Di balik kemewahan rumah Tiyas, tersembunyi kehampaan pernikahan yang telah lama retak. Rizal menjalani sepuluh tahun tanpa kehangatan, hingga kehadiran Hayu—sahabat lama Tiyas yang bekerja di rumah mereka—memberinya kembali rasa dimengerti. Saat Tiyas, yang sibuk dengan kehidupan sosial dan lelaki lain, menantang Rizal untuk menceraikannya, luka hati yang terabaikan pun pecah. Rizal memilih pergi dan menikahi Hayu, memulai hidup baru yang sederhana namun tulus. Berbulan-bulan kemudian, Tiyas kembali dengan penyesalan, hanya untuk menemukan bahwa kesempatan itu telah hilang; yang menunggunya hanyalah surat perceraian yang pernah ia minta sendiri. Keputusan yang mengubah hidup mereka selamanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16
Langit sudah gelap dan pasangan pengantin baru masih tertidur pulas.
Rizal membuka matanya saat mendengar suara alarm ponselnya berdering.
"Sayang, ayo bangun." ucap Rizal sambil mencium bibir istrinya.
Ia membuka mata dan melihat siluet suaminya yang tersenyum lembut di tengah temaram kamar.
"Ayo bangun, Sayang. Kita makan malam dulu. Butler kita pasti sudah menyiapkan sesuatu yang spesial," ajak Rizal, suaranya serak dan hangat.
Hayu menganggukkan kepalanya, namun sebelum sempat beranjak dari tempat tidur.
Rizal langsung membopongnya ke kamar mandi yang berbalut marmer mewah.
"Kita mandi bersama," bisik Rizal dengan tertawa kecil.
Di bawah pancuran air hangat, suasana kembali dipenuhi tawa dan sentuhan penuh cinta.
Rizal membersihkan sisa riasan tipis di wajah Hayu dan menciumnya berkali-kali, seolah ingin meyakinkan istrinya bahwa semua kebahagiaan ini nyata.
Setelah selesai, Rizal memakaikan Hayu gaun tidur sutra berwarna soft cream yang sudah disiapkan sekretarisnya, memuji betapa anggun dan cantiknya Hayu.
Rizal sendiri hanya mengenakan celana pendek linen putih.
Ia menggandeng tangan Hayu dan menuntunnya keluar menuju teras vila.
Hayu sedikit terkejut ketika melihat teras yang telah disulap menjadi tempat makan malam yang magis.
Meja kecil beralas kain putih diletakkan di tepi kolam renang tak bertepi, dikelilingi lentera-lentera kecil dan lilin aroma terapi.
Suara deburan ombak dari tebing di bawah seolah menjadi musik pengiring.
Di atas meja tersaji hidangan seafood grill yang aromanya langsung menggugah selera.
"Mas, ini indah sekali," bisik Hayu dengan air matanya yang hampir menetes.
"Sengaja aku minta mereka menyiapkannya di sini," jawab Rizal sambil menarik kursi untuk Hayu.
"Aku ingin setiap momen bersamamu terasa seindah ini, Sayang. Ini adalah awal dari segalanya."
Mereka memulai makan malam dalam keheningan yang nyaman.
Rizal sesekali menyuapi Hayu, memastikan ia makan dengan baik, dan memandanginya dengan tatapan yang memuja.
"Mas, tadi aku melihat boarding pass kita. Ada namaku di sana, 'Mrs. Rizal F'. Itu terasa aneh."
Rizal tersenyum lembut saat mendengar perkataan dari istrinya.
"Aneh yang menyenangkan, kan? Mulai sekarang, nama itu milikmu. Tidak ada lagi Hayu sang pembantu, hanya ada Hayu Deswita, Istri dan Ratu dari Rizal Firdaus."
Ia mengambil gelas wine mereka dan mengangkatnya.
"Mari kita bersulang, Sayang. Untuk rumah tangga baru kita, dan untuk semua cinta yang tulus. Aku berjanji, aku akan membuatmu bahagia."
Hayu membalas cheers itu sambil tersenyum ke arah suaminya
"Aku juga berjanji, Mas. Aku akan menjadi istri yang terbaik untukmu."
Setelah makan malam, mereka duduk di sofa teras, berpelukan di bawah selimut tipis, menatap bintang.
Hayu merasakan kedamaian yang mendalam. Kehangatan tubuh Rizal dan suara ombak menenangkan hatinya sepenuhnya.
"Aku mencintaimu, Sayang," bisik Rizal, mencium puncak kepala Hayu.
"Aku juga mencintaimu, Mas. Sangat mencintaimu," balas Hayu.
Malam itu mereka berdua kembali memejamkan matanya.
Sementara itu di tempat lain dimana Tiyas berada di rumah kontrakannya yang sempit.
Tiyas meringkuk di atas kasur tipis di sebuah rumah kontrakan sempit di pinggiran kota, jauh dari kemewahan dan kenyamanan yang pernah ia miliki.
Kontrakan itu jauh dari kesan layak: lembap, pengap, dan berbau masakan tak sedap dari tetangga.
Tiyas, yang terbiasa dengan sprei linen berkualitas tinggi dan AC 24 jam, kini harus berhadapan dengan nyamuk yang berdengung dan hawa panas yang menyiksa.
Ia memejamkan matanya dan berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun, ketika ia membuka mata, yang ia lihat adalah dinding bercat kusam dan perabotan usang yang ia dapatkan dari sisa-sisa penjualan perhiasan termurahnya.
