Dibawah langit kerajaan yang berlumur cahaya mentari dan darah pengkhianatan, kisah mereka terukir antara cinta yang tak seharusnya tumbuh dan dendam masa lalu yang tak pernah padam.
Ju Jingnan, putri sulung keluarga Ju, memegang pedang dengan tangan dingin dan hati yang berdarah, bersumpah melindungi takhta, meski harus menukar hatinya dengan pengorbanan. Saudari kembarnya, Ju Jingyan, lahir dalam cahaya bulan, membawa kelembutan yang menenangkan, namun senyumannya menyimpan rahasia yang mampu menghancurkan segalanya.
Pertemuan takdir dengan dua saudari itu perlahan membuka pintu masa lalu yang seharusnya tetap terkunci. Ling An, tabib dari selatan, dengan bara dendam yang tersembunyi, ikut menenun nasib mereka dalam benang takdir yang tak bisa dihindari.
Dan ketika bunga plum mekar, satu per satu hati luluh di bawah takdir. Dan ketika darah kembali membasuh singgasana, hanya satu pertanyaan yang tersisa: siapa yang berani memberi cinta di atas pengorbanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon NurfadilaRiska, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Diantara Hujan dan Rahasia
“Ling An…” Jingyan berlari kecil di belakangnya.
“Nannan jiejie, kau masih marah karena kedatangan Ling An?” Ia melirik kakaknya sekilas lalu menarik tangan Ling An untuk duduk.
“Tidak,” jawab Ling An lembut. “Kita masuk dengan terburu-buru. Wajar jika Jingnan terkejut.”
“Tapi…” Jingyan kembali memandang kakaknya, lalu menatap Ling An dengan ragu.
“Aku akan keluar mencari sesuatu untuk mengobati lukamu,” ucap Jingyan sambil berdiri.
“Tidak. Jangan keluar. Hujan di luar terlalu deras,” ucap Ling An sambil menahan langkah Jingyan.
Jingnan, yang sejak tadi memperbaiki api yang hampir padam, mengeluarkan sapu tangan putih berukir naga kecil dan menyerahkannya kepada Jingyan.
"Aku akan keluar mencari bahan obat yang kamu maksud."
Tanpa menunggu jawaban, Jingnan langsung melangkah menuju pintu, langkahnya cepat dan tegas.
"Nannan jiejie, tidak perlu!"
Jingyan buru-buru berdiri, berusaha mengejar kakaknya itu.
Jingnan berhenti sejenak dan menoleh, tatapannya lembut namun tak bisa diganggu.
"Masuklah. Aku yang melukainya… jadi aku harus bertanggung jawab."
"Tapi hujannya deras…" Jingyan menahan, suaranya dipenuhi kecemasan melihat air hujan yang jatuh seperti tirai tebal di luar ruangan.
"Tak apa, aku wanita kuat dan tidak akan sakit. Kau tenang saja." ucap Jingnan dengan tegas, mencoba menenangkan mereka.
"Tidak usah keluar, aku tidak apa-apa. Ini hanya luka kecil." Ling an melangkah mendekat, matanya penuh kekhawatiran. Namun saat melihat Ling an dan tanpa menunggu lagi, Jingnan langsung berlari keluar gua, menembus derasnya hujan.
"Nannan jiejie!" teriak Jingyan, suaranya tenggelam oleh gemuruh hujan.
Ling an hanya menatap kepergian Jingnan. Gadis itu tampak gagah, seakan hujan deras yang menimpa tidak berarti apa-apa.
Jingyan menoleh ke Ling an, wajahnya penuh kebingungan.
"Sebenarnya kenapa Nannan jiejie selalu menghindarimu? Saat dia melihatmu, dia selalu terlihat marah…"
Dia menatap Ling an dengan heran, lalu menambahkan,
"Padahal kalau dilihat-lihat, kamu seperti pria baik-baik."
Ling an menghela napas, pikirannya berputar. Apa dia sebenarnya sudah tahu identitasku yang sebenarnya? Tapi… mengapa dia tidak bertindak? Batinnya penuh pertanyaan, rasa penasaran dan sedikit gelisah.
“Ling An, ayo masuk. Anginnya dingin.”
Mereka duduk dekat perapian. Api kecil membuat gua terasa hangat.
“Kau belajar pengobatan sejak kapan?” tanya Ling An.
"Sejak remaja," ucap Jingyan singkat, matanya menatap Ling an dengan sedikit gugup.
Maaf, Ling an… tapi aku harus berbohong, batin Jingyan, hatinya terasa berat menahan rahasia itu.
"Ooooo begitu…" Ling an mengangguk perlahan. Meskipun ia curiga ada yang disembunyikan Jingyan, wajah gadis itu tetap tenang, lembut, bak salju putih yang bersih, seakan tak ada kebohongan yang tersimpan di sana.
