Karena menyelamatkan pria yang terluka, kehidupan Aruna berubah, dan terjebak dunia mafia
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dina Auliya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tanda Balas Dendam
Hujan turun deras malam itu, menaburkan kilau kelabu di jendela besar mansion Leonardo. Suara air hujan menghantam kaca berpadu dengan guruh yang menggelegar.
Aruna duduk di kursi dekat jendela, mengenakan gaun tidur tipis berwarna putih. Rambutnya basah karena ia baru selesai mandi, tapi pikirannya masih kusut. Setiap tetesan hujan terasa seperti gema dari tembakan yang terus menghantui kepalanya.
Ia memeluk lutut, menatap kosong keluar jendela. “Apakah semua ini akan berhenti, Leo? Atau aku akan terus hidup dalam mimpi buruk?” bisiknya lirih, seakan bertanya pada dirinya sendiri.
Di belakangnya, suara langkah berat mendekat. Leonardo, dengan jas hitam rapi meski hari sudah larut, berjalan sambil menyalakan cerutu. Wajahnya terlihat lebih tegas dari biasanya, sorot matanya menyiratkan sesuatu yang gelap.
“Tidak ada yang berhenti di dunia ini, Aruna,” katanya dingin. “Yang ada hanya siapa yang lebih cepat menjatuhkan lawannya. Dunia mafia adalah tentang bertahan hidup. Dan malam ini, Mancini sudah mengirim pesan balas dendam pertamanya.”
Aruna menoleh, jantungnya berdegup kencang. “Apa maksudmu?”
Leonardo melemparkan amplop ke meja kecil di sampingnya. Amplop itu basah oleh air hujan, bercampur dengan noda merah yang entah apa.
“Ini dikirim ke gerbang mansion setengah jam lalu,” kata Leonardo.
Dengan ragu, Aruna meraih amplop itu. Tangan mungilnya bergetar saat ia membukanya. Di dalamnya ada foto… seorang pria terikat di kursi, wajahnya babak belur, darah menetes dari bibirnya.
Aruna menahan napas. “Siapa ini…?”
Leonardo menghela napas berat, menatap foto itu dengan rahang mengeras. “Dia adalah salah satu pengacara yang pernah menolongku mencuci bersih beberapa kasus. Mancini menculiknya. Pesannya jelas—mereka tidak akan berhenti sampai aku berlutut.”
Aruna merasa mual. Perutnya melilit, kepalanya berputar. “Jadi… mereka akan menyiksa semua orang yang ada hubungannya denganmu? Sampai… sampai mereka puas?”
Leonardo mendekat, mencengkeram bahunya dengan kuat. “Dengarkan aku, Aruna. Mereka akan menggunakan siapa pun. Pengacara, pebisnis, bahkan… orang yang aku cintai.”
Kata terakhir membuat Aruna terdiam. Jantungnya berhenti berdetak sejenak.
Leonardo menatap matanya dalam-dalam, begitu dekat hingga Aruna bisa merasakan napas hangat bercampur aroma cerutunya. “Itu berarti kau, Aruna. Mereka akan mencoba merenggutmu dariku. Tapi itu tidak akan pernah terjadi. Aku bersumpah, aku akan menghabisi mereka satu per satu sebelum mereka menyentuhmu.”
---
Aruna merasa tubuhnya lemas. Ia ingin marah, ingin mengatakan bahwa semua ini bukan hidup yang ia pilih. Tapi suaranya tak keluar. Sebaliknya, air matanya mengalir tanpa sadar.
“Leo… aku takut… aku benar-benar takut…”
Leonardo memeluknya erat, seolah ingin meremukkan tubuh mungilnya. “Takutlah. Rasa takut membuatmu sadar bahwa kau hidup. Tapi selama aku di sini, ketakutanmu tidak akan menjadi kenyataan.”
Aruna terisak di dadanya, sementara hujan di luar semakin deras.
---
Keesokan paginya, mansion terasa lebih tegang dari biasanya. Marco dan anak buah lain menggandakan penjagaan. Senjata diselipkan di setiap sudut ruangan, kamera pengawas ditambah.
Aruna berjalan menyusuri koridor panjang dengan langkah ragu. Ia bisa merasakan mata-mata pengawal selalu mengikutinya, membuatnya semakin tertekan.