Ia kini harus bertahan hidup hanya dengan sisa uang tunai yang sempat ia tarik sebelum Rizal memblokir semua akses kartunya.
Ia melihat unggahan terbaru dari salah satu teman sosialitanya.
Bukan sekadar foto kumpul-kumpul biasa, melainkan foto pernikahan.
Foto itu menampilkan dekorasi bunga-bunga segar yang indah di ruang tamu rumahnya, lengkap dengan tulisan selamat untuk "Pengantin Baru, Mr. & Mrs. Rizal F."
Di tengah foto itu, tersenyum bahagia, adalah Rizal mantan suaminya bersama Hayu, wanita yang baru seminggu lalu berstatus sebagai pembantunya.
Tiyas menjerit tertahan dan merasa seolah dicekik oleh kenyataan pahit itu.
"KURANG AJAR! BAJINGAN! PEMBANTU SIALAN!" teriak Tiyas, melemparkan ponselnya ke dinding hingga layarnya retak.
Ia merosot ke lantai, menangis histeris. Selama ini ia berpikir Rizal akan rapuh dan memohon agar ia kembali.
Ia tidak pernah membayangkan Rizal akan bergerak begitu cepat, apalagi menikahi Hayu.
"Dia merebut suamiku! Dia merebut rumahku! Dia merebut hidupku!" erang Tiyas, tangisannya kini berubah menjadi luapan kemarahan dan kebencian.
Tiyas menyentuh jari manisnya yang kini telah kosong.
Tidak ada lagi cincin berlian mahal yang biasanya melingkar di jarinya.
Ia membayangkan jari manis Hayu yang kini melingkar cincin yang diberikan oleh Rizal, dan bayangan itu membuatnya gila.
"Kamu pikir kamu bisa bahagia di atas penderitaanku, Hayu? Kamu pikir kamu bisa menikmati semua hartaku? Tidak akan pernah!"
Tiyas bangkit dan matanya memancarkan rencana licik dan dendam.
Ia tidak peduli lagi dengan martabat atau harga dirinya lagi.
Yang ia inginkan hanyalah melihat kebahagiaan Rizal dan Hayu hancur.
Ia meraih tasnya, mengambil sisa uang tunai terakhirnya dan berjalan keluar dari kontrakan sempit itu.
Ia menuju ke konter dan berniat membeli kartu perdana baru.
Tiyas telah membuat rencana balas dendam kepada Hayu yang sudah merebut semuanya.
"Aku akan buat kalian menyesal! Aku akan buktikan bahwa pembantu itu tidak akan pernah pantas menjadi nyonya di rumah itu!" geram Tiyas.
Setelah mendapatkan kartu perdana, ia langsung menghubungi seseorang yang terkenal dengan kekejaman nya.
"Habisi dia dan jangan ada jejak yang tertinggal." pinta Tiyas.
Tiyas langsung mentransfer sejumlah uang kepada lelaki itu.
Ia pun kembali ke rumah kontrakannya dan menunggu kabar baik.
Keesokan paginya dimana matahari sudah bersinar terang.
Rizal membuka mata, tersenyum melihat Hayu yang terlelap pulas di sampingnya.
"Selamat pagi ratuku," sapa Rizal.
Hayu tersenyum tipis saat mendengar suara suaminya.
"Selamat pagi Mas,"
Rizal mencium kening istrinya dan memintanya untuk segera mandi.
"Pagi ini aku akan mengajakmu ke GWK, Sayang. Tempat patung raksasa Dewa Wisnu berada.”
Hayu menganggukkan kepalanya dengan antusias.
“Aku sudah lama ingin melihatnya, Mas!”
Hayu lekas bangkit dari tempat tidur dan mengajak suaminya untuk mandi bersama.
Setelah sarapan pagi yang hangat di vila, Rizal dan Hayu segera bersiap.
Rizal mengenakan kaus polo berwarna cerah dan celana pendek, sementara Hayu tampil santai dengan dress musim panas berwarna putih.
"Sudah siap, Sayang? Aku sudah tidak sabar menunjukkan keindahan Bali padamu," ucap Rizal sambil mencium pipi Hayu sebelum mereka meninggalkan kamar.
"Siap, Mas! Aku sudah siap menikmati hari ini bersamamu," jawab Hayu, menggandeng erat lengan suaminya.
Rizal memutuskan untuk menyetir sendiri mobil SUV sewaan mereka, membiarkan supir vila beristirahat.
Mobil melaju pelan, menyusuri jalanan yang berkelok menuju kawasan Garuda Wisnu Kencana (GWK).
Di tengah perjalanan, saat mobil mereka melewati sebuah jalur sepi yang dikelilingi semak belukar, Rizal mengeluh.
"Aduh, sepertinya ada masalah dengan mesinnya, Yu. Tadi malam padahal sudah diperiksa."
Rizal menepikan mobilnya ke bahu jalan yang agak terjal.
"Ada apa, Mas? Terdengar seperti ban kempes," tanya Hayu cemas.
Rizal membuka pintu mobil dan keluar memeriksanya.
"Aku cek sebentar, ya."
Rizal berjalan ke belakang mobil, mencoba melihat bagian mesin. Tiba-tiba, dari balik semak-semak, dua sosok pria berbadan besar dan berpakaian serba hitam melompat keluar.
Wajah mereka tertutup topeng kain dan Hayu langsung menjerit tertahan melihat pemandangan itu.
"Mas Rizal! Awas!" pekiknya panik.