"Kenapa kau bisa tertarik dengan pengobatan? Aku lihat hanya beberapa putri yang menyukai pengobatan," ucap Ling an, nada suaranya serius namun ringan, penuh rasa ingin tahu.
"Karena aku suka saja. Nannan jiejie juga suka pengobatan, jadi aku dan Nannan jiejie belajar bersama. Selain itu, kami bisa mengobati prajurit atau siapa pun yang terluka," jawab Jingyan dengan jujur, meski sedikit tersipu.
"Jadi kalian berdua belajar pengobatan?" Ling an menatap dengan raut wajah serius, seolah ingin memastikan.
"Benar," jawab Jingyan tegas.
Ling an menunduk sebentar, pikirannya mulai berputar. Lalu jika bukan mereka, siapa? Apa putri lain? Tapi… tidak, tidak mungkin… salah. Pertanyaan-pertanyaan itu seperti lingkaran yang terus mengelilingi kepalanya, membuatnya bingung di tengah keharusan menemukan jawaban.
......................
Di tempat lain, Jingnan sudah berhasil mengumpulkan beberapa bahan obat. Ia juga mengambil buah-buahan langka dari hutan Longfeng—buah yang selalu dibawanya ke Istana Zhenhua untuk Jingyan dan Mei Yin.
Walau tubuhnya sudah basah kuyup, senyum Jingnan tetap terpancar. Ia teringat bagaimana adik-adiknya selalu tersenyum bahagia ketika memakan buah itu.
"Nanti setelah hujan reda, aku akan kembali mengambilkannya untuk Mei Yin… yang ini untuk Yanyan saja," gumamnya sambil memisahkan buah-buahan itu.
Tak menunggu lama, Jingnan kembali melangkah menuju gua.
"Nannan jiejie, akhirnya kau kembali!" Jingyan tersenyum lebar begitu melihat kakaknya datang.
"Untukmu," ucap Jingnan sambil menyerahkan buah yang dibawanya.
Melihat buah itu, mata Jingyan berbinar. Ia segera mengambilnya dan menggigit dengan lahap.
"Enak!" senyumnya manis dan riang.
"Setelah hujan reda, aku akan kembali ke sana mengambilkannya untuk Mei Yin," Jingnan menambahkan dengan lembut, senyumnya tetap hangat.
"Aku ikut!" Jingyan berseru dengan mulut penuh, diikuti anggukan singkat dari Jingnan sebagai tanda setuju.
Namun, tiba-tiba Jingyan berhenti makan dan menatap kakaknya dengan cemas.
"Eh, jiejie… tapi pakaianmu basah kuyup…"
"Jika tidak segera diganti, aku takut jiejie akan sakit," lanjutnya dengan raut khawatir.
"Tidak akan, tenanglah," Jingnan meyakinkan sambil berjalan mendekati perapian.
Jingnan duduk di dekat perapian, mencoba mengeringkan pakaiannya. Dan dengan cepat Ling An melepas hanfu luar miliknya dan menyodorkannya.
“Pakai ini. Kau bisa sakit kalau terus basah.”
Jingyan ikut mendukung,
“Benar! Pakai saja dulu.”
Namun Jingnan menolak halus.
"Tidak usah, aku akan menghangatkan diri di perapian ini saja. Sebentar lagi mungkin akan kering," Jingnan membalas sambil mulai menumbuk obat untuk luka dilengan Ling an.
Di sisi lain, Jingyan diam-diam terus memperhatikan Ling an, pikirannya dipenuhi pertanyaan.
“Sebenarnya ada apa dengan Nannan jiejie? Apa dia melihat Ling an seperti monster raksasa karena tinggi badan Ling an?” batinnya, sambil melirik Ling an dengan penasaran. Tingkahnya kini mirip Mei Yin, selalu memikirkan hal-hal aneh yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan.
Jingyan menggelengkan kepala atas pikiran anehnya sendiri.
"Kau mau?" tanya Jingyan, menawarkan buah itu kepada Ling an yang berdiri di sampingnya. Namun, matanya tetap tak lepas dari kakaknya, yang kini sibuk menumbuk obat dengan hati-hati. Jingyan masih penasaran, mengapa kakaknya tampak begitu tak suka pada Ling an??.
"Rasanya enak," ucap Jingyan tanpa menoleh ke arah Ling an, sambil tetap memperhatikan Jingnan dari sudut matanya. Ling an tersenyum tipis, lalu dengan lembut mengambil buah yang ditawarkan Jingyan kepadanya.
Suasana hangat gua itu terasa semakin akrab. Hujan deras di luar seakan tak bisa menembus ketenangan di dalam, sementara perhatian dan perasaan yang tak diungkapkan perlahan terselip di antara mereka.
