NovelToon NovelToon
DRAMA SI SANGKURIANG

DRAMA SI SANGKURIANG

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Diam-Diam Cinta / Tamat
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: gilangboalang

Di tengah hiruk pikuk kota Bandung yang modern, seorang pemuda terjebak dalam cinta yang tidak seharusnya. Ia tak tahu, bahwa wanita yang ia cintai menyimpan masa lalu yang kelam — dan hubungan mereka bukan sekadar kisah cinta biasa, melainkan takdir yang berulang dari masa lampau...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BABAK VII: PENGUNGKAPAN YANG MENGHANCURKAN ​ADIEGAN 19: RENCANA DAN TANGGAL KERA

​Beberapa hari setelah janji Gapura dan Taman, Reza harus kembali ke Jakarta untuk mempersiapkan pelayaran panjangnya yang akan datang, pelayaran yang akan menentukan apakah ia benar-benar Nahkoda sejati. Sebelum berpisah, Reza kembali menemui Ratih di warung kopi.

​Malam itu, warung sudah sepi. Mereka duduk di kursi kayu yang sama, tetapi kali ini, suasana lebih intim. Reza bersandar manja. Ia meletakkan kepalanya di pangkuan Ratih, menikmati sentuhan jari-jari Ratih yang lembut mengelus rambutnya. Bagi Reza, ini adalah kebahagiaan yang sangat ia butuhkan—kehangatan yang hilang sejak ia diusir dari rumah.

​"Ratih, Sayang," ujar Reza, suaranya tenang dan penuh cinta. "Kita sudah janji akan menikah setelah aku kembali dari pelayaran. Aku sudah mengatur semuanya. Aku akan pastikan kita menikah tanggal 13 April 2025. Aku akan pulang tepat waktu."

​Reza mengucapkan tanggal itu dengan pasti. Ia memilih tanggal yang ia yakini akan memberinya waktu yang cukup untuk mempersiapkan pernikahan yang sempurna.

​Ratih tersentak, tetapi ia berhasil menyembunyikannya. Ia melanjutkan gerakan membelai rambut Reza.

​"Kenapa harus tanggal 13 April, David? Itu kan masih lama sekali," tanya Ratih, mencoba menyembunyikan getaran dalam suaranya.

​"Karena, tanggal itu adalah tanggal yang bagus, Ratih. Percayalah padaku. Aku akan membuat segalanya sempurna untukmu. Aku janji, Sayang," jawab Reza, semakin nyaman di pangkuan Ratih.

​Ratih mengangguk perlahan. Tanggal 13 April. Ia ingat tanggal itu. Itu adalah tanggal lahir Reza. Tanggal yang sangat ia ingat, tanggal yang kini diucapkan oleh putranya sendiri, yang tidak menyadari bahwa ia sedang berbaring di pangkuan ibunya.

​Reza sudah tumbuh dewasa. Ia menjadi pria tampan dan sukses, persis seperti yang ia harapkan. Tapi, mengapa ia harus kembali, dan mengapa ia harus jatuh cinta pada ibunya sendiri?

​Momen Guncangan di Pangkuan

​Ratih terus membelai rambut Reza. Ia memajukan jemarinya, berniat merapikan anak rambut Reza yang jatuh ke dahi. Namun, saat tangannya bergerak ke sisi kepala, matanya tanpa sengaja menangkap sesuatu yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, atau lebih tepatnya, yang sudah lama ia lupakan di tengah penyamarannya.

​Kaus Reza sedikit tertarik ke bawah karena posisi berbaringnya. Tepat di pangkal leher, di bawah tulang selangka kiri—tempat yang sama persis yang Arya lihat di Jakarta—terlihat sebuah TANDA LAHIR berwarna merah keunguan, bentuknya seperti tanda seru terbalik.

​Nawangsih (Ratih) langsung membeku.

​Jantungnya terasa seperti berhenti berdetak. Dunia di sekelilingnya tiba-tiba sunyi, suara lalu lintas Bandung menghilang. Ia hanya bisa melihat tanda lahir itu, tanda yang sudah ia kenali sejak USG belasan tahun lalu. Tanda yang hanya dimiliki oleh putra kandungnya, Reza.

​Nawangsih merasa darahnya mengalir mundur, hatinya mendidih karena kaget, sakit, dan ketakutan yang luar biasa.

​Ia, Nawangsih, wanita abadi yang melarikan diri dari takdir, yang menyamar sebagai Ratih, seorang pelayan warung, demi melarikan diri dari Reza, putranya yang diusir, kini justru dicintai oleh putranya sendiri.

​Ia melihat wajah Reza yang tertidur pulas di pangkuannya. Wajah itu, yang kini gagah dan dewasa, adalah perpaduan sempurna antara dirinya dan Arya.

​Anakku. Anaknya yang diusir, kini kembali sebagai kekasihnya.

​Tiba-tiba, Nawangsih merasakan panas yang tidak wajar di tubuhnya—bukan panas cinta, melainkan panas ketakutan. Ia telah bermain-main dengan takdir, dan takdir kini menertawakannya.

​Reza menggeliat sedikit, menyamankan posisinya di pangkuan Nawangsih.

​"Sayang... jangan berhenti di situ. Pijat lagi rambutku," pinta Reza manja, matanya masih terpejam. Ia memanggilnya 'Sayang', putranya memanggilnya 'Sayang'.

