NovelToon NovelToon
Love, On Pause

Love, On Pause

Status: sedang berlangsung
Genre:Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Diam-Diam Cinta / Cinta setelah menikah / Cinta Seiring Waktu / Romansa
Popularitas:385
Nilai: 5
Nama Author: Nisa Amara

Jovita Diana Juno dikhianati oleh kekasihnya sendiri, Adam Pranadipa tepat tiga bulan sebelum pernikahan mereka. Sementara itu, Devan Manendra lekas dijodohkan dengan seorang anak dari kerabat ibunya, namun ia menolaknya. Ketika sedang melakukan pertemuan keluarga, Devan melihat Jovita lalu menariknya. Ia mengatakan bahwa mereka memiliki hubungan, dan sudah membicarakan untuk ke jenjang yang lebih serius. Jovita yang ingin membalas semua penghinaan juga ketidakadilan, akhirnya setuju untuk berhubungan dengan Devan. Tanpa perasaan, dan tanpa rencana Jovita mengajak Devan untuk menikah.

update setiap hari (kalo gak ada halangan)

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nisa Amara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

16

Pagi itu, sinar matahari menerobos masuk lewat jendela besar ruang kerja Mawar di MK Group. Ia duduk tegak di balik meja kayu gelapnya, jemarinya menari di atas mouse saat mengecek surel satu per satu. Ruangan terasa hening, hanya terdengar suara halus AC.

Tiba-tiba pintu diketuk pelan.

Sekretarisnya masuk dengan beberapa lembar kertas yang dijepit rapi di tangannya.

“Bu Mawar, ini lembar persetujuan yang sudah ditandatangani warga sekitar,” ujarnya sopan sambil menyerahkannya.

Mawar menerima berkas itu dan memeriksanya teliti. Matanya bergerak dari nama satu ke nama lainnya, lalu alisnya terangkat sedikit.

“Totalnya ada tiga puluh tujuh kepala keluarga, kan?” tanyanya tanpa mengalihkan pandangan dari kertas. “Tapi ini cuma ada tiga puluh enam.”

Sekretarisnya menelan ludah sebelum menjawab. “Iya, Bu. Ada satu kepala keluarga yang menolak relokasi. Tim legal sudah mencoba bernegosiasi, tapi tidak ada perkembangan.”

Mawar menutup berkas itu perlahan, menghela napas panjang sambil menyandarkan punggung. Dalam sekejap, ekspresi profesionalnya kembali.

“Baik. Biar saya yang tangani,” katanya mantap.

Setelah sekretarisnya meninggalkan ruangan, Mawar langsung berdiri dari kursinya. Ia menggenggam lembar persetujuan itu dan melangkah cepat menuju ruangan ayahnya. Tumit sepatunya beradu pelan dengan lantai marmer kantor yang sunyi pagi itu. Sesampainya di depan pintu besar dengan, ia mengetuk perlahan.

Begitu pintu terbuka, langkahnya langsung terhenti di ambang.

Rosmala sedang duduk nyaman di sofa, seolah sudah cukup lama berada di sana. Ia memegang secangkir teh panas, posturnya tenang, sementara Heri tampak serius berbicara dengannya.

“Eh Mawar,” sapa Rosmala dengan ramah, senyumnya lembut.

Mawar membalas dengan menunduk singkat sambil tersenyum sopan sebelum masuk sepenuhnya ke dalam ruangan.

Rupanya Rosmala dipanggil ke sana oleh Heri. Ada sesuatu yang perlu ditangani, masalah yang tampaknya rumit, melihat cara Heri menjelaskannya. Mawar tak menyela, hanya berdiri menunggu sambil memperhatikan keduanya.

“Tolong urus masalah ini, ya,” kata Heri memohon dengan sopan sambil menjabat tangan Rosmala.

Setelah Rosmala keluar, suasana ruangan kembali sunyi. Mawar mendekat dan duduk di sofa.

“Ada masalah apa lagi?” tanya Mawar penuh rasa ingin tahu.

“Cuman masalah kecil,” balas Heri singkat datar, lalu menyeruput tehnya. Kemudian ia menatap Mawar. “Ada apa kemari?”

Mawar menarik napas. “Ada satu warga yang gak setuju direlokasi,” katanya melaporkan masalah tadi.

“Cuman satu?” tanya Heri, sebelah alisnya terangkat.