......................
Waktu berjalan begitu cepat, hingga mereka tak sadar bahwa di luar sudah mulai malam, namun hujan belum juga reda. Angin malam membawa dingin yang menusuk, membuat suasana semakin sepi dan hening.
"Ini, obatnya sudah selesai," ucap Jingnan sambil menyerahkan ramuan yang ia buat kepada Jingyan.
"Bagus," balas Jingyan, tersenyum dan mengambil obat itu, kemudian berjalan mendekat ke arah Ling an.
"Biar aku saja," kata Ling an, suaranya lembut.
"Kalau tidak bisa, panggil aku ya," ujar Jingyan, menyerahkan obat itu kepada Ling an. Ling an hanya mengangguk, menerima dengan sopan.
Sementara itu, Jingnan berjalan keluar, berdiri di mulut gua, menatap hujan yang tak kunjung reda.
"Kenapa waktu berlalu begitu cepat? Bukannya tadi aku kesini pagi, kenapa sekarang sudah malam saja?" gumam Jingnan, suaranya penuh heran.
Tiba-tiba Jingyan muncul di belakangnya.
"Jadi jie… apakah kita harus bermalam di sini?"
"Sepertinya begitu. Hutan ini banyak binatang buas, apalagi dengan hujan seperti ini," jawab Jingnan, nada suaranya tegas namun lembut.
Keduanya kembali masuk ke dalam gua. Mereka duduk di samping perapian; Jingyan dan Jingnan saling bersandar, sementara Ling an duduk agak jauh, memperhatikan dengan tenang.
Tak lama kemudian, Jingyan menoleh dan menata posisinya, lalu tertidur pulas di pangkuan kakaknya. Jingnan setengah tertidur, setengah terjaga, matanya sesekali membuka untuk memastikan Ling an tak melakukan sesuatu pada mereka.
Akhirnya Jingnan pun tertidur. Diam-diam, Ling an berjalan mendekat, memakaikan hanfu bagian luar miliknya kepada Jingnan agar ia tak kedinginan. Saat Ling an hendak pergi, kepala Jingnan tanpa sengaja bersandar di bahunya.
Jantung Ling an berdegup kencang. Ada kehangatan yang tak seharusnya ia rasakan, sebuah rasa yang membuat dendam dan amarah yang ia bawa perlahan rapuh, meski hanya sejenak. Namun berada didekat gadis ini, sesuatu dalam dirinya terasa… aneh, lembut, dan menenangkan.
Jarak mereka begitu dekat. Ling an bahkan bisa merasakan napas Jingnan yang tenang, detak jantungnya yang stabil, dan aura perlindungan yang seakan mengelilinginya.
Kenapa… aku merasa nyaman di dekatnya? Padahal seharusnya aku menjaga jarak… dendamku seharusnya masih membara, batin Ling an, hatinya penuh kebingungan. Ia menunduk, memalingkan wajah sebentar, mencoba menahan perasaan yang muncul begitu saja.
Sementara itu, Jingyan yang tertidur di pangkuan Jingnan sesekali menggerakkan tangannya, menyesuaikan posisi agar lebih nyaman. Ia bahkan menggumam hal-hal kecil dalam tidurnya, seakan tak sadar dengan ketegangan halus yang terjadi di dekatnya.
Ling an menarik napas perlahan, memperbaiki posisinya, dan duduk di samping perapian tepat dekat Jingnan yang masih bersandar padanya. Ia menatapnya dari sudut mata, seakan dinding yang memisahkan mereka perlahan runtuh. Namun, ketakutan akan hilangnya dendam yang selama ini membara membuatnya menahan diri agar tidak terlalu dekat.
Jingnan, tanpa sadar, sedikit menggeser posisi kepala, membuat bahunya bersandar lebih erat ke Ling an. Panas tubuh yang menular itu membuat Ling an menahan diri untuk tidak menoleh terlalu dekat. Denyut jantungnya meningkat, ada rasa hangat dan nyaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya, tapi sekaligus membingungkan.
Hujan di luar masih deras, angin malam tetap menusuk. Namun di dalam gua, tercipta ketenangan yang aneh: dari kehangatan api, aroma buah yang manis, dan hubungan tak terucapkan yang mulai terbentuk antara Ling an, Jingyan, dan Jingnan. Dendam perlahan terselip di sudut hati, tergantikan oleh sesuatu yang lebih lembut dan… sulit ia pahami.
Ling an menutup matanya sebentar, membiarkan dirinya merasakan kehangatan yang jarang ia alami. Ia tahu malam ini akan terpatri dalam ingatannya—malam di gua, hujan deras di luar, dan kehangatan yang tak seharusnya muncul di hatinya.
semangat teruslah aku dukung🔥❤️