ini hanya samar ia cium setiap kali gadis itu mendekat kini terasa sangat jelas ... mengundang.
"Elara ... kamu nggak apa-apa?" Suara Zavier terdengar serak, jauh berbeda dari biasanya.
Elara mengangkat wajah, kedua mata mereka bertaut, terlalu dekat, terlalu lama.
"Maaf, Pak ... say--" Belum sempat Elara menyelesaikan kalimatnya, Zavier merasakan sesuatu yang menegang di dirinya. Satu bulan tanpa menyentuh Zhea, tiga puluh hari penuh dengan pekerjaan dan stres ... dan kini wanita di pangkuannya menatapnya dengan mata bergetar, bibir sedikit terbuka.
Sebuah celah kecil ... yang langsung memantik hasrat.
"Elara ..." kali ini ia menyebut nama dengan mata sayu, terdengar samar seperti bisikan.
Elara merasakan perubahan itu. Bahunya naik-turun menahan degup jantung. Lalu ... tanpa pikir panjang, tanpa logika ... ia menunduk.
Bibirnya menyentuh bibir Zavier.
Perlahan. Ragu. Tapi ada api di baliknya.
Zavier membeku. Selama beberapa detik ia masih sempat berpikir, ini salah ... bahwa ini tidak seharusnya terjadi.
Namun ketika Elara kembali menekan bibirnya, lebih dalam, lebih berani ... pertahanan itu runtuh seketika.
Tangan Zavier naik, memegang pinggang Elara, menariknya lebih dekat. Kopi di meja hampir tumpah saat ia mendorong berkas-berkas menjauh, membuat ruang di meja untuk tubuh mereka.
"Ela ... kita nggak boleh ..." bisiknya, tapi ia tetap membalas ciuman itu.
Elara tersenyum tipis di sela napas mereka. "Kalau nggak boleh ... kenapa Bapak nggak menghentikan saya?"
Pertanyaan itu seperti kunci terakhir yang membuka pintu.
Zavier tidak menjawab. Ia hanya mencium Elara kembali, kali ini tanpa menahan diri. Ciuman itu berlanjut, makin panas, makin dalam. Tangan mereka menyusuri punggung, pinggang, leher ... mencari pegangan di tengah badai hasrat.
Mata hati Zavier tertutup kabut nafsu durjana. Ia mendadak tidak ingat Zhea. Tangannya dengan tergesa melucuti semua benang yang menempel di tubuh sekretarisnya. Lalu berpindah menanggalkan semua pakaiannya.
Zavier memindahkan Elara ke sofa, memandang kagum pada tubuh sintal Elara yang kini sudah tanpa penghalang. "Ela ..." Suara seraknya mengalun sensual.
"Pak Zavier ... lakukan, Pak. Saya ikhlas ..." desah Elara tak kalah sensual sambil membuka kedua pahanya lebar-lebar. Hingga nampak lah bagian pribadi yang begitu menggoda dan membuat Zavier blingsatan, bak kehilangan kewarasan.
"Tidakkah kamu menyesal menyerahkan kegadisanmu padaku?" Zavier mulai menggesekkan miliknya ke bagian pribadi Elara.
Elara menggigit bibir sambil merem melek. "T-Tidak, Pak. K-Karena saya sudah lama ... menaruh hati pada Bapak. Saya jatuh cinta pada Pak Zavier sejak pandangan pertama ..."
Zavier menghentikan kegiatannya. "Kamu serius?"
"Iya."
"Tapi saya sudah punya istri, Ela ..."
"Tidak apa-apa, Pak. Saya bersedia jadi yang kedua. Lakukan, Pak. Saya mau merasakan Bapak malam ini. Saya mau menyatu dengan Bapak seutuhnya."
Zavier tak lagi menahan diri, dia mendorong miliknya hingga akhirnya berhasil menjebol pertahanan Elara.
Dan malam itu, di ruangan kantor yang seharusnya hanya menjadi tempat kerja, garis batas moral yang dulu begitu tegas tiba-tiba mengabur ... lalu hilang sama sekali.
Itulah pertama kalinya mereka terjatuh ke dalam dosa yang akhirnya menghancurkan segalanya. ingatan durjana itu usai.
"Zhea ... m-maafkan aku?" Zavier meraung, memukul dadanya sendiri. "Zhe-za ... m-maafkan Papa, Nak ..." Raungannya semakin kencang.
Bayangan lain pun datang, ketika ia mendorong Soni yang mengakibatkan ayahnya tiada.
"Papa ... maafkan aku ... maaf ..." Penyesalan semakin menggelayuti kalbu, jiwa serta raga hingga membuatnya ingin mengakhiri hidupnya.
"Ini semua gara-gara Elara! Semua ini gara-gara wanita sialan itu!" Zavier masih meraung, malah kini suaranya makin pecah. "Sekarang ... dia pergi begitu saja. Meninggalkanku yang sudah terpuruk." Air matanya jatuh tanpa bisa dihentikan. "Papa pergi ... Zhea dan Zheza pergi ... semua keluargaku membenciku ..." Ia menggeleng putus asa. "Dan aku, terjebak di sini sendirian." Zavier menarik napas terengah, tubuhnya gemetar.
Tidak ada lagi aura arogan.
Tidak ada lagi kesombongan.
Tidak ada Zavier yang dulu merasa paling berkuasa dan paling kaya.
Yang ada hanya seorang laki-laki muda yang hancur oleh kesalahannya sendiri.
"J-Jika waktu bisa diulang kembali ... aku tidak akan mengkhianati Zhea. Aku tidak akan menghancurkan rumah tanggaku sendiri demi wanita hina seperti Elara. Aku menyesal ... Tuhan. Aku ingin kembali. Aku ingin meminta maaf pada Zhea dan anakku. Pada Mama, Arin dan keluarga besarku ... aku menyesal ... aku tidak mau di sini sendirian. Aku ingin kembali ke keluargaku ..."
jadi ayah yg baik untuk anak mu apalagi anakmu perempuan hati"loh