Mawar mengangguk pelan.

Heri terkekeh ringan, nada meremehkan terdengar jelas di telinganya. “Cuman satu kenapa sampe lapor? Itu masalah kecil, bahkan kamu gak bisa menyelesaikannya?”

Mawar menatap meja dengan tatapan kosong, rahangnya menegang. Ia tidak membantah, tapi jelas tersinggung.

“Apa yang bisa kamu lakukan?” Suara Heri kali ini terdengar seperti campuran lelah dan kecewa. Ia berdiri, mengambil jasnya, lalu memakainya dengan gerakan terburu-buru.

“Urus itu. Lakukan apapun sampai orang itu setuju pindah. Proyek ini, yang paling besar yang pernah kita pegang,” lanjutnya, sebelum melangkah keluar meninggalkan Mawar seorang diri.

Pintu tertutup perlahan, menyisakan Mawar yang masih duduk diam.

Mawar menghela napas panjang, rasa kesal menempel tipis di dadanya. Begitu ia kembali ke ruangannya, langkahnya otomatis melambat. Di depan pintunya, Rosmala sudah berdiri, menunggunya. Ekspresi wajahnya terlihat agak lelah.

“Kenapa tante ke sini?” tanya Mawar bingung, mengunci tatapannya pada wanita itu.

Rosmala hanya menghela napas pendek, seperti baru saja melewati percakapan panjang yang menyita energi. Mawar segera membukakan pintu, mempersilakan masuk. Setelah pintu tertutup, Mawar sempat menawarkan minuman, namun Rosmala langsung menggeleng lembut.

“Kenapa tante? Wajahnya kayak capek banget,” tanya Mawar sopan namun terdengar akrab, berdiri di samping meja kerjanya.

“Kamu udah ketemu Devan lagi?” tanya Rosmala, suaranya mendadak berubah serius.

Mawar terdiam sejenak, matanya berkedip pelan sebelum menjawab. “Belum lama ini kita bertemu,” katanya tenang, namun nada suaranya sedikit hati-hati.

“Terus gimana? Apa yang dia katakan? Dia keliatan tertarik?” Rosmala tampak langsung bersemangat. Tubuhnya sedikit mencondong ke depan, seolah tidak sabar mendengar setiap detailnya.

Mawar tertawa pelan melihat reaksi Rosmala yang begitu bersemangat. Ingatannya kembali pada malam itu, malam ketika ia secara kebetulan bertemu Devan di sebuah bar. Devan berada di sana demi pekerjaan, mencari saksi penting untuk kasus yang sedang ia tangani, sedangkan Mawar datang hanya untuk melepas penat setelah hari yang panjang. Biasanya ia menikmati kesendiriannya, namun entah kenapa malam itu ia ingin ditemani, dan Devan menjadi orang pertama yang muncul dalam pikirannya.

“Kayaknya Devan emang gak tertarik padaku,” ucap Mawar, mencoba tersenyum walau senyumnya terasa rapuh.

Rosmala spontan mengernyit heran. “Kenapa dia gak tertarik? Siapapun akan menyukaimu,” gumamnya, pelan tapi masih jelas terdengar.

Mawar hanya menunduk sedikit, memutar pertanyaan itu dalam hatinya. Iya, kan? Kenapa dia gak tertarik sedikit pun sama aku? Hampir setiap pria yang bertemu dengannya menunjukkan ketertarikan, tapi Devan… Devan selalu menjaga jarak.

“Apa jangan-jangan…” Rosmala memikirkan sesuatu, tapi ia cepat-cepat menggeleng, menepis gagasannya sendiri. “gak mungkin. Anakku pria normal,” katanya, membuat Mawar terkekeh geli.

Namun ekspresi Rosmala berubah sendu lagi. Ia menatap Mawar seolah melihat sebuah misteri besar.

“Padahal kamu cantik, mandiri, hebat, cerdas, pekerja keras. Tapi kenapa dia gak mau?”

Kata-kata itu membuat Mawar tersenyum kecil. Jarang sekali ada yang memujinya seperti itu, bahkan ayahnya sendiri tak pernah serinci itu mengapresiasi dirinya. Sedikit rasa hangat merayapi pipinya, membuatnya tampak tersipu.

