NovelToon NovelToon
Hanya Sebuah Balas Dendam

Hanya Sebuah Balas Dendam

Status: sedang berlangsung
Genre:Spiritual / Mengubah sejarah / Fantasi Wanita / Fantasi Isekai
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Hazelnutz

Wu Lan Cho, adalah sebuah Negeri yang sangat penuh dengan misteri, pertumpahan darah, perebutan kekuasaan. salah satu kekaisaran yang bernama Negeri Naga yang di pimpin oleh seorang Kaisar yang sangat kejam dan bengis, yang ingin menguasai Negeri tersebut.

Pada saat ini dia sedang mencari penerusnya untuk melanjutkan tekadnya, dia pun menikahi 6 wanita berbeda dari klan yang mendukung kekaisarannya. dan menikahi satu wanita yang dia selamatkan pada saat perang di suatu wilayah, dan memiliki masing-masing satu anak dari setiap istrinya.

Cerita ini akan berfokus kepada anak ketujuh, yang mereka sebut anak dengan darah kotor, karena ibunya yang bukan seorang bangsawan. Namanya Wēi Qiao, seorang putri dengan darah gabungan yang akan menaklukan seluruh negeri dengan kekuatannya dan menjadi seorang Empress yang Hebat dan tidak ada tandingannya

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hazelnutz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Penyesalan dan Bangkit

Kabut turun setebal kain kafan di lereng Belakang Bukit Kastil Kaki Naga Langit. Di perut bukit yang lembap, sebuah goa bernafas pelan—tetes air dari stalaktit memukul genangan, tik… tik… tik…

Wēi Qiao terbaring menyamping di lantai batu, napasnya putus-putus. Darah di baju sudah mengering jadi kerak gelap; di bawahnya, kulit yang tadi robek perlahan menutup seperti mata yang lelah.

— Penyembuhan tahap akhir… selesai, tuan.

Suara bening, datar, bergaung langsung di dalam kepalanya. Bukan dari luar, bukan dari benda apa pun—seolah pikirannya sendiri bicara dengan logika yang terlalu rapi untuk disebut hati.

Kelegaan yang semestinya datang… tidak datang. Begitu rasa nyeri mundur, hal lain menyerbu: malu. Marah. Rendah diri.

“Aku… terlalu lemah,” desisnya. Suaranya pecah.

Ingatan tadi—bayangan berselubung itu—menerjang dalam kilat-kilat pendek: langkahnya tanpa suara, pedangnya seperti garis hitam yang selalu tiba setengah detik sebelum pandangannya. Semua yang Qiao pelajari—Kupu-kupu Kembar, Pedang Bayangan, bahkan improvisasi kasar—tak satu pun memaksa lawan mundur. Bahkan satu serangan balas pun ia gagal rapikan.

Dadanya mengembang. Mengempis. Mengembang lagi—terlalu cepat, terlalu dangkal. Mendadak air hangat memercik dari sudut mata. Dia memalingkan wajah, menekap kening ke permukaan batu yang dingin.

— Analisis emosional: 79% penyesalan, 15% frustrasi, 6% takut. Detak jantung 112 bpm. Sarankan: atur napas, rasio 4:6, ucap Micro Bots, tenang, faktual.

“Apa gunanya semua latihan… kalau tetap begini,” gumamnya serak. Ia tertawa pendek—pahit. “Lucu, ya? Kaisar naga? Hah.”

Hening satu detik. Dua.

— Tuan, suara itu melunak, data dari peradaban mana pun—manusia bangkit paling kuat setelah jatuh paling dalam. Saran protokol: bertahan hidup malam ini. Lalu latih diri sampai tidak ada lagi yang bisa membuat Anda menangis seperti ini.

Qiao menutup mata. Menghirup. Menghembus. Diulanginya ritme 4:6 itu sampai getar di dadanya surut. Lalu ia bangkit pelan, meremas gagang pedang. “Baik,” katanya lirih. “Aku belum selesai. Bukan malam ini.”

Tepat ketika kalimat itu mengeras, suara lain menyelinap masuk: gerisik halus, berat langkah yang ditahan-tahan. Cahaya oranye merayap di bibir goa, memantul di dinding basah.