Di ruang tamu, ia melihat Leonardo sedang berdiri di depan meja besar penuh peta kota, bersama Marco dan beberapa kaptennya.
“Vittorio sudah melanggar batas,” suara Leonardo berat, penuh kemarahan. “Dia pikir bisa menggertakku dengan menculik satu pengacara? Besok mungkin dia akan mencoba menyingkirkan politisi yang berhubungan denganku. Dan setelah itu, dia akan mengincar Aruna.”
Marco mengangguk, wajahnya serius. “Kita harus menyerang balik, Boss. Jangan beri mereka waktu untuk bernapas.”
Aruna berdiri di ambang pintu, tubuhnya kaku. Kata-kata itu—“mengincar Aruna”—terus terngiang di telinganya. Ia merasa dadanya sesak, seakan seluruh dunia mafia kini menempelkan bidikannya ke tubuhnya.
Leonardo menyadari kehadirannya. Matanya langsung melembut. Ia menghampiri Aruna, lalu menggenggam tangannya.
“Kau tidak seharusnya mendengar ini,” katanya lembut.
“Tapi aku memang mendengarnya,” jawab Aruna dengan suara bergetar. “Jadi… aku hanya duduk menunggu sampai mereka benar-benar datang mencariku?”
Leonardo menatapnya dalam, lalu mengusap pipinya. “Tidak. Kau akan tetap hidup. Karena aku akan menciptakan neraka bagi siapa pun yang mencoba menyentuhmu.”
---
Hari itu berjalan lambat, tapi ketakutan Aruna justru semakin membesar. Setiap bayangan di koridor terasa seperti ancaman. Setiap suara pintu terbuka membuatnya terlonjak.
Sore harinya, saat ia berjalan ke taman belakang untuk menenangkan diri, ia menemukan sesuatu yang membuat darahnya membeku.
Seekor burung merpati mati, tergeletak di kursi taman. Lehernya digorok, bulunya berlumuran darah. Di bawah tubuh burung itu, ada secarik kertas kecil.
Dengan tangan gemetar, Aruna meraihnya. Tulisan tangan kasar dengan tinta merah berbunyi:
“Burung dalam sangkar tetap bisa mati. Kau tidak akan aman selamanya, Aruna.”
Aruna menjerit histeris, menjatuhkan kertas itu.
Pengawal yang mendengar teriakan segera berlari menghampiri. Leonardo datang tak lama kemudian, wajahnya murka. Ia meraih kertas itu, matanya menyala penuh kebencian.
“VITTORIO!!!” teriaknya, menggenggam kertas hingga hancur.
Aruna jatuh terduduk di tanah, tubuhnya gemetar hebat. Leonardo langsung merengkuhnya ke dalam pelukan, tapi kali ini, Aruna tidak merasa aman. Ia merasa terjebak.
---
Malam itu, Leonardo memerintahkan penjagaan berlapis. Tidak ada yang boleh mendekat ke Aruna, bahkan pelayan sekalipun.
Namun Aruna tidak bisa tidur. Setiap kali ia menutup mata, ia membayangkan burung itu, darahnya, dan tulisan mengerikan di kertas itu.
Ia teringat pada kata-kata Leonardo: “Aku tidak akan membiarkanmu pergi. Jika dunia ini neraka, maka aku iblisnya, dan kau surgaku.”
Tapi sekarang, Aruna bertanya-tanya… apakah surga itu juga akan ikut terbakar dalam neraka milik Leonardo?
Ia menatap Leonardo yang tertidur dengan pistol di genggamannya. Wajahnya tampak tenang, tapi Aruna tahu pria itu bisa berubah menjadi monster kapan saja demi melindunginya.
Air mata jatuh di pipinya. Aruna berbisik pelan, nyaris tak terdengar:
“Jika aku tetap di sisimu, Leo… apakah aku masih akan menjadi diriku sendiri, atau aku hanya akan jadi bagian dari nerakamu?”
Hujan kembali turun, seakan menjawab pertanyaan itu dengan keheningan yang menakutkan.
Dan di kejauhan, Vittorio Mancini tersenyum puas, karena ia tahu—benih ketakutan sudah tertanam di hati Aruna.