“Mahkota Samudra bukan sekadar lambang kejayaan, melainkan kutukan yang menyalakan api cinta, ambisi, dan pengkhianatan. Di tengah pesta kemakmuran Samudra Jaya, Aruna, panglima muda, terjebak dalam cinta mustahil pada Putri Dyah, sementara Raden Raksa—darah selir yang penuh dendam—mengincar takhta dengan segala cara. Dari kedalaman laut hingga balik dinding istana, rahasia kelam siap menenggelamkan segalanya.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon penulis_hariku, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 16. Cinta yang tak boleh bernama
Malam itu angin berembus lembut di taman dalam istana Samudra Jaya. Bulan purnama menggantung tinggi, memantulkan cahayanya di permukaan kolam teratai yang tenang. Hening, hanya suara gemericik air pancuran dan desir dedaunan yang menari diterpa angin. Di tepi kolam itu, Putri Dyah Anindya duduk seorang diri, mengenakan kain putih lembut dan selendang tipis di bahunya. Tatapannya kosong, menembus bayangan air yang memantulkan sinar rembulan. Sejak wangsit Sang Prabu diumumkan, hatinya tidak pernah benar-benar tenang. Ia tahu titah ayahandanya adalah kehendak dewata yang tidak boleh dibantah, tapi bagaimana mungkin ia bisa menerima begitu saja nasib yang menautkan hidupnya dengan seseorang yang belum pernah ia kenal?
Di tengah lamunannya, langkah kaki lembut terdengar mendekat. Aruna—pengawal pribadinya yang selama ini setia mendampingi—berhenti beberapa langkah di belakang, lalu berlutut hormat.
“Gusti Putri,” suaranya rendah namun lembut, “malam sudah larut. Udara makin dingin. Hamba mohon, kembalilah ke dalam istana. Paduka harus beristirahat.” Dyah menoleh perlahan, menatap Aruna. Wajah pemuda itu diterangi cahaya bulan, memperlihatkan garis rahang tegas dan tatapan mata yang tenang namun dalam. Aruna bukan hanya pengawal baginya—ia adalah satu-satunya tempat Dyah merasa aman sejak ibundanya tiada.
“Aruna…” suara Dyah lirih, “apakah menurutmu takdir itu selalu harus diterima, meski hati kita menolaknya?” Aruna terdiam sejenak. Ia tahu pertanyaan itu bukan untuk dijawab dengan mudah. “Takdir, Gusti,” katanya akhirnya, “adalah jalan yang telah digariskan dewata. Namun cara kita menjalaninya, itulah yang menentukan arti hidup.”
Dyah tersenyum tipis, pahit. “Kau selalu bisa menenangkan hatiku, Aruna. Tapi kali ini, rasanya aku tak mampu. Ayahanda mendapat wangsit bahwa aku harus menikah dengan putra mahkota Mandalapura. Katanya untuk menyelamatkan negeri ini dari kehancuran.” Ia menunduk, menatap ujung jarinya yang gemetar. “Tapi bagaimana bila jiwaku tak sanggup menyatu dengan orang yang tak kukenal?” Aruna menatapnya lama. Hatinya bergetar mendengar keluh lirih itu. Ia ingin berkata bahwa ia pun tak sanggup membayangkan hari di mana Putri Dyah akan menjadi milik orang lain. Tapi lidahnya kelu, tertahan oleh tembok tinggi antara mereka. Ia hanyalah seorang pengawal—bukan darah bangsawan, apalagi pewaris tahta.
“Gusti…” suaranya parau, nyaris bergetar, “kadang cinta pun harus tunduk pada kewajiban. Bila Paduka dilahirkan sebagai bunga kerajaan, maka tugas hamba adalah menjadi duri yang menjaga Paduka dari bahaya—bukan menjadi tangan yang memetik bunga itu.” Dyah menatapnya, mata indahnya memantulkan cahaya rembulan yang lembut. “Aruna,” ujarnya perlahan, “kalau saja aku bukan seorang putri… kalau saja aku lahir seperti rakyat kebanyakan, mungkin aku bisa memilih sendiri kepada siapa hatiku berlabuh.” Untuk pertama kalinya malam itu, mereka bersitatap. Ada perih yang sulit disembunyikan di balik sorotnya. “Dan kalau saja hamba bukan seorang abdi, Gusti…” katanya pelan, “hamba akan bersumpah di hadapan rembulan ini, bahwa hanya Paduka yang akan hamba jaga seumur hidup, bukan karena tugas… tapi karena cinta.” Kata itu—cinta—terucap lirih, tapi menggema di hati keduanya. Dyah membeku, dadanya bergetar, namun ia tak marah. Ia hanya memejamkan mata, menahan air mata yang hampir jatuh.
