NovelToon NovelToon
My Enemy, My Idol

My Enemy, My Idol

Status: sedang berlangsung
Genre:Teen School/College / Diam-Diam Cinta / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Enemy to Lovers
Popularitas:378
Nilai: 5
Nama Author: imafi

Quin didaftarkan ke acara idol oleh musuh bebuyutannya Dima.

Alhasil diam-diam Quin mendaftarkan Dima ikutan acara mendaftarkan puisi Dima ke sayembara menulis puisi, untuk menolong keluarga Dima dari kesulitan keuangan. Sementara Dima, diam-diam mendaftarkan Quin ke sebuah pencarian bakat menyanyi.

Lantas apakah keduanya berhasil saling membantu satu sama lain?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon imafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 16

Azan Magrib sebentar lagi berkumandang. Lala turun dari lantai dua sudah membawa tas ranselnya.

“Jalan jam berapa?” tanya Ibunya Dima yang sedang mengaduk isian risol di meja makan.

“Abis Magrib. Travel jam 7,” jelas Lala duduk di kursi meja makan.

“Yah, nggak ada yang bantuin ibu lagi dong,” kata ibunya menghela napas, sedih. Selama Lala di rumah, ibunya merasa jualan risolnya lebih cepat selesai.

“Kan ada Dima,” kata Lala bertepatan dengan Dima datang.

“Dari mana, jam segini baru pulang?” tanya Ibunya Dima pada Dima yang salim pada ibunya.

“Pacaran!” jawab Lala asal bunyi, menggodai Dima.

“Elu, pacaran!” teriak Dima kesal.

“Heh! Sama kakaknya kok teriak-teriak begitu,” tegur ibunya Dima sambil melotot ke Dima.

“Sukurin dimarahin!” Lala melet ke Dima.

“Abis ngerjain tugas di rumahnya Givan,” jawab Dima sambil melihat ke lantai.

“Ya udah sana mandi, sebentar lagi Magrib,” pinta Ibunya.

“Iya. Kakak mau kemana?” tanya Dima melihat Lala yang memakai baju rapi dan membawa tas ranselnya.

“Kosan, lah!”

“Naik travel?”tanya Dima heran.

“Iya.”

“Jam berapa?”

“Ya ampun, Ibu aja nggak nanyain segitunya. Kenapa sih?” tanya Lala kesal diberondong pertanyaan oleh adiknya.

“Ya soalnya, pasti ibu udah tau, kan?” tanya Dima sambil menatap ibunya.

Ibunya mengangguk sambil tersenyum. Dia kemudian bangkit dan membawa adonan ke dapur sambil berkata, “Nanti anterin kakakmu ke travel.”

Adzan magrib berkumandang.

Ayahnya Dima yang sudah memakai baju koko dan sarung, keluar dari kamar. “Ayo ke masjid,” ajak ayahnya Dima pada Dima.

“Eh, iya. Sebentar,” Dima langsung bergegas masuk ke kamar mandi. Ia mandi kilat lalu pergi bersama ayahnya ke masjid.

Quin yang duduk di meja belajarnya, mengerjakan tugas matematika, video call dengan Nisa yang sedang nonton acara pemilihan idol Korea.

“Masih ngikutin Boys Planet?” tanya Quin mendengar suara keramaian lagu idol dan tepukan tangan dari kamar Nisa.

“Iseng aja,” jawab Nisa yang lalu mengecilkan suara dari youtubenya, karena tahu Quin trauma dengan lagu K-pop.

“Nggak apa-apa, nggak usah dikecilin suaranya. Santai aja,” jawab Quin yang memang tidak peduli lagi dengan lagu-lagu K-pop.

“Kan gue mau ngobrol,” kata Nisa singkat, maksudnya hendak menjelaskan bahwa suara dari Youtube-nya akan mengganggu mereka ngobrol.

“Kenapa?”