​Mendengar panggilan itu, rasa sakit Nawangsih semakin menjadi-jadi. Ia harus melepaskan Reza. Sekarang.

​Dengan tangan gemetar, Nawangsih mendorong bahu Reza dengan lembut.

​"David... maaf," ujar Nawangsih, suaranya tercekat. "Aku... aku harus ke toilet sebentar. Mendadak perutku tidak enak."

​Reza membuka matanya, mengerutkan kening karena terkejut.

​"Kamu kenapa, Sayang? Wajahmu pucat sekali. Kamu sakit?" Reza mulai khawatir, bangkit dari pangkuan Nawangsih.

​"Tidak apa-apa. Sebentar saja. Tunggu aku di sini, ya?"

​Nawangsih tidak menunggu jawaban. Ia bangkit dengan cepat, nyaris berlari menuju bagian dalam warung, ke arah dapur dan kamar mandi. Ia meninggalkan Reza dalam kebingungan di bangku kayu itu.

​KEPANIKAN DAN KEPUTUSASAAN NAWANGSIH

​Di dalam kamar mandi kecil yang lembap, Nawangsih mengunci pintu. Ia menyalakan keran air, lalu membungkuk dan menatap pantulannya di cermin usang.

​Wajahnya, yang tetap muda dan ayu seperti saat ia meninggalkan Bandung sepuluh tahun lalu, kini dipenuhi kengerian. Ia mencengkeram kepalanya, membiarkan air mata keputusasaan mengalir deras, membasahi wajahnya yang awet muda.

​Aku harusnya tahu! Kenapa aku tidak mengenali tanda lahir itu sejak awal?!

​Nawangsih menyadari kebodohannya. Ia telah melarikan diri ke Bandung, membuka warung kopi, menyamar sebagai Ratih yang berusia 20-an, hanya untuk menghindari Reza yang ia takutkan akan menua dan mulai mempertanyakan keajaiban abadi ibunya. Ia berpikir, dengan menjauh dari komunitas lama, ia aman.

​Tapi ia tidak sadar, Reza akan mencarinya, dan ironi terburuknya, putranya akan jatuh cinta padanya karena ia tetap terlihat sangat muda. Kutukan awet muda itu tidak hanya membuat orang lain penasaran, tetapi kini juga meracuni hubungan terpenting dalam hidupnya.

​Nawangsih melihat dirinya sendiri: seorang ibu yang dicintai putranya sebagai kekasih. Pikirannya dipenuhi gambaran adegan tadi: sentuhan manja Reza di pangkuannya, janji pernikahan 13 April.

​Sumpah! Ini adalah kutukan terbesar dalam hidupku!

​Ia mencuci wajahnya berulang kali, mencoba menghapus rasa panik. Ia harus kembali keluar. Ia harus bersikap normal. Ia harus membatalkan pernikahan ini. Ia harus kembali mengusir Reza, tetapi kali ini, ia harus lebih kejam agar Reza benar-benar tidak kembali.

​REZA DALAM KEBINGUNGAN

​Reza menunggu di luar, perasaan khawatirnya bercampur kebingungan. Ratih pergi begitu saja, wajahnya pucat pasi.

​"Sayang, kamu baik-baik saja?" Reza memanggil, suaranya khawatir.

​Tidak ada jawaban. Reza memutuskan untuk duduk kembali, mencoba menenangkan diri. Ia tidak tahu, di balik pintu kamar mandi itu, seluruh takdirnya baru saja terungkap.

​Setelah beberapa menit yang terasa seperti berjam-jam, Nawangsih (Ratih) akhirnya keluar. Wajahnya masih pucat, tetapi ia berhasil menarik napas dan memasang wajah yang tenang. Ia berjalan ke bangku kayu, tetapi memilih duduk sedikit menjauh dari Reza, menyisakan jarak yang tidak biasa.

​"Kamu sudah baikan, Sayang?" tanya Reza lembut, mencoba mendekat.

​"Sudah. Sudah, David. Cuma... masuk angin saja," jawab Nawangsih, suaranya terdengar serak. Ia sengaja menghindari tatapan mata Reza.

​"Kenapa duduk jauh-jauh? Ayo sini," pinta Reza, mencoba menarik tangan Nawangsih.

​Nawangsih menahan diri. Ia tidak bisa lagi disentuh oleh Reza, putranya sendiri. Sentuhan itu terasa kotor, terlarang.

​"Tidak apa-apa, David. Aku... aku ingin menikmati angin malam saja," elaknya.

​Reza, yang dimabuk cinta dan kesuksesan, tidak melihat perubahan drastis pada Ratih. Ia hanya melihat seorang wanita yang ia cintai.

​"Baiklah. Tapi ingat janji kita, Ratih. 13 April 2025. Aku akan siapkan segalanya. Dan gapura itu pasti akan berdiri kokoh. Kita akan memulai hidup baru, Sayang. Aku janji, kamu tidak akan pernah kesepian lagi."

​Nawangsih hanya tersenyum tipis. Senyumnya penuh rasa sakit yang tak terungkapkan. Ia tahu, ia harus segera memutuskan hubungan ini, bahkan jika itu berarti menghancurkan hati putranya sendiri—lagi. Ia harus mengorbankan segalanya, demi menjaga rahasia abadi mereka

1
Agustina Fauzan
baguuus
gilangsaputra
keren
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!