— Deteksi getar: lima individu. Jarak: 23 langkah. Distribusi beban: dua bertombak, tiga berpedang. Susunan mengepung setengah-lingkaran. Angin dari belakang goa stabil—jalan buntu. Keluar satu-satunya rute.

Qiao menggulung lengan baju yang masih lembap. “Peringatan rasa lelah?”

— Anda kurang tidur 19 jam. Refleks minus 11%. Kekuatan cengkeram minus 8%.

“Nyenye, Ibu Bots,” Qiao mendesis, sinis. “Terus ceramah sampai subuh.”

— Catatan: Anda baru saja menangis. Itu baik untuk katarsis.

“Diam!”

Bayangan orang memasuki mulut goa. Obor menari-nari di genggam. Wajah-wajah tertutup kain hitam, rendah di bawah tudung. Yang paling depan berhenti tiga langkah dari Qiao. Suaranya berat, bergulung di rongga batu.

“Anak kecil. Keluarlah baik-baik. Kami hanya butuh kepalamu—tidak lebih.”

Qiao memalingkan kepala sedikit. Menyeringai tipis. “Dan aku cuma butuh kalian sebagai pemanasan.”

— Strategi usulan: jangan konfrontasi frontal. Gunakan lingkungan. Pancing ke zona sempit sebelah kanan, lebar 80 cm, memaksa formasi memanjang. Inisiasi dengan gangguan audio.

Telunjuk Qiao meraba bebatuan kecil di kakinya. Ia menekannya dengan tumit, dor… krikil meluncur ke genangan lain—pluk—menggoda telinga. Satu assassin refleks melirik.

— Sekarang. Sudut 27 derajat, arah tendon peroneal kiri.

Qiao melesat. Batu licin, udara dingin—pedangnya menebas sisi betis lawan pertama. Tidak memotong, hanya menggesek keras di titik saraf. Kaki lawan melemas, tubuhnya ambruk menabrak dinding.

Dua tombak menyambar—wuuush!—mengiris udara di atas kepala Qiao. Ia merunduk, bahu hampir menyentuh lumpur.

— Rotasi pinggang! Pijakan kanan! Serang lengan bawah—titik median—bukan ujung tombak!

Pedangnya berkilat. Tak! Batang tombak tergetar, tangan pemegangnya mati rasa. Qiao menusuk udara di celah, bukan manusia—cukup untuk membuat yang ketiga ragu setengah detik.

Setengah detik: kadonya.

Ia memutar. Lututnya mendarat di batu, menggeser badan, lalu sikunya menghantam ulu hati orang keempat. Buf! Napas lawan lari, tubuhnya melipat.

Yang kelima maju tanpa suara—cepat sekali. Pedang meluncur dari bawah, sudutnya keji. Qiao menangkap kilatnya di ekor mata—

— Kiri! Kiri—!

Clang! Gagang pedang Qiao memukul keras bilah musuh, percikan api singkat menari. Getar menghempas tulang. Qiao mundur setapak, hampir terpeleset.

— Fakta: Anda sudah 11% lebih lambat dari standar pribadi.

“Masih cerewet,” gumam Qiao, giginya terkatup. “Tapi oke, lanjut.”

Mereka masuk lebih dalam, dipaksa oleh sempitnya lorong. Ini bukan lagi perkelahian formasi—ini gencetan siku dan bahu. Pedang beradu jadi lonceng malam. Teng! Teng! Srak!

Qiao sengaja mundur setapak demi setapak, memancing. Dinding kanan menyempit—tepat seperti yang Micro Bots sebut. Dua lawan depan kini terpaksa berbaris; yang belakang sulit melihat.

— Inisiatif: gunakan “Bayangan Bentuk Ketiga”—bukan untuk melukai, untuk menutup pandangan. Ritme nafas sinkron: hembus saat melangkah.

Qiao mengangguk kecil. Pedangnya melejit—bukan garis, tapi bayang-bayang pendek berlapis, menampar pandangan lawan bagai kipas cepat. Lawan pertama reflek menutup muka; Qiao tidak menyerang muka—dia menggasak pergelangan tangan. Tak! Pedang lawan buyar, jatuh menghantam lantai batu.