“Tadi Meta kepo soal Arka. Tapi gue nggak cerita yang gimana-gimana.”

“Lah emang juga nggak ada gimana-gimana sih.”

“Iya. Gue cuma bilang aja, kalau tadi gue sama Meta ngomongin elu. Tapi bukan yang gimana-gimana.”

Quin menurunkan pensilnya lalu menatap layar hape yang didirikannya di hadapannya.

Di layar hape, tampak close up Nisa sedang ngupil.

“Ih, lo jorok banget sih!” kata Quin ilfil.

“Ya udah sih, cuma di kamar sendiri ini juga,” kata Nisa berhenti mengupil lalu mengambil tisu.

“Nis, gue percaya sama elu. Tapi kalau sampe elu ngomongin gue macem-macem. Di depan gue baik, tapi di belakang gue elu ngomong aneh-aneh. Gue blok!”

“Iya, makanya gue cerita ke elu. Gue nggak mau jadi orang yang kayak gitu. Sok ngomong baik, tapi di belakang beda lagi ngomongnya.”

“Ya udah,” Quin kembali mengerjakan tugas.

“Lagian kan gue masih pengen nyalin tugas sama elu!”

Quin menatap ke layar hape. Terlihat Nisa nyengir, sambil memberikan kecupan ke Quin.

“Eh, tapi kalo diliat-liat, si Arka, ganteng juga,” kata Nisa malu-malu.

“Elu mah, semua temen gue dibilang ganteng!”

“Temen elu siapa?” tanya Nisa heran.

“Dima! Juga elu bilang ganteng,” kata Quin menunjuk ke hape dengan pensilnya.

“Eh, Dima sekarang udah jadi temen elu?” tanya Nisa heran dan sekalian menggodai.

Quin jadi salah tingkah lalu mengambil hapenya dan bersiap memutus sambungan telepon, “Udah ah teleponannya, gue lagi ngerjain math!”

“Oke! Jangan lupa, bantuin temen elu tuh biar puisinya banyak yang voting!” kata Nisa menggodai Quin lalu memutuskan sambungan telepon.

Quin mengacak-acak rambutnya yang lurus tergerai ke bahu, lalu menundukkan kepalanya ke atas meja. ‘Kenapa tiba-tiba kepikiran Dima?’ tanyanya dalam hati.

Dima dan Lala jalan kaki ke arah jalanan besar. Dima menggendong tas ransel Lala yang berisi baju. Sementara Lala menggendong tasnya yang berisi laptop. Jalanan kampung tampak sepi. Hanya terdengar sayup suara televisi dari dalam rumah warga. Sesekali motor lewat, mengantarkan orang yang baru pulang kerja.

“Jujur, tadi elu pulang sekolah telat, dari mana?” tanya Lala memecah keheningan malam.

“Tadi nemuin orang yang mungkin bisa nyari motor ayah,” jawab Dima lemas.

“Ketebak!” teriak Lala. “Lo tau nggak itu bahaya?”

Dima terdiam. Dia tentu saja tahu itu bahaya, tapi dia tidak bisa tinggal diam saja. Bisa-bisa stres kalau diam saja. Ayahnya saja sudah kena asam lambung karena stres menghadapi hutang dan keadaan ini. Masa Dima juga harus mengalami hal yang sama? Dima tidak mau itu. Dia memilih untuk bergerak. Melakukan apapun yang bisa dia lakukan. Meski mungkin hasilnya sama, atau lebih buruk, setidaknya dia tidak menyesal karena tidak pernah mencoba.

“Katakan lah, motornya balik. Elu sama temen-temen elu bisa ngambil motornya balik. Terus mereka dateng lagi, bales dendam. Yang ada keadaan makin kacau!” jelas Lala menggebu-gebu.

“Ya nggak lah, Kak.”

“Nggak gimana? Elu mau ngumpulin orang buat ngelawan mereka kalau mereka bales dendam?” tanya Lala sambil memelankan langkahnya demi bisa bicara dengan napas yang teratur.