“Apa dia masih berharap sama mantannya?” tebak Rosmala, jelas merujuk pada Jovita, satu-satunya perempuan yang pernah diperkenalkan Devan padanya.

Mawar juga sempat memikirkannya. Dan meski ia tak pernah mengakuinya pada siapapun, ada sedikit rasa tidak terima di hatinya. Ia memiliki segalanya, penampilan, karier, reputasi, namun entah kenapa Devan tetap memilih melihat ke arah lain. Ke arah wanita yang menurutnya jauh di bawah kemampuan dan statusnya. Itu membuatnya frustrasi, sekaligus penasaran.

Ponsel Rosmala tiba-tiba berdering, memutus lamunan mereka. Ada panggilan dari kantor. Percakapan itu pun segera mereka akhiri.

Sebelum keluar, Rosmala sempat menatap Mawar dengan harap. Ia meminta Mawar untuk menemui Devan sekali lagi, memberi satu kesempatan lagi sebelum ia menyerah.

Mawar mengangguk, tidak keberatan sama sekali. Masalahnya hanya satu, Devan. Entah pria itu akan setuju… atau kembali mengabaikannya seperti sebelumnya.

Matahari sudah merosot rendah di ufuk barat, mewarnai langit dengan warna oranye kusam. Di tengah kemacetan kota yang memanjang, Devan masih terjebak di antara deretan mobil yang bergerak hanya beberapa sentimeter tiap menit. Klakson sesekali terdengar, membuat kepalanya semakin pening setelah seharian bekerja.

Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk dari Jovita.

-kapan balik? Aku udah sampe di lobi apartemenmu-

Devan mengernyit. Lalu tanpa sadar bibirnya terangkat kecil, hampir seperti tawa. Wanita itu sangat serius ingin membalas mereka.

Begitu akhirnya mobil memasuki area parkir gedung apartemennya dan Devan naik ke lobi, ia langsung melihat Jovita. Wanita itu berdiri dengan tangan menyilangkan dada, jelas sudah menunggunya sejak lama, di tempat yang sama persis seperti hari sebelumnya.

“Kenapa lama banget? Kamu sengaja pulang lama?” tuduh Jovita begitu Devan memasuki lobi. Suaranya cukup keras sampai beberapa orang yang lewat melirik penasaran.

“Jalanan macet, tau?” balas Devan malas, bahunya terangkat sedikit.

Tanpa ingin memperpanjang drama di lobi, Devan memberi isyarat dengan kepalanya. Jovita mengikuti di belakangnya, dan mereka langsung menuju lift untuk naik ke unit apartemen Devan di lantai atas.

Tidak seperti kemarin, Jovita tidak lagi harus menunggu Devan mondar-mandir melakukan seribu hal. Begitu Devan selesai mandi dan keluar dengan rambut masih lembab, mereka langsung duduk berhadapan di ruang tengah. Suasana terasa lebih serius, namun tetap santai.

“Kamu udah bawa buktinya?” tanya Devan sambil mencondongkan tubuh sedikit ke depan.

Jovita mengangguk cepat, penuh semangat.

“Mana?”

Jovita justru terdiam sesaat, bibirnya mencibir kecil seolah mencari kata. “Gak ada di aku,” jawabnya santai, seolah itu bukan masalah besar.

Devan memejamkan mata sepersekian detik, menarik napas panjang dari hidungnya, antara lelah dan ingin marah.

“Katanya udah ada,” ucapnya pelan tapi terdengar jelas menahan emosi.

“Ya emang udah ada, tapi bukan di aku,” balas Jovita lagi, tetap dengan nada biasa. Perkataan itu membuat dahi Devan langsung berkerut, pandangannya bersinar penuh tanda tanya.

Tepat di detik itu, terdengar suara ketukan pelan di pintu apartemen. Jovita dan Devan sontak sama-sama menoleh ke arah pintu, tubuh mereka sedikit menegang tanpa sadar.

To be continued

1
Nindi
Hmm jadi penasaran, itu foto siapa Devan
Fairuz
semangat kak jangan lupa mampir yaa
Blueberry Solenne
🔥🔥🔥
Blueberry Solenne
next Thor!
Blueberry Solenne
Tulisannya rapi Thor, lanjut Thor! o iya aku juga baru join di NT udah up sampe 15 Bab mampir yuk kak, aku juga udah follow kamu ya😊
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!