Yang bersenjata tombak memaksa maju. Ujung besi berdesis menembus limbung udara. Qiao menggeser satu jengkal—cukup—batangnya menabrak dinding. Dalam ruang sempit, senjata panjang jadi beban. Qiao menerjang pangkalnya, mendorong ke balik pemiliknya. Dua tubuh terantuk, obor hampir padam. Aroma minyak hangus menyengat.

— Sekarang, tuan. Tendangan lutut ke samping—titik yin lateral.

“Dengan senang hati.”

Duk! Lutut lawan terlipat paksa. Teriakan tertahan tersedak di dalam kain penutup wajah.

Satu lagi mencoba memotong dari sisi buta. Qiao terperangah—dia terlalu jauh ke dalam.

— Jongkok! Putar bahu!

Ia menggelincir turun seperti kucing, bilah lawan menggurat udara setinggi telinga, cuma meninggalkan dingin. Qiao merayap maju—cek!—ujung gagangnya menghajar saraf di leher lawan. Tubuh itu ambruk, kejang pendek, lalu diam.

Hening sekejap. Hanya sisa tiga—atau dua? Qiao memicingkan mata, lidahnya mengecap logam di udara.

— Tiga. Satu mundur ke mulut goa. Dua bertahan—jarak 2,3 meter.

“Yang mundur… pemimpin?”

— Probabilitas 71%.

“Baik.” Qiao mengangkat pedang. Napasnya kembali liar, tapi ritmenya terjaga. Ia melangkah—satu, dua—kemudian berhenti. Dinding berbelok—sebelah kanan ada benjolan batu setinggi pinggang.

— Gunakan untuk memantulkan suara.

Qiao menyibak mantel yang sobek, meremasnya, lalu melemparkannya ke kanan atas. Kain menghantam batu. Plap! Echo memantul panjang. Dua assassin menoleh ke arah yang salah.

Qiao meluncur ke kiri. Srak! Bilahnya menyambar lengan yang terangkat, tidak memutus—cukup mendrop senjata. Sikut kirinya menumbuk rahang yang tertutup kain—duk!—satu lagi roboh.

Yang tersisa melompat mundur, menyelinap ke arah mulut goa. Qiao mengejar, langkahnya mengusap batu-batu basah.

— Perhatian: lantai licin. Friksi rendah. Pijakan pendek-pendek.

“Ya ya, ibu…” Qiao mendesir, tapi mengikuti. Ia merunduk saat obor disapukeraskan ke arahnya, lidah api melewati rambutnya—bau gosong singkat. Pedangnya menusuk… kosong. Lawan memukul obor ke dinding—praaak!—arang beterbangan, cahaya padam. Mulut goa kini cuma garis kelabu.

Gelap. Hening. Hanya napas.

Qiao berhenti. “Lari… bukan gaya kalian.”

Jawaban tidak datang. Hanya desir angin.

— Sensor getar: nihil. Mereka sudah keluar radius 30 meter.

Pelan, Qiao menurunkan pedang. Lututnya longgar; ia bersandar pada dinding goa dan menjatuhkan diri duduk. Nafasnya memburu. Tenggorokannya mengering. Sekujur tubuhnya lengket oleh peluh dan sisa darah yang sudah tidak lagi miliknya.

— Kerusakan jaringan: minimal. Energi cadangan 41%.

“Kerja bagus,” gumamnya. Ia menatap langit goa yang gelap. “Kau dengar? Tadi aku menangis. Puas?”

— Catatan: manusia normal akan runtuh lebih lama. Anda bangkit dalam 184 detik. Ini efisien.

Qiao tertawa kecil—benar-benar kecil, tapi ada cahayanya. “Terima kasih… aku benci mengakuinya.”

— Saran: keluar sekarang. Kabut makin tebal. Jika pemimpin mereka memang cerdas, ia akan menunggu di luar.

Qiao bangkit, meregangkan bahu. Pedangnya dimasukkan ke sarung, namun tangannya masih memegang gagang, siap menarik kapan saja. Ia melangkah ke mulut goa. Dingin malam menyelimuti seperti air. Di kejauhan, hutan mendesis halus.

Di bibir goa ia berhenti, memicingkan mata ke kegelapan.