“Ya nggak gitu juga.”

“Yang kayak gini-gini nih, awal mula tawuran warga. Terus aja begini dari jaman Majapahit sampai jaman manusia ke Bulan. Orang-orang mikir gimana caranya perdamaian, lah ini kerjanya bolak balik saling bales dendam,” kata Lala menirukan salah satu dosen komunikasi yang pernah mengeluarkan unek-uneknya ketika mengajar pelajaran sosiologi.

“Ya abis gimana? Nggak ada motor tuh susah, Kak!” kata Dima dengan tegas. “Ayah nganggur, ibu jadi nggak ada kendaraan buat ke pasar, buat anter pesenan!”

Lala terdiam.

“Aku mau nyari orang yang ngambil motor ayah, bukan cuma ngambil balik motor kita. Tapi mau nego, minta waktu buat bayar utangnya,” jelas Dima yang terdengar kesal dengan keadaan. Sebentar lagi ujian akhir semester. Gara-gara tadi ketemu preman, dia belum mengerjakan tugas matematika buat besok.

“Tapi bahaya Dima! Mending sekarang kita usaha cari uang buat beli motor seken.”

“Usaha apa, Kak?”

“Berapa hadiah pemenang pertama lomba puisi itu?”

Dima terdiam, berusaha mengingat, tapi tidak bisa karena memang dia sama sekali tidak memperhatikan apapun soal lomba itu.

“Lima juta untuk pemenang ketiga,” kata Lala sambil menunjukkan hapenya pada Dima. Terlihat bahwa pemenang pertama dapat 10 juta, pemenang kedua dapat 7 juta, pemenang ketiga dapat lima juta. “Kita usahakan ini aja. Toh yang milih kan berdasarkan vote, bukan berdasarkan juri.”

“Maksudnya?” tanya Dima bingung.

“Bukan berarti puisi kamu jelek. Tapi kalau juri yang milih, pemenangnya tergantung selera juri. Kalau pemenangnya karena voting, kita bisa usahain seluruh kampung milih puisi kamu!”

“Ya ampun, ribet banget!”

“Kamu kan punya banyak temen. Minta tolong mereka bantuin kamu. Tinggal posting sekali di medsos, beres!”

Dima terdiam. Mereka berdua sampai di jalan keluar kampung. Sepuluh meter lagi, mereka melewati jendela kamar Quin.

“Siapa temen kamu yang followersnya paling banyak?” tanya Lala pada Dima yang melihat ke arah rumah Quin.

Quin baru saja menutup buku matematikanya. Dia meregangkan tangannya sambil menguap. Tiba-tiba hapenya berdering. Dia lihat jam di hapenya, jam 22.00. Terlihat nama Dima melakukan panggilan telepon.

Jantungnya berdebar.

Untuk apa dia telepon jam segini, pikir Quin yang setengah ketakutan.

Dia mematikan suara dering teleponnya, lalu mematikan lampu, kemudian bergegas masuk ke dalam selimut.

Di dalam gelapnya selimut dia berpikir, kalau besok ditanya, aku akan menjawab sudah tidur, jadi tidak bisa menjawab telepon.

Quin memejamkan matanya, karena memang sudah waktunya tidur. Sepuluh menit berlalu. Dia tidak bisa tidur. Dia buka selimutnya, lalu bangkit dan mengambil hapenya di atas meja. Dima sudah tidak meneleponnya lagi. Dia menggigit bibirnya.

‘Haruskah aku telepon balik?’ katanya dalam hati.

Quin menekan tombol hijau di layar kontak nama Dima.

Sedetik kemudian, Dima menjawab panggilan telepon Quin, “Halo. Udah tidur?”

Bersambung

1
Leni Manzila
hhhh cinta rangga
queen Bima
mantep sih
imaji fiksi: makasih udah mampir. aku jadi semangat nulisnya.🥹
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!