“Jangan lanjutkan, Aruna,” bisiknya akhirnya. “Kau tahu… kata itu tak boleh diucapkan di antara kita.”
Aruna menunduk dalam. “Ampun, Gusti. Lidah hamba lancang. Tapi biarlah malam ini saja hamba jujur. Setelah ini, biarlah cinta itu terkubur bersama embun pagi.” Keheningan kembali menyelimuti taman. Hanya suara serangga dan desir angin yang menemaninya. Dyah menatap rembulan di langit, sementara Aruna berdiri tegap di belakangnya, seperti bayangan yang tak pernah beranjak.
Dari kejauhan, tanpa mereka sadari, sepasang mata memperhatikan dari balik pepohonan. Wajah itu tersenyum dingin—Ken Suryawati, selir kedua yang kini semakin sering berkunjung ke balairung. Ia melihat semua yang terjadi malam itu.
“Ah… betapa indahnya rahasia ini,” gumamnya pelan. “Cinta antara bunga istana dan pengawal rendahan. Jika kabar ini sampai ke telinga Prabu, bukan hanya cinta yang hancur… tapi mungkin seluruh hidup mereka.” Ia berbalik perlahan, meninggalkan taman dengan langkah anggun. Aroma melati dari rambutnya tertinggal di udara—seperti pertanda bahwa cinta yang tumbuh di bawah cahaya bulan malam itu, kelak akan menjadi bara yang membakar seluruh Samudra Jaya. Dan di tengah kesunyian, Dyah menatap Aruna untuk terakhir kalinya malam itu. “Terima kasih telah bersamaku, Aruna,” bisiknya pelan. “Meskipun dunia tak mengizinkan, setidaknya malam ini aku tahu… hatiku pernah hidup.”
Aruna menunduk, mengepalkan tangan di dada. “Hamba akan selalu menjaga Paduka… meski nyawa hamba yang jadi gantinya.” Angin berembus lembut, meniup dupa di pelataran taman. Asapnya melayang perlahan ke langit, seolah membawa doa dua hati yang tak bisa bersatu—cinta yang suci, tapi terkutuk oleh garis takdir.
***
Malam ini seperti biasa nyi Jayem akan meminta Puspa untuk mengantarkan jamu rempah sebelum tidur ke pavilium Raden Raksa, Puspa gemetar hanya mendengar namanya saja pikirannya sudah tak menentu dan rasa takut membayanginya. Dengan tangan gemetar dan langkah yang sedikit terburu-buru Puspa melangkah ke paviliun Raden Raksa.
Nama Raden Raksa, seorang pangeran yang paling dia hindari di Samudra Jaya. Setibanya disana, Puspa tak mendapati satu orang pun baik itu penjaga atau pun abdi dalem bahkan Sangkara dan Jaya Rudra yang biasanya menemani Raden Raksa pun tidak terlihat malam itu. Puspa menelan ludah kasar lalu mengetuk pintu.
“Ampun Gusti Raden... Jamu malamnya sudah datang,”
“Hhhmmm...masuklah....” terdengar suara berat dari dalam, Puspa masuk ke dalam paviliun begitu masuk aroma dupa menyebar ke seluruh ruangan semilir angin lembut menyapu rambutnya yang tergerai indah. Puspa melangkah perlahan ke dalam ruangan itu, menahan napasnya agar tak terdengar. Dupa yang terbakar di sudut paviliun menguarkan aroma cendana dan melati, membuat suasana terasa lebih menekan. Ruangan itu remang, hanya diterangi cahaya temaram dari lampu minyak di meja rendah di sisi tempat duduk Raden Raksa.
Di sana, sang pangeran duduk bersandar dengan posisi santai—satu kakinya terangkat ke kursi, sementara satu tangan menopang kepalanya. Wajahnya tampak teduh, namun ada aura dingin yang membuat dada Puspa berdebar. Rambut panjang Raden Raksa yang terurai menambah kesan liar dan tak tertebak darinya. Begitu Puspa masuk, mata pangeran itu yang semula terpejam perlahan terbuka. Pandangan tajamnya segera mengunci sosok gadis itu dari ujung kepala hingga kaki. Puspa menunduk dalam, berusaha menyembunyikan rasa gugup yang menyeruak. Ia segera menuangkan jamu dari kendi kecil ke dalam cawan tanah liat, tangannya sedikit gemetar sehingga terdengar bunyi halus dari logam kendi yang bersentuhan dengan bibir cawan.
“Ini jamu malam Gusti Raden,” ucapnya pelan, suaranya nyaris tak terdengar. Raksa tak langsung menjawab. Tatapannya masih tertuju pada gerak tangan Puspa, pada wajahnya yang samar diterangi cahaya lampu. Setelah beberapa detik hening, suara beratnya terdengar, datar namun dalam.
“Mendekatlah...” titah Raden Raksa.
“Ampun Raden...hamba cukup disini saja,”
“Aku bilang mendekatlah,” suara itu seperti bisikam tapi justru lebih menakutkan bagi Puspa, dengan gemetar dia pun sedikit mendekat ke arah Raden Raksa.
“Angkat wajahmu, Puspa,” ucapnya pelan, tapi ada kekuatan di balik suaranya. Puspa terdiam. Ia tahu dirinya tak bisa menolak, namun tubuhnya terasa kaku. Dengan ragu ia mengangkat wajah, dan untuk pertama kalinya, mata mereka bertemu. Pandangan Raden Raksa begitu dalam, seolah berusaha membaca isi hatinya yang tersembunyi.
“Kenapa setiap kali kau datang, wangi bunga melati selalu ikut bersamamu?” bisiknya nyaris seperti gumaman. Puspa tak mampu menjawab. Bibirnya ingin terbuka, tapi kata-kata tertahan di tenggorokan. Ia hanya bisa menunduk lagi, namun sebelum sempat, jemari Raden Raksa terulur perlahan, menahan dagunya agar tetap menatap ke arah matanya. Sentuhan itu lembut, namun membuat jantungnya berdetak tak karuan.
L“Puspa…” suara itu nyaris seperti hembusan angin, “kau tahu, aku tak pernah meminta siapa pun untuk mengantarkan jamu malam. Tapi bila yang datang adalah dirimu, aku selalu menunggu.” Puspa membeku, wajahnya memanas. Antara takut, bingung, dan perasaan aneh yang tak mampu ia pahami. Ia ingin menjauh, tapi kekuatan dalam tatapan Raden Raksa menahannya di tempat.
Sang pangeran perlahan mengambil cawan itu, meneguk jamu tanpa memalingkan pandangan sedikit pun. Puspa merasa napasnya tersangkut di dada. Dalam diam, ada sesuatu yang tak bisa diucapkan, hanya bisa dirasakan—tegang, hangat, dan samar menyakitkan. Tangannya yang masih berada di dagu Puspa turun perlahan ke sisi wajah gadis itu. Tanpa kata, ia menarik Puspa lebih dekat, hingga jarak mereka hanya sejengkal.
“Puspa...” suaranya terdengar berat namun lembut, “kau lebih cantik dengan rambutmu seperti ini. Jangan sembunyikan wajahmu dariku,” Puspa membuka mulut hendak menjawab, tapi belum sempat sepatah kata pun terucap, Raksa sudah mendekatkan wajahnya. Helaan napas mereka beradu di udara, dan dalam sekejap, bibir pangeran itu menyentuh bibir Puspa dengan lembut namun tegas, dia terkejut. Tangannya refleks menahan dada Raden Raksa, mencoba menjauh, tapi genggaman kuat di pinggangnya membuatnya tak bisa bergerak. Helaan napasnya tersengal, namun tubuhnya seakan kehilangan kekuatan. Waktu berjalan lambat. Suara detak jantung Puspa bergema di telinganya sendiri. Antara takut, bingung, dan sesuatu yang tak bisa ia namai berbaur jadi satu. Raden Raksa tidak tergesa, namun dalam tiap geraknya ada penguasaan, seolah ia tahu persis bagaimana membuat dunia di sekitar mereka lenyap.
Perlahan, genggaman itu melonggar. Raksa menarik diri sedikit, menatap wajah Puspa yang kini memerah menahan perasaan campur aduk. Bibirnya masih dekat, suaranya nyaris seperti bisikan di antara napas.
“Sekarang... pergilah, sebelum malam menjadi terlalu larut.” Puspa hanya menunduk, tak sanggup menatapnya kembali. Ia mundur perlahan, menunduk dalam-dalam, dan begitu sampai di pintu, ia sempat menoleh sekejap—melihat Raden Raksa yang masih duduk tenang, menatap ke arahnya dengan tatapan yang tak bisa ia artikan: antara kelembutan dan bahaya. Begitu pintu tertutup, Puspa bersandar lemah di dinding luar paviliun. Nafasnya terengah, pikirannya kalut. Ia tak tahu apakah yang baru saja terjadi itu nyata atau hanya mimpi buruk yang terlalu indah untuk dipercaya. Namun satu hal pasti—malam itu, ketenangannya sekali lagi telah direnggut oleh seorang pangeran bernama Raden Raksa.
Dari kejauhan terlihat selir kedua Ken Suryawati datang sendirian Puspa menata rambutnya lalu memberi hormat, Suryawati menatap sinis kearah dayang muda itu lalu masuk ke ruangan anaknya. Sampai disana dia melihat Raden Raksa tengah memejamkan matanya tapi belum tidur di kursi kebesarannya.
“Kau ini dasar benar-benar bodoh, apa untungnya kau menjalin cinta dengan bangsa rendahan seperti mereka, paling tidak carinya putri bangsawan bukan dayang rendahan itu,”
Raden Raksa paham maksud dari ibundanya itu adalah Puspa, dia membuka matanya lalu menegakkan tubuhnya.
“Cinta tidak mengenal perbedaan ibunda, kalau pun aku mencari putri bangsawan mereka belum tentu memberiku kepuasan bisa saja sifatku yang dulu justru malah bertambah parah,” Kata Raden Raksa membuat ken Suryawati meradang.
“Kau sama saja dengan ayahmu, ingat! Jangan kau lengah, Raden Arya mulai curiga dengan apa yang kita lakukan. Jangan sampai kau kalah saing dengan Arya atau Dyah Anindya,” mendengar ucapan ibu, justru Raden Raksa hanya menggedikan bahunya.
“Tenanglah....ibunda, kalau pun mereka pakai cara lain kita tebas saja para pengikutnya pasti mereka akan menyerah,” kata Raden Raksa santai, Suryawati kesal mendengar kata-kata anaknya akhirnya dia pun kembali ke paviliun miliknya.
“Nyi Rengganis, ayo kita pergi ke tempatnya,”
Nyi Rengganis paham apa yang dimaksud tuan, wanita tua itu segera bersiap lalu mengikuti Ken Suryawati ke hutan belakang istana. Mereka berjalan jauh ke dalam hutan lalu berhenti disebuah gubuk atap jerami, sebelum masuk nyi Rengganis menoleh kearah belakang memastikan tidak ada siapa pun mengikutinya.
“Nyi.... Bagaimana setelah ini apakah aku akan diangkat permaisuri selanjutnya,”
Nyi Sanem dukun langganan Ken Suryawati terkekeh, seperti menertawakan perkataan Suryawati. Membuat wanita itu kesal.
“Hah! Sama saja, Raksa membuatku kesal gara-gara dayang rendahan itu dasar anak bodoh,”kata Ken Suryawati. Tapi nyi Sanem justru langsung menatapnya nyalang membuat Suryawati terkejut terlebih dukun wanita itu mencondongkan tubuhnya kearahnya.
“Justru kau yang bodoh,”
“Apa...apa maksudmu nyi?” tanya Suryawati dari nada suaranya dia tidak terima ejekan nyi Sanem.
“Dayang itu justru yang akan membawa anakmu Raksa ke singgasana Raja, gadis itu yang akan melahirkan penerus anakmu. Jadi justru kau yang bodoh, Puspa....ya....gadis itu bukan gadis biasa,”
Ken Suryawati menatap tajam wajah keriput Nyi Sanem, napasnya tersengal di dada karena ucapan perempuan tua itu terasa seperti tamparan keras di wajahnya. “Apa kau bilang, Nyi?” suaranya bergetar, tapi nadanya tajam dan penuh amarah. “Gadis rendahan itu yang akan membawa Raksa ke singgasana raja? Jangan bercanda di hadapanku!” Nyi Sanem tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum tipis, senyum yang lebih menyeramkan daripada menenangkan. Dari balik kerudung hitamnya, matanya yang kecil tampak berkilat. Ia mengambil kendi kecil di meja, meneteskan minyak ke bara dupa di depannya. Seketika, asap berwarna kehijauan mengepul, menguar aroma menyengat yang membuat Suryawati dan Nyi Rengganis menutup hidung. Perlahan, Nyi Sanem menggumamkan mantra dalam bahasa kuno yang nyaris tak bisa dimengerti. Asap itu menari di udara, membentuk bayangan samar—seorang perempuan muda dengan rambut tergerai dan wajah lembut. Suryawati mengenal sosok itu dengan sekali lihat. “Itu... Puspa...” bisiknya pelan, matanya membulat, tak percaya.
“Benar,” ujar Nyi Sanem lirih, tanpa membuka mata. “Gadis itu... bukan sekadar dayang, bukan pula rakyat jelata biasa. Ia lahir di bawah perbintangan langka, garis hidupnya terikat dengan darah biru tanpa ia sendiri mengetahuinya.” Ken Suryawati membeku di tempat. Nyi Rengganis melirik tuannya, mencoba mencari tanda apa yang harus dilakukan, tapi perempuan bangsawan itu tampak benar-benar terdiam.
“Tidak mungkin...” gumam Suryawati. “Dia hanyalah anak dari pelayan dapur istana. Sejak kecil hidupnya di bawah kaki para bangsawan, bagaimana bisa darahnya—”
“Darah tidak selalu tampak di mata,” potong Nyi Sanem pelan tapi tegas. “Apa yang diwariskan tidak selalu dari rahim bangsawan. Ada kutukan dan restu yang berjalan beriringan, Suryawati. Dan aku melihat jelas—takdir anakmu, Raksa, terikat pada perempuan itu. Bila kau berusaha memisahkan keduanya, maka bukan hanya anakmu yang binasa... tapi seluruh garis keturunanmu akan tenggelam bersama kehancuran Samudra Jaya.” Kata-kata itu bagai petir yang menyambar dada Ken Suryawati. Ia berdiri tiba-tiba, wajahnya memucat, namun genggaman tangannya mengepal keras hingga jemarinya memutih. “Tidak... Aku tidak akan membiarkan itu terjadi. Raksa adalah pewaris tahta Samudra Jaya. Ia tidak boleh dijatuhkan oleh perempuan rendahan yang bahkan tidak tahu asal-usulnya!”
Nyi Sanem terkekeh pelan, suaranya serak namun menusuk. “Kau bisa menentang kehendak manusia, Suryawati... tapi tidak dengan kehendak langit.” Ia menatap lurus ke mata wanita bangsawan itu. “Semakin kau melawan, semakin cepat kutukan itu menjemput keluargamu. Percayalah, aku sudah melihatnya dalam asap dupa ini—darah, air mata, dan penyesalan.” Nyi Rengganis yang sejak tadi hanya diam, kini menelan ludah keras. “Ampun, Nyi Sanem... kalau begitu, apakah tak ada jalan lain? Apakah takdir itu tak bisa diubah?”
Perempuan tua itu menghela napas panjang, menatap bara dupa yang mulai redup. “Takdir tidak bisa diubah, tapi bisa diselami. Kau hanya bisa memilih berjalan bersama arusnya... atau tenggelam di bawahnya.” Ken Suryawati membuang muka, berusaha menahan gejolak dalam dadanya. Suara hatinya bertarung antara amarah dan ketakutan. Ia membenci kenyataan itu—bahwa seorang gadis yang selama ini ia pandang rendah, justru akan menentukan masa depan anaknya. Tapi jauh di dalam lubuk hatinya, ada secercah ragu yang mulai tumbuh.
“Cukup, Nyi Sanem,” katanya akhirnya dengan suara berat. “Aku tak datang untuk mendengar ramalan yang menakut-nakuti. Aku ingin jalan agar Raksa tetap menjadi pewaris tahta, tanpa harus terjerat oleh nasib kotor itu.”
Nyi Sanem hanya tersenyum tipis. “Kalau begitu, kau harus menyiapkan hatimu. Jalan yang kau pilih bukan jalan terang, Suryawati. Tapi ingatlah—setiap bayangan kelam selalu menuntut tumbal.” Suryawati menatapnya tajam, tapi tak membalas sepatah kata pun. Ia berbalik dengan langkah cepat, meninggalkan gubuk itu bersama Nyi Rengganis. Di luar, angin malam berembus dingin, menggoyangkan daun-daun di atas kepala mereka. Namun langkah Ken Suryawati terhenti sejenak. Ia menatap langit gelap di atas hutan, matanya memantulkan kebencian yang dalam. “Kalau memang gadis itu takdir bagi anakku... maka aku sendiri yang akan mengubah takdir itu.” Nyi Rengganis menunduk dalam-dalam. Ia tahu, malam itu adalah awal dari sesuatu yang kelak akan mengguncang Samudra Jaya.