“…Kalau aku harus mati,” bisiknya, “pastikan dulu aku membuat jejak yang tidak bisa kalian hapus.”

— Mode pertempuran: tetap aktif. Protokol bertahan hidup: prioritas utama. Dan… jeda sepersekian detik, tuan—jangan lupa tidur nanti.

“Nyenye,” Qiao menyeringai. “Selesai ini, aku tidur tiga hari.”

Ia menuruni batu-batu, bahunya turun-naik, langkahnya menyatu dengan kabut.

Di punggung pikirannya, rasa malu tadi masih membekas… tapi kini bersebelahan dengan sesuatu yang lebih keras: tekad yang baru ditempa.

Malam belum selesai.

Dan Wēi Qiao—dengan bot kecil yang cerewet berbisik di dalam kepalanya—tidak berniat membiarkannya selesai tanpa perlawanan.

Wēi Qiao masih terasa lemas. Sisa rasa perih di ototnya masih menusuk, meski sebagian besar luka sudah tertutup sempurna. Nafasnya berat, tapi cukup stabil.

"Penyembuhan selesai seratus persen. Sistem vital kembali normal. Rekomendasi: segera kembali ke asrama sebelum terjadi insiden lain," suara Micro Bots bergema langsung di kepalanya, datar seperti biasa.

Wēi Qiao menggeram pelan sambil mencoba bangkit. “Kau bahkan nggak mau nunggu aku istirahat sebentar, hah?”

"Anda sudah ‘istirahat’ selama dua jam delapan menit tujuh detik. Durasi yang cukup untuk tubuh manusia pada kondisi darurat."

“Ya ampun… kau itu robot apa budak waktu?” Wēi Qiao memutar bola matanya, tapi kakinya tetap melangkah keluar dari goa. Hutan malam terasa sunyi, tapi setiap suara dedaunan membuatnya refleks waspada.

"Perhatikan langkah Anda. Koordinat asrama sudah saya tandai. Jalur tercepat adalah ke utara—"

“Ke utara? Itu rute lewat jembatan tua, kan? Kalau roboh gimana?”

"Statistik kerobohan: tiga persen. Kecuali Anda memutuskan melompat-lompat di tengahnya seperti anak kecil, maka kemungkinan meningkat menjadi delapan belas persen."

Wēi Qiao mendengus. “Kau benar-benar nyebelin.”

"Dan Anda benar-benar lambat. Ayo percepat sedikit, detak jantung Anda sudah stabil."

“Kalau aku mati kelelahan di jalan, aku akan menghantuimu,” ancamnya sambil mempercepat langkah.

"Ancaman tidak relevan. Saya tidak bisa dihantui."

Pertengkaran kecil itu terus berlanjut di sepanjang perjalanan. Di setiap tikungan, Micro Bots memberi instruksi kaku, sementara Wēi Qiao selalu membalas dengan komentar sinis. Meski mulutnya terus protes, ada rasa hangat samar di dada Wēi Qiao—entah karena ia tahu masih hidup, atau karena suara Micro Bots di kepalanya membuatnya tak merasa sendirian di tengah malam gelap itu.

Dan begitu cahaya lampu asrama mulai terlihat dari kejauhan, Micro Bots berkata dengan nada yang nyaris… puas.

"Selamat datang kembali, Wēi Qiao."

Wēi Qiao hanya tersenyum tipis. “Ya… aku pulang.”

1
aurel
hai kak aku udah mampir yuk mampir juga di karya aku
Nanabrum
Gila sejauh ini gw baca, makin kompleks ceritanya,

Lanjuuuuutttt
Mii_Chan
Ihhh Lanjuuuuutttt
Shina_Chan
Lanjuttt
Nanabrum
LANJUUUT THOOOR
Nanabrum
Uwihhh Gilaaa banget
Shina_Chan
Bagus, Tapi harus aku mau tunggu tamat baru mau bilang bagus banget
Gerry
karya nya keren, di chapter awal-awal udah bagus banget, semoga authornya bisa makin rajin mengupload chapter-yang bagus juga kedepannya
Gerry
Sumpaaah kereeeeen
Gerry
Gilaaakk
Teguh Aja
mampir bang di novel terbaruku 😁🙏